Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan sinyal bahwa pemerintah batal menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Airlangga mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang mempertimbangkan penerapan tersebut, sejalan dengan melihat kondisi atau situasi global. “(Pajak minimum global batal?) nanti sedang kita bahas mekanisme dan kita liat situasi global,” tutur Airlangga kepada awak media, Rabu (19/2). Sebelumnya, Airlangga mengabarkan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mundur dari kesepakatan pajak minimum global. Trump memutuskan ini ketika menandatangani sejumlah perintah eksekutif di hari pertama kepresidenannya pada 20 Januari 2025 lalu. Ia memberikan sinyal bahwa, mungkin pemerintah Indonesia juga akan mengikuti keputusan Trump tersebut. “Kami juga belajar bagaimana cara untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15%. Dan kami cukup positif karena Trump 2.0 tidak ingin hal ini diterapkan. Jadi saya rasa kami akan mengikuti Trump 2.0,” ujarnya saat acara Indonesia Economic Fest di Jakarta, Selasa (18/2). Saat ini memang aturan teknis atau mekanisme terkait penerapan pajak minimum global belum juga diselesaikan pemerintah. Adapun saat ini pemerintah memang sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang mengatur kebijakan tersebut. Hanya saja, aspek teknis lainnya mengenai pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), tata cara pelaporan dan pembayaran pajak akan diatur dalam ketentuan lanjutan. Seperti yang diketahui, lewat PMK 136/2023, pemerintah Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 pada 31 Desember 2024 lalu. Kebijakan ini merupakan wujud upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang telah diusahakan bersama setidaknya dalam lima tahun terakhir. Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal € 750 juta membayar pajak minimum. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/beri-sinyal-pajak-minimum-global-dibatalkan-airlangga-kita-lihat-situasi-global
Dividen Diinvestasikan Kembali, Apakah Bebas Pajak?
Dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak (WP) badan dalam negeri, dikecualikan dari objek PPh. Namun demikian, dividen tersebut tidak serta merta dikecualikan dari objek PPh, melainkan harus diinvestasikan kembali di Indonesia. Pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 UU PPh s.t.d.d UU HPP menyatakan sebagai berikut. “(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: … f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut: … 2. dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut:….” Ketentuan mengenai pengecualian objek PPh atas dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan No. 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024). Sama halnya dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 UU PPh s.t.d.d UU HPP, Pasal 17 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 pun mengatur bahwa dividen yang berasal dari luar negeri dapat dikecualikan dari objek PPh selama diinvestasikan kembali ke Indonesia. Adapun penjelasan lebih detail mengenai dividen yang berasal dari luar negeri dapat dilihat pada Pasal 17 ayat (3) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 yang berbunyi: “(3) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; atau b. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.” Kemudian, persyaratan dividen yang berasal dari badan usaha luar negeri yang tidak terdaftar dalam bursa efek untuk dapat dikecualikan dari objek PPh dijelaskan lebih rinci dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 yang berbunyi sebagai berikut: “(1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf b, harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak. (2) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 di atas, dividen yang diperoleh dari luar negeri yang berasal dari badan […]
Bagaimana Cara Instansi Pemerintah Setor Pajak di Core Tax?
Sebagai pihak yang sudah ditunjuk Kementerian Keuangan untuk memotong dan memungut pajak di setiap belanja pemerintah yang dilakukan, instansi pemerintah menduduki posisi vital sebagai mitra Direktorat Jenderal Pajak sekaligus garda terdepan dalam mengamankan penerimaan negara lewat pemanfaatan belanja APBN, APBD, dan APBDesa. Lewat ketentuan di Peraturan Menteri Keuangan(PMK) nomor PMK-231/PMK.03/2019 yang diubah terakhir di PMK-59/PMK.03/2022, Kementerian Keuangan mengatur mengenai kewajiban perpajakan yang harus dilakukan wajib pajak instansi pemerintah, termasuk kewajiban memotong dan memungut pajak atas transaksi sehubungan dengan belanja pemerintah. Selama ini instansi pemerintah melakukan kewajiban perpajakannya melalui aplikasi DJP Online. Kewajiban yang dilakukan itu mencakup tiga kegiatan utama, yaitu membuat bukti potong dan/atau bukti pungut pajak atas belanja instansi, lalu membuat billing pajak atas bukti potong/pungut yang sudah dibuat tersebut, serta membuat laporan surat pemberitahuan masa setiap bulan. Seiring dengan implementasi sistem Core Tax sejak 1 Januari 2025 serta terbitnya PMK-81/2024 yang mengatur ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem Core Tax, semua kewajiban instansi pemerintah tersebut untuk masa pajak Januari 2025 sampai seterusnya pindah ke Core Tax. Ada beberapa perbedaan penting terkait cara menunaikan kewajiban instansi pemerintah di sistem Core Tax yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Cara log masuk(login) ke sistem Core Tax dengan konsep impersonating Sebelumnya di DJP Online, wajib pajak instansi pemerintah log masuk dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) instansi pemerintah 15 digit dan kata sandi yang sudah dibuat. Di sistem Core Tax, instansi pemerintah tetap masuk menggunakan NPWP 16 digit dengan tambahan digit ‘0’ di depan NPWP 15 digitnya berikut kata sandinya. Namun sehubungan dengan penerapan konsep impersonating di Core Tax, yaitu penggunaan akun wajib pajak orang pribadi penanggung jawab yang bertindak sebagai wajib pajak instansi pemerintah untuk melakukan kewajiban perpajakan seperti membuat bukti potong, buat billing pajak, dan lapor SPT Masa, maka penanggung jawab orang pribadi instansi pemerintah tersebut contohnya Kuasa Pengguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran, dan lainnya harus membuat akun terlebih dahulu di Core Tax. Instansi Pemerintah selanjutnya melakukan kewajiban perpajakannya menggunakan akun Core Tax orang pribadi penanggung jawab yang sudah didaftarkan. 2. Cara membuat bukti potong/bukti pungut Di DJP Online, instansi pemerintah membuat bukti potong dengan cara menginput NPWP lawan transaksi 15 digit. Sementara di sistem Core Tax instansi pemerintah sudah wajib menginput NPWP 16 digit lawan transaksi sesuai dengan ketentuan di PER-6/2024, dengan rincian jika rekanan wajib pajak orang pribadi menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK), sementara untuk rekanan badan atau instansi pemerintah lainnya menambahkan ‘0’ di depan NPWP 15 digit lawan transaksi. Selain itu di DJP Online menyediakan dua cara memasukkan bukti potong, bisa lewat perekaman manual satu per satu atau bisa lewat skema impor melalui format Excel. Sementara di Coretax skema impor melalui format excel diubah menjadi format XML, yang formatnya dan cara menggunakannya bisa diunduh melalui tautan ini. 3. Cara membuat kode billing pajak Di DJP Online, cara membuat kode billing pajak bisa melalui menu bayar dan dibuat secara mandiri sesuai dengan jenis pajak yang perlu disetor. Selain itu pembuatan billing pajak bisa juga melalui menu bukti potong yang sudah dibuat di ikon ‘bayar’, dan akan di-generate secara otomatis kode […]
Penggunaan Aplikasi e-Faktur Pasca Implementasi Coretax System
Pembuatan faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur dapat dilakukan untuk seluruh jenis faktur pajak, kecuali: Faktur pajak dengan kode transaksi 06 & 07 Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan PPN terutang Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang dikukuhkan setelah tanggal 1 Januari 2025. Informasi penting bagi PKP yang menggunakan e-Faktur: a. Permohonan nomor seri faktur pajak (NSFP) untuk masa pajak Januari 2025 diajuakan melalui aplikasi e-Nofa; b. PKP yang belum memiliki NSFP untuk masa pajak Januari 2025 hingga sekarang hanya dapat membuat faktur pajak dengan tanggal yang sama dengan tanggal permintaan NSFP atas setelahnya; c. NSFP pada Coretax DJP akan trdiri atas 17 digit dengan adanya penambahan angka 9 secara otomatis pada digit ke- 5 NSFP semula pada aplikasi e-Faktur; d. Penggantian faktur pajak yang dibuat melalui aplikasi e-Faktur tetap dilakukan di aplikasi e-Faktur; e. PKP dapat mengunduf file pdf faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur untuk selanjurnya dapat disampaikan kepada lawan transaksi; f. Data faktur pajak yang dibuat dari aplikasi e-faktur akan tersedia di Coretax DJP paling lambat H+2 penerbitan faktur pajak.
Dapat Tanah Warisan, Harus Bayar dan Lapor Pajak?
Jakarta – Orang tua yang meninggal dunia biasanya meninggalkan harta warisan, seperti tanah, bangunan, atau kendaraan. Harta tersebut diberikan kepada anggota keluarga atau ahli waris dan bisa dimanfaatkan. Namun, ketika menerima harta waris misalkan tanah, apakah ahli waris harus membayar pajak? Lalu, apa tanah warisan itu perlu dilaporkan dalam surat pemberitahuan atau SPT? Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di pajak.go.id, harta warisan tidak tergolong objek pajak. Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pada pasal 4 ayat 3 dijelaskan hal yang dikecualikan dari objek pajak, salah satunya adalah warisan yang tertera di butir b. Menurut keterangan DJP, warisan yang dimaksud meliputi semua jenis harta baik harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak termasuk tanah dan bangunan. Robert Pakpahan waktu masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak juga pernah menjelaskan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tidak tertuang bahwa warisan merupakan objek pajak. Oleh karena itu ditegaskan bahwa warisan bukan objek pajak. “Jadi warisan itu bukan objek pajak. Jadi kalau saya terima warisan dari orang tua dari dulu sampai sekarang itu bukan pajak penghasilan. Setelah keluar PMK 19 juga tetap bukan PPH. Jadi yang diatur di sini dalam hal warisan itu belum dibagi,” terangnya di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (5/3/2018) silam. Harta bagi orang yang meninggal tidak dianggap objek pajak jika ahli waris memberikan surat kematian kepada perbankan atau lembaga keuangan tempat menyimpan harta. Bagi ahli waris yang menerima harta warisan juga tidak dianggap sebagai objek pajak yang ditarik sebagai PPh. Namun harta warisan itu tetap harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT). “Kalau warisan belum dibagi nilainya di atas Rp 1 miliar ya dilaporkan bukan disetorkan kalau dibagi tapi bukan PPh,” ujarnya. Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya. Sumber: https://www.detik.com/properti/kepemilikan-rumah/d-7771344/dapat-tanah-warisan-harus-bayar-dan-lapor-pajak
Sri Mulyani Teken Aturan Baru Tentang Pemeriksaan Pajak
Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah resmi menerbitkan peraturan baru terkait pemeriksaan pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 Tahun 2025. Peraturan tersebut ditetapkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan pajak bumi dan bangunan, yang saat ini diatur dalam beberapa peraturan di bidang perpajakan. “Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak,” bunyi PMK No. 15 Tahun 2025 dikutip Rabu (19/2/2025). Berdasarkan PMK tersebut, Direktur Jenderal Pajak (DJP) berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pemeriksaan dilakukan dengan beberapa tipe. Seperti pemeriksaan lengkap, pemeriksaan terfokus, dan pemeriksan spesifik. Pemeriksaan lengkap adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang mencakup seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam. Sementara itu, pemeriksaan terfokus adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang terfokus pada satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam. Adapun pemeriksaan spesifik adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana. Pemeriksaan meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, termasuk satu atau beberapa Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Selain itu, jenis pajak yang dikenakan kebijakan pemeriksaan a.l. PPh, PPN, PPnBM, Bea Meterai, PBB, Pajak Penjualan, Pajak Karbon, dan pajak lainnya yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan “Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat berupa penentuan, pencocokan, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan perundang-undangan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan,” tulis PMK ini. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250219104955-4-611802/sri-mulyani-teken-aturan-baru-pemeriksaan-pajak
Sri Mulyani Teken PMK 11/2025, Terkait Rumus Penghitungan DPP Nilai Lain dan Besaran Tertentu PPN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati teken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 yang menetapkan rumus penghitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain dan besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Regulasi yang berlaku mulai 4 Februari 2025 ini diterbitkan untuk menjaga penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen agar tidak berimbas pada barang dan jasa yang tidak masuk kategori mewah. “Dengan berlakunya PMK Nomor 11 Tahun 2025 ini, maka aturan hukum mengenai DPP nilai lain, selain nilai lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PMK Nomor 131 Tahun 2024, dan besaran tertentu PPN menjadi lebih sederhana. Karena terkumpul dalam satu dasar hukum. Harapannya, masyarakat lebih mudah memahami skema penghitungan PPN terutang,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (19/2). Sebagaimana diketahui, PMK Nomor 131 Tahun 2024 mengamanatkan bahwa terdapat pengecualian penghitungan PPN dengan DPP nilai lain dan besaran tertentu PPN, sehingga harus diatur secara khusus dalam PMK tersendiri. Dengan demikian, Dwi menekankan, PMK Nomor 11 Tahun 2025 mengatur skema penghitungan PPN dengan DPP nilai lain dan besaran tertentu PPN dengan rumus, yakni tarif 12 persen (12 persen x 11/12 x DPP dan formula tertentu x 12 persen x 11/12 x DPP). ”[PMK Nomor 11 Tahun 2025] sekaligus menyatukan penyesuaiannya dalam satu PMK agar lebih komprehensif,” imbuh Dwi. Dengan berlakunya PMK Nomor 11 Tahun 2025, maka skema penghitungan PPN terutang yang menggunakan DPP nilai lain, selain nilai lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PMK Nomor 131 Tahun 2024 dan besaran tertentu PPN adalah sebagai berikut: 1. Penyerahan barang kena pajak (BKP)/jasa kena pajak (JKP) sebelum tanggal 1 Januari 2025: Berlaku penghitungan PPN sesuai ketentuan di dalam masing-masing PMK tersendiri yang mengatur tentang DPP nilai lain dan besaran tertentu PPN. 2. Penyerahan BKP/JKP sejak tanggal 1 Januari 2025: Berlaku penghitungan PPN sesuai ketentuan di dalam PMK Nomor 11 Tahun 2025. Ketentuan lebih rinci mengenai PMK Nomor 11 Tahun 2025 dapat diakses dan diunduh pada laman landas pajak.go.id. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/sri-mulyani-teken-pmk-11-2025-tetapkan-rumus-penghitungan-dpp-nilai-lain-dan-besaran-tertentu-ppn/
Jangka Waktu Penyampaian Tanggapan SPHP Berubah Menjadi 5 Hari
PMK 15/2025 mengubah ketentuan jangka waktu penyampaian tanggapan atas surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) oleh wajib pajak. Wajib pajak kini diberikan waktu untuk menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP maksimal selama 5 hari kerja. Batas waktu tersebut dihitung sejak tanggal diterimanya SPHP oleh wajib pajak. Apabila wajib pajak tidak menyampaikan tanggapan atas SPHP sampai dengan jangka waktu tersebut maka pemeriksa pajak akan membuat berita acara tidak disampaikannya tanggapan atas SPHP. Berita acara tidak disampaikannya SPHP tersebut akan ditandatangani oleh pemeriksa pajak. Jangka waktu penyampaian tanggapan atas SPHP itu lebih singkat dibandingkan dengan ketentuan terdahulu. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 42 ayat (2) PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021, wajib pajak diberikan jangka waktu maksimal 7 hari kerja untuk memberikan tanggapan tertulis atas SPHP. Sebelumnya, berdasarkan PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021, wajib pajak juga dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian tanggapan atas SPHP. Perpanjangan jangka waktu tersebut diberikan maksimal 3 hari kerja. Namun, PMK 15/2025 tidak lagi mencantumkan ketentuan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan atas SPHP. SPHP merupakan salah satu komponen penting yang harus dibuat oleh pemeriksa sebelum menetapkan hasil pemeriksaan. Adapun SPHP adalah surat yang berisi hasil pengujian pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang, dan perhitungan sementara dari sanksi dan/atau denda administratif. Penyampaian SPHP tersebut harus dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan.
56 Industri Padat Karya yang Karyawannya Bebas Pajak Penghasilan (PPh) oleh Menkeu Sri
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi memberikan insentif Pajak Penghasilan atau PPh Pasal 21 alias bebas bayar pajak bagi para pekerja di 56 golongan perusahaan padat karya untuk masa pajak 2025. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10/2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025 yang diteken pada 4 Februari 2025. “Jangka waktu pemberian insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Masa Pajak Desember 2025,” tulis beleid tersebut, dikutip pada Selasa (18/2/2025). Insentif tersebut khusus bagi pekerja yang melakukan kegiatan usaha pada bidang alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti menyampaikan bahwa pada dasarnya kebijakan tersebut sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian nasional karena menjadi tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu. “Penerbitan PMK ini merupakan wujud komitmen Pemerintah untuk tetap menjaga daya beli masyarakat melalui paket-paket stimulus yang diberikan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (17/2/2025). Insentif ini diberikan kepada pegawai dengan penghasilan bruto yang diterima tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau Rp500.000 per hari dan pemberi kerja harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK ini. Sebelumnya, dalam paparan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan setidaknya kebutuhan anggaran untuk PPh Pasal 21 DTP ini senilai Rp680 miliar. Artinya, akan ada sekitar Rp680 miliar penerimaan pajak yang tidak disetorkan perusahaan dari industri padat karya kepada bendahara negara karena dikembalikan kepada pekerja. Daftar 56 Golongan industri padat karya yang pekerjanya mendapat insentif PPh Pasal 21: Industri Persiapan Serat Tekstil Industri Pemintalan Benang Industri Pemintana Benang Jahit Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) Industri Kain Tenun Ikat Industri Bulu Tiruan Tenunan Industri Penyempurnaan Benang Industri Pencetakan Kain Industri Batik Industri Kain Rajutan Industri Kain Sulaman Industri Bulu Tiruan Rajutan Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Rumah Tangga Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman Industri Bantal dan Sejenisnya Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman Industri Karung Goni Industri Karung Bukan Goni Industri Barang Jadi Tekstil Lainnya Industri Karpet dan Permadani Industri Tali Industri Barang dari Tali Industri Kain Pita (Narrow Fabric) Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250218/259/1840468/56-industri-padat-karya-yang-karyawannya-bebas-pajak-penghasilan-pph-oleh-menkeu-sri
PKP yang Gunakan e-Faktur ”Client Desktop”, Harus Ajukan NSFP Lewat e-Nofa
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka kembali akses aplikasi e-Faktur ”Client Desktop” untuk seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) seiring dengan proses penyempurnaan core tax. Bagi yang menggunakannya, penting diketahui bahwa permohonan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) harus diajukan melalui aplikasi e-Nofa. ”Permohonan NSFP diajukan melalui aplikasi e-Nofa (https://efaktur.pajak.go.id. PKP yang belum memiliki NSFP untuk masa pajak Januari 2025 sampai dengan sekarang, hanya dapat membuat faktur pajak dengan tanggal yang sama dengan tanggal permintaan NSFP atau setelahnya,” jelas DJP dalam pengumuman yang dirilis di laman resminya, dikutip Pajak.com, (17/2). PKP juga perlu mengetahui, NSFP pada aplikasi e-Faktur Client Desktop berbeda dengan core tax. Pada core tax, NSFP akan akan terdiri atas 17 digit dengan adanya penambahan angka 9 secara otomatis pada digit ke-5 NSFP yang ada di aplikasi e-Faktur Client Desktop. Adapun sebelum adanya core tax, NSFP terdiri dari 16 digit, meliputi 2 digit kode transaksi, 1 digit kode status, dan 13 digit nomor faktur yang ditetapkan DJP. ”PKP dapat mengunduh file PDF (Portable Document Format) faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur Client Desktop untuk selanjutnya dapat disampaikan kepada lawan transaksi. Data faktur pajak yang dibuat dari aplikasi e-Faktur Client Desktop akan tersedia di core tax paling lambat H+2 penerbitan faktur pajak,” imbuh DJP. Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti menegaskan bahwa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap dibuat melalui core tax. ”Retur dan pembatalan faktur pajak [juga] tetap dilakukan melalui aplikasi core tax,” tambah Dwi kepada Pajak.com, (14/2). Adapun pelaporan SPT Masa PPN wajib disampaikan bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP paling lama pada akhir bulan berikutnya. Sementara, batas waktu penerbitan faktur pajak adalah tanggal 15. Ketentuan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sedangkan regulasi mengenai NSFP termaktub dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24 Tahun 2012. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/pkp-yang-gunakan-e-faktur-client-desktop-harus-ajukan-nsfp-lewat-e-nofa/
