JAKARTA, DDTCNews – Terdapat sejumlah wajib pajak mendadak tidak bisa mengakses bukti potong PPh unifikasi (BPPU) yang dibuat oleh lawan transaksi melalui menu Dokumen Saya pada coretax administration system. Kendala ini dilaporkan oleh sejumlah wajib pajak melalui akun X masing-masing kepada Kring Pajak. Akibat adanya kendala ini, Kring Pajak meminta wajib pajak untuk melapor ke KPP tempat wajib pajak terdaftar. “Harap menghubungi kantor pajak tempat terdaftar, layanan Kring Pajak 1500200, atau melalui live chat di website pajak.go.id dan sampaikan kronologi yang dialami serta screenshot data-data yang relevan agar dapat terhubung dengan petugas untuk dibuatkan tiket laporan dan diteruskan ke unit DJP yang berwenang melakukan penanganan,” tulis @kring_pajak, dikutip pada Senin (19/5/2025). Kring Pajak menjelaskan idealnya BPPU yang diterbitkan oleh pihak pemotong bisa dilihat oleh pihak yang dipotong melalui menu Dokumen Saya. Oleh karena itu, wajib pajak yang dikenai pemotongan PPh perlu memastikan pihak pemotong benar-benar sudah menerbitkan BPPU atas transaksi. Wajib pajak juga perlu memastikan tidak ada filter yang sedang diaktifkan. “Jika kedua hal tersebut sudah dipastikan, coba refresh Daftar Dokumen secara berkala, dan jika memungkinkan, gunakan browser atau komputer yang berbeda. Silakan dapat dilakukan pengecekan berkala,” tulis @kring_pajak. Sebagai informasi, BPPU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pihak pemotong untuk melakukan pemotongan beragam jenis PPh, mulai dari PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 15, PPh Pasal 4 ayat (2), hingga PPh Pasal 26. PPh yang sudah dipotong harus disetorkan ke kas negara paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya. Adapun SPT Masa PPh Unifikasi yang dilampiri dengan BPPU harus dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir. Terkait dengan penanganan bugs dalam aplikasi coretax, Dirjen Pajak Suryo Utomo telah berjanji bahwa seluruh bugs akan diperbaiki selambat-lambatnya pada Juli 2025. “Ekspektasinya akhir Juli paling tidak sudah selesai. Mungkin ada yang selesai pada Juni atau Mei, tetapi secara keseluruhan sekitar 18 proses bisnis kita coba itemize dan itu yang kami ekspektasikan sebelum Juli sudah terselesaikan,” ujar Suryo pada 7 Mei 2025. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1810837/bukti-potong-hilang-dari-coretax-wajib-pajak-disarankan-lakukan-ini
DJP: Pengajuan Pengurangan Angsuran PPh 25 Sudah Bisa Lewat Coretax
Wajib pajak kini bisa mengajukan permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 secara daring melalui coretax administration system atau Coretax DJP. Portal Coretax DJP dapat digunakan untuk melayani kebutuhan wajib pajak yang hendak mengajukan pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan wajib pajak untuk mengajukan permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 via Coretax DJP. Pertama, login atau masuk ke akun pajak masing-masing di laman https://coretaxdjp.pajak.go.id. Kedua, klik menu Layanan Wajib Pajak yang tampil di layar bagian atas. Ketiga, pilih sub menu Layanan Administrasi, lalu klik Buat Permohonan Layanan Administrasi. Setelah itu, laman Coretax DJP akan memuat berbagai jenis layanan administrasi pajak di kotak sebelah kiri layar. Keempat, wajib pajak bisa scroll sampai menemukan fitur AS.18 Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25, lalu klik. Kelima, saat klik pilihan AS.18 tersebut, layar akan menampilkan 2 menu layanan administrasi, yakni LA.18-01 Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 dan LA.18-02 Tanggapan Wajib Pajak atas Pemberitahuan Dinamisasi Angsuran PPh Pasal 25. Wajib pajak bisa mengklik sub-layanan LA.18-01 Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25, lalu mengisi dokumen dan data yang dibutuhkan untuk mengajukan diskon angsuran tersebut. Sebagai informasi, wajib pajak dapat mengajukan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 atau dinamisasi turun jika mengalami penurunan profitabilitas. Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 ini dapat diberikan sepanjang wajib pajak dapat menunjukkan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besaran PPh Pasal 25. Wajib pajak tersebut kebanyakan berasal dari sektor usaha perdagangan besar dan eceran. Untuk tahun ini DJP belum merekapitulasi jumlah wajib pajak yang mengajukan pengurangan pengangsuran PPh Pasal 25. Data tersebut masih dikoordinasikan dengan direktorat DJP terkait.
DJP Uraikan Cara Menanggapi SP2DK melalui Coretax
DJP Uraikan Cara Menanggapi SP2DK melalui Coretax Pajak.com, Jakarta – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupaya terus menyempurnakan Coretax untuk mempermudah Wajib Pajak memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Salah satunya, mengakomodir Wajib Pajak dalam menjawab Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Melalui akun X Kring Pajak, DJP pun menguraikan cara menanggapi SP2DK beserta ketentuan permohonan perpanjangan waktu untuk meresponsnya. Penjelasan DJP ini sejatinya merupakan rangkaian respons dari pertanyaan warganet X. “Min, untuk permohonan perpanjangan waktu menjawab SP2DK saat ini dari Coretax atau pengajuan manual ke KPP [Kantor Pelayanan Pajak], ya @kring_pajak?,” ujar warganet itu, dikutip Pajak.com, (19/5/25). Cara Menanggapi SP2DK melalui Coretax Terlebih dahulu DJP menjelaskan bahwa proses menanggapi SP2DK tahun pajak 2025 melalui Coretax dapat dilakukan sebagai berikut: Masuk ke menu “My Portal – My Cases”. Pada menu ini akan muncul nomor kasus yang dapat diproses untuk memberikan respons atas SP2DK; Klik tombol “Select’’; Pilih “Routing” untuk merespons SP2DK. Pada menu ini silakan lengkapi data-data yang dibutuhkan pada isian aplikasi dan lampirkan dokumen pendukung yang diperlukan; dan Jika sudah terdapat status “The Case Closed”, maka respons atas SP2DK sudah terkirim. Proses menanggapi SP2DK selesai. DJP Uraikan Cara Menanggapi SP2DK melalui Coretax Pajak.com, Jakarta – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupaya terus menyempurnakan Coretax untuk mempermudah Wajib Pajak memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Salah satunya, mengakomodir Wajib Pajak dalam menjawab Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Melalui akun X Kring Pajak, DJP pun menguraikan cara menanggapi SP2DK beserta ketentuan permohonan perpanjangan waktu untuk meresponsnya. Penjelasan DJP ini sejatinya merupakan rangkaian respons dari pertanyaan warganet X. “Min, untuk permohonan perpanjangan waktu menjawab SP2DK saat ini dari Coretax atau pengajuan manual ke KPP [Kantor Pelayanan Pajak], ya @kring_pajak?,” ujar warganet itu, dikutip Pajak.com, (19/5/25). Cara Menanggapi SP2DK melalui Coretax Terlebih dahulu DJP menjelaskan bahwa proses menanggapi SP2DK tahun pajak 2025 melalui Coretax dapat dilakukan sebagai berikut: Masuk ke menu “My Portal – My Cases”. Pada menu ini akan muncul nomor kasus yang dapat diproses untuk memberikan respons atas SP2DK; Klik tombol “Select’’; Pilih “Routing” untuk merespons SP2DK. Pada menu ini silakan lengkapi data-data yang dibutuhkan pada isian aplikasi dan lampirkan dokumen pendukung yang diperlukan; dan Jika sudah terdapat status “The Case Closed”, maka respons atas SP2DK sudah terkirim. Proses menanggapi SP2DK selesai. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-uraikan-cara-menanggapi-sp2dk-melalui-coretax/
Kini Elektronik, WP Perlu Ajukan Permohonan Jika Butuh Kartu NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, kini diterbitkan oleh Ditjen Pajak (DJP) secara elektronik. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-04/PJ/2020. Sejalan dengan ketentuan tersebut, wajib pajak orang pribadi yang membutuhkan kartu fisik NPWP perlu mengajukan permintaan kembali melalui kantor pelayanan pajak (KPP) terdekat. Wajib pajak dapat mengajukan permintaan kembali atas kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP karena hilang, rusak, atau alasan lain dengan menyampaikan formulir permintaan kembali pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha. Berdasarkan PER-04/PJ/2020, wajib pajak perlu menyampaikan formulir permintaan kembali dengan melampirkan dokumen persyaratan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran. Dokumen tersebut antara lain berupa identitas diri seperti fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), fotokopi kartu keluarga, serta akta perkawinan bagi yang sudah menikah. Meski demikian, wajib pajak juga dapat mencetak NPWP-nya secara mandiri. Pencetakan NPWP secara mandiri dilakukan dengan mengunduh terlebih dulu NPWP elektronik yang tersedia dalam akun DJP Online atau coretax administration system setiap wajib pajak. Untuk diketahui, wajib pajak orang pribadi yang baru saja membuat NPWP secara online akan mendapatkan kartu dokumen elektronik, baik pembuatan melalui sistem administrasi perpajakan yang lama, yakni DJP Online, ataupun coretax system.
4 Jenis Perhitungan Pajak yang Wajib Pakai Kurs Pajak
Dalam kegiatan usaha yang melibatkan transaksi internasional, nilai tukar mata uang asing menjadi aspek penting dalam perhitungan pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menetapkan bahwa ada beberapa jenis kewajiban perpajakan yang secara khusus harus menggunakan kurs pajak resmi. Kurs pajak ini ditetapkan setiap minggu oleh Menteri Keuangan dan dipublikasikan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Lalu, apa saja jenis perhitungan pajak yang wajib menggunakan kurs pajak? 1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor Barang Kena Pajak Setiap kegiatan impor barang dari luar negeri yang dikenakan PPN, wajib menggunakan kurs pajak yang berlaku saat terjadi transaksi impor. Kurs ini akan menentukan besarnya nilai impor yang menjadi dasar penghitungan PPN terutang. Saat Anda mengimpor barang dari luar negeri, PPN dihitung berdasarkan nilai impor dalam Rupiah yang dikonversi menggunakan kurs pajak. Contoh: PT Maju Jaya mengimpor barang dari Jerman senilai EUR 10.000. Kurs pajak minggu ini adalah Rp17.000/EUR. Perhitungan: Nilai dalam Rupiah: 10.000 x 17.000 = Rp170.000.000 PPN 11%: 11% x 170.000.000 = Rp18.700.000 2. Pajak Penghasilan (PPh) atas Pembayaran ke Luar Negeri Jika Wajib Pajak melakukan pembayaran royalti, jasa teknik, dividen, bunga, atau lainnya ke pihak luar negeri, maka penghitungan PPh Pasal 26 harus menggunakan kurs pajak. Ini memastikan bahwa jumlah PPh yang dipotong benar-benar mencerminkan nilai transaksi yang setara dalam rupiah. Jika Anda melakukan pembayaran ke pihak luar negeri (misalnya royalti, jasa teknis), maka penghasilan tersebut dipotong PPh 26 dan dikonversi dengan kurs pajak. Contoh: PT Solusi Digital membayar royalti sebesar USD 5.000 ke perusahaan asing. Kurs pajak berlaku: Rp15.500/USD. Perhitungan: Nilai dalam Rupiah: 5.000 x 15.500 = Rp77.500.000 PPh 26 (20%): 20% x 77.500.000 = Rp15.500.000 3. Pelaporan SPT Masa dan SPT Tahunan dalam Mata Uang Asing Wajib Pajak yang menerima penghasilan dalam mata uang asing tetap harus melaporkan nilai dalam rupiah saat menyampaikan SPT. Oleh karena itu, konversi penghasilan atau biaya dalam mata uang asing ke rupiah harus menggunakan kurs pajak pada saat transaksi terjadi. Penghasilan, biaya, atau transaksi dalam mata uang asing dalam laporan SPT harus dikonversi ke Rupiah menggunakan kurs pajak saat transaksi dilakukan. Contoh: PT Cemerlang menerima pembayaran jasa senilai USD 20.000. Kurs pajak saat itu: Rp15.800/USD Perhitungan: Nilai dalam Rupiah: 20.000 x 15.800 = Rp316.000.000 Nilai ini yang dicatat dalam SPT Tahunan Badan. 4. Transaksi Ekspor Jasa Kena Pajak Meskipun ekspor barang tidak dikenakan PPN (dikenakan tarif 0%), ekspor jasa tetap membutuhkan dokumentasi nilai transaksi. Kurs pajak digunakan untuk mengonversi nilai jasa yang dijual ke luar negeri agar pengusaha bisa mengkreditkan Pajak Masukan dengan benar. Untuk ekspor jasa, nilai ekspor juga perlu dikonversi dengan kurs pajak untuk keperluan pengisian dokumen dan pelaporan PPN. Contoh: PT Lintas Data mengekspor jasa IT ke Singapura senilai SGD 8.000. Kurs pajak berlaku: Rp11.400/SGD Perhitungan: Nilai ekspor: 8.000 x 11.400 = Rp91.200.000 Nilai ini digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Pentingnya Mengikuti Kurs Pajak Resmi Kegagalan menggunakan kurs pajak yang ditetapkan dapat menyebabkan koreksi fiskal, denda administrasi, bahkan risiko pemeriksaan. Oleh karena itu, penting bagi pengusaha, perusahaan perorangan, maupun badan usaha di INDONESIA untuk memperhatikan kurs pajak terbaru setiap minggunya. Informasi kurs pajak mingguan […]
Perusahaan Masih Bingung Pakai Tarif Pajak 22 Persen atau PPh Final? Perhatikan Penjelasan DJP Ini
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kring Pajak memberi penjelasan mengenai penentuan penggunaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak badan, yang terdiri dari tarif normal 22 persen dan PPh final. Penjelasan ini disampaikan untuk merespons pertanyaan salah satu warganet X yang mengaku baru saja mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan melalui mekanisme pendaftaran via Coretax. “Bagaimana caranya tau Wajib Pajak badan yang baru berdiri pakai tarif umum atau final? Lalu, apakah misal dengan mengajukan pertama kali, misal 2025 baru berdiri, bisa pake-nya tarif umumnya di 2025?,” tulis warganet tersebut, dikutip Pajak.com, (16/5/25). DJP menjelaskan bahwa sejatinya saat mendaftarkan NPWP badan melalui Coretax, Wajib Pajak akan memilih checklist untuk memilih menggunakan tarif umum atau tarif PPh final. “Pada saat daftar NPWP badan Kakak memilih yang mana? Jika tidak memilih tarif umum dan pemberitahuan menggunakan tarif umum juga tidak disampaikan sebelum tahun pajak dimulai, maka mulai tahun Wajib Pajak badan tersebut terdaftar (2025) langsung menggunakan tarif final final usaha mikro kecil menengah (UMKM) 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022,” jelas DJP. Kendati demikian, PP Nomor 55 Tahun 2022 menegaskan bahwa tarif PPh final 0,5 persen diberikan kepada UMKM yang beromzet kurang dari Rp4,8 miliar. Sementara itu, NPWP badan tersebut terdaftar dan memilih untuk menggunakan tarif umum dan dilakukan pemberitahuan sebelum tahun pajak dimulai, maka sudah berlaku ketentuan mengenai tarif PPh 22 persen. Tarif tersebut diatur pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang (UU) PPh s.t.d.t.d. UU Nomor 6 Tahun 2023. Regulasi itu menetapkan tarif PPh yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT sebesar 22 persen. Namun, bagi Wajib Pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka, jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40 persen, dan memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3 persen lebih rendah dari tarif 22 persen. “Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif PPh badan yang dikenakan atas PKP dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar,” pungkas DJP. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/perusahaan-masih-bingung-pakai-tarif-pajak-22-persen-atau-pph-final-perhatikan-penjelasan-djp-ini/
Regulasi e-Faktur 2025: Ini Poin-Poin Pentingnya
Mulai tahun 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan regulasi baru terkait penggunaan e-Faktur yang semakin ketat dan terintegrasi dengan sistem Coretax. Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik individu maupun badan, wajib memahami poin-poin penting regulasi ini agar dapat menghindari sanksi dan menjaga kepatuhan perpajakan. 1. Integrasi e-Faktur dengan Coretax 3.0 Regulasi baru menekankan bahwa e-Faktur harus terhubung langsung dengan sistem Coretax 3.0. Artinya, pengusaha wajib menggunakan aplikasi e-Faktur terbaru (versi web based) yang sudah terkoneksi otomatis dengan server DJP. Implikasinya: Tidak ada lagi input manual tanpa pelaporan yang sinkron. Semua aktivitas faktur akan termonitor secara real-time. 2. Validasi Dokumen Wajib Sebelum Aktivasi e-Faktur Sebelum PKP dapat menggunakan e-Faktur, berikut adalah dokumen resmi dari DJP yang wajib dimiliki: NPWP aktif Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Surat Pengukuhan PKP (SPPKP) Akun DJP Online terverifikasi Sertifikat Elektronik aktif Persetujuan e-Nofa (penomoran faktur elektronik) Tanpa kelengkapan dokumen di atas, aktivasi e-Faktur tidak akan disetujui. 3. Penggunaan Sertifikat Elektronik Versi Terbaru Mulai 2025, hanya Sertifikat Elektronik versi terbaru yang dapat digunakan dalam transaksi e-Faktur. PKP yang belum memperbarui sertifikatnya akan otomatis gagal mengakses sistem. 4. Pelaporan dan Pengkreditan Pajak Lebih Transparan Dengan sistem yang terkoneksi langsung ke Coretax, DJP akan lebih mudah melakukan pencocokan antara: Faktur pajak keluaran, Pajak masukan, Dan pelaporan SPT PPN. Konsekuensi: Kesalahan input atau keterlambatan pelaporan bisa langsung terdeteksi dan berpotensi dikenai sanksi administrasi. 5. Penertiban Faktur Pajak Pengganti Regulasi baru juga menekankan prosedur baru untuk membuat Faktur Pajak Pengganti, yang kini hanya bisa dilakukan melalui sistem berbasis approval DJP. Proses manual atau offline sudah tidak diperkenankan. 6. Pengawasan Lebih Ketat terhadap Transaksi Fiktif e-Faktur 2025 dirancang untuk menekan potensi penyalahgunaan faktur fiktif. Dengan sistem pengawasan otomatis dan validasi data dari berbagai sumber, DJP bisa langsung menolak faktur yang mencurigakan. Siapa Saja yang Wajib Taat? Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP. Perusahaan perorangan di sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur. Badan usaha berbentuk PT, CV, dan koperasi yang melakukan transaksi kena pajak. Jangan Tunggu Sampai Diperiksa Pajak Regulasi e-Faktur 2025 adalah bagian dari transformasi digital DJP untuk menciptakan ekosistem pajak yang adil, transparan, dan efisien. Sebagai pengusaha di wilayah INDONESIA, penting untuk segera menyesuaikan sistem dan kelengkapan administrasi Anda agar tidak terkena denda atau kendala teknis di masa depan. Sumber: https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/regulasi-e-faktur-2025-ini-poin-poin-pentingnya/
Ingat, Bikin Kode Billing Atas Pemungutan PPh 22 Pakai NPWP Pemungut
Seiring dengan implementasi coretax administration system, atas PPh Pasal 22 yang dipungut oleh pemungut, pembuatan kode billing-nya menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) pemungut. Ketentuan ini misalnya berlaku bagi instansi pemerintah selaku pemungut PPh Pasal 22 wajib membuat bukti pungut dan memberikannya kepada rekanan selaku wajib pajak yang dipungut. Hal itu telah diatur dalam PMK 81/2024, Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak … wajib disetor oleh pemungut pajak ke kas negara dengan menggunakan nomor pokok wajib pajak pemungut pajak. Untuk diketahui, PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh bendaharawan atau perusahaan tertentu, baik milik pemerintah ataupun swasta. Pajak ini dikenakan pada kegiatan impor, ekspor, atau usaha di bidang lain. Berdasarkan PMK 81/2024, ada 8 pihak yang wajib memungut PPh Pasal 22. Pertama, bank devisa dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Kedua, instansi pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan atau mekanisme pembayaran langsung. Ketiga, badan usaha tertentu seperti BUMN, anak usaha BUMN, serta badan usaha dan badan usaha milik negara (BUMN) yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Keempat, industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi. Kelima, agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor. Keenam, produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas. Ketujuh, industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur. Kedelapan, perusahaan yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan. “Pemungut pajak … wajib memungut dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22,” bunyi Pasal 223 ayat (1). Selanjutnya, kode billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing DJP atas suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak. Ini dibutuhkan bagi pemungut untuk membuat bukti pungut, dan melaporkannya di SPT. Setelah itu, pemungut akan menyampaikan bukti pemungutan PPh Pasal 22 kepada wajib pajak yang dipungut alias rekanan.
Memahami Konsep Pajak Air Permukaan dalam UU HKPD
Air merupakan sumber daya alam yang esensial bagi kebutuhan hidup maupun kegiatan ekonomi masyarakat. Tingginya pertumbuhan penduduk secara langsung memengaruhi permintaan jumlah kebutuhan air bersih. Agar pemanfaatan air bersih dapat terkendali dan tidak dieksploitasi secara berlebihan, pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya air melalui instrumen perpajakan guna menciptakan keadilan, menjaga kelestarian lingkungan, serta mendukung penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Instrumen pajak yang digunakan yakni Pajak atas Air Permukaan (PAP). Pemungutan PAP telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Objek Pajak Air Permukaan PAP merupakan salah satu dari tujuh pajak yang pemungutannya diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah provinsi. Pasal 1 angka 52 UU HKPD menerangkan bahwa PAP adalah pajak yang dikenakan atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan oleh orang pribadi maupun badan. Air permukaan yang dimaksud yakni semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Namun demikian, terdapat aktivitas pemanfaatan air yang dikecualikan dari objek PAP. Merujuk pada Pasal 28 ayat (2) UU HKPD, objek pajak yang dikecualikan dari pemanfaatan air permukaan tersebut antara lain: penggunaan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga; penggunaan air permukaan untuk pengairan pertanian rakyat; perikanan rakyat; dan keperluan keagamaan. Selain itu, kegiatan mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau) serta kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan daerah juga menjadi objek pengecualian PAP. Pengecualian diberikan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan Dasar Pengenaan dan Tarif PAP Dasar pengenaan PAP adalah Nilai Perolehan Air Permukaan (NPAP) yang ditetapkan dengan peraturan gubernur. Dalam hal ini, NPAP adalah hasil perkalian antara harga dasar air permukaan dengan bobot air permukaan. Harga dasar air permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air permukaan. Sementara itu, bobot air permukaan dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor seperti lokasi pengambilan air, volume air, dan kewenangan pengelolaan sumber daya air. PAP terutang dipungut di wilayah daerah tempat air permukaan berada dengan tarif ditetapkan paling tinggi sebesar 10% yang diatur dengan peraturan daerah. Contoh Perhitungan PT A merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri pengelolaan air permukaan di Provinsi B. PT A mengambil air permukaan dengan volume 10.000 m³ dengan harga dasar air permukaan Rp500 per m³. NPAP di Provinsi B dihitung dari harga dasar air permukaan dikalikan volume air yang yang diambil. Tarif PAP yang berlaku adalah 10%. Penghitungan PAP terutang untuk PT A adalah sebagai berikut: NPAP = Harga Dasar × Volume NPAP = Rp500/m³ × 10.000 m³ = Rp5.000.000 PAP Terutang = 10% × Rp5.000.000 = Rp500.000 Mekanisme Bagi Hasil PAP Sebesar 50% dari penerimaan PAP pemerintah provinsi wajib dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di wilayahnya, sementara 50% akan menjadi bagian provinsi (Pasal 85 ayat (2) UU HKPD). Dalam hal penerimaan PAP berasal dari sumber air yang berada dalam satu wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP tersebut dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80%. Lebih lanjut, ketentuan bagi hasil harus ditetapkan secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air. Sumber: https://ortax.org/memahami-konsep-pajak-air-permukaan-dalam-uu-hkpd
Pajak Gabung Suami, Jangan Lupa NPWP Istri Dinonaktifkan Dulu
JAKARTA, DDTCNews – Seorang istri yang bekerja dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) perlu mengajukan permohonan nonaktif apabila ingin menggabungkan hak dan kewajiban perpajakannya dengan suami. Penonaktifan NPWP istri untuk bergabung dengan NPWP suami tersebut diatur dalam PMK 81/2024. Mekanisme permohonan penetapan wajib pajak nonaktif kini juga bisa diajukan melalui akun coretax system milik istri. “Penetapan wajib pajak nonaktif … dilakukan dalam hal wajib pajak orang pribadi: wanita kawin yang telah memiliki NPWP yang kemudian memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya,” bunyi Pasal 25 ayat (2) huruf e PMK 81/2024, dikutip pada Kamis (15/5/2025). Merujuk pada PMK 81/2024, kepala kantor pelayanan pajak (KPP) dapat menetapkan wajib pajak nonaktif berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan. Setelah melakukan penelitian atas permohonan wajib pajak, kepala KPP akan menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada wajib pajak orang pribadi. Keputusan kepala KPP ini disampaikan maksimal 5 hari kerja. “Keputusan diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap,” bunyi Pasal 25 ayat (5) PMK 81/2025. Untuk diketahui, wajib pajak (istri) dapat mengajukan permohonan wajib pajak nonaktif secara online melalui coretax system pada lama https://coretaxdjp.pajak.go.id/. Kemudian, klik menu Portal Saya yang berada di pojok kiri atas, lalu pilih submenu Perubahan Status. Setelah itu, klik Penetapan Wajib Pajak Nonaktif, sampai masuk ke laman Penonaktifan Status Wajib Pajak. Wajib pajak perlu mengisi dan melengkapi dokumen secara online, termasuk identitas wajib pajak, kuasa wajib pajak, serta memilih alasan penetapan non aktif ‘wajib pajak orang pribadi wanita kawin yang sebelumnya aktif (OP, HB,PH,MT) yang kemudian memilih menggabungkan perhitungan pajak dengan suami’. Setelah itu, centang kolom pernyataan yang menyatakan wajib pajak menyadari sepenuhnya untuk mengajukan penetapan non-aktif. Terakhir, klik tombol simpan. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1810729/pajak-gabung-suami-jangan-lupa-npwp-istri-dinonaktifkan-dulu
