Mulai tahun pajak 2025, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan disampaikan lewat aplikasi Coretax. Sesuai ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER 11/2025), wajib pajak yang melakukan pembukuan wajib mengisi rekonsiliasi laporan keuangan. Dalam hal terdapat koreksi fiskal positif/negatif, wajib pajak perlu memilih kode penyesuaian fiskal yang sesuai. Kode Penyesuaian Fiskal Positif Koreksi positif merupakan penyesuaian yang menyebabkan penghasilan kena pajak bertambah, sehingga pajak terutang meningkat. Pada Lampiran PER 11/2025, terdapat 11 kode penyesuaian fiskal positif (kode diawali dengan FPO), yaitu: FPO-01 – Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya. FPO-02 – Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak FPO-04 – Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan FPO-05 – Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan FPO-06 – Pajak Penghasilan FPO-07 – Gaji yang dibayarkan kepada pemilik/ orang yang menjadi tanggungannya FPO-08 – Sanksi administratif FPO-09 – Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal FPO-10 – Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal FPO-11 – Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak FPO-12 – Penyesuaian fiskal positif lainnya Kode Penyesuaian Negatif Penyesuaian atau koreksi negatif pada saat melakukan rekonsiliasi laporan keuangan akan menyebabkan jumlah penghasilan kena pajak berkurang, sehingga pajak yang terutang menurun. PER 11/2025 mengatur empat kode penyesuaian fiskal negatif (kode diawali dengan FNE), yakni: FNE-01 – Penghasilan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha FNE-02 – Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal FNE-03 – Selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal FNE-04 – Penyesuaian fiskal negatif lainnya Pengisian Kode Penyesuaian di Coretax Koreksi fiskal dilakukan pada Lampiran 1 (Rekonsiliasi Laporan Keuangan). Pada akun yang tersedia, klik tombol edit (ikon pensil), kemudian masukkan nilai komersial. Jika terdapat koreksi, pilih kode penyesuaian fiskal yang sesuai. Wajib pajak dapat memilih lebih dari 1 kode penyesuaian untuk setiap kode akun.
Inflasi dan Pajak Tinggi Membuat Harga Mobil Baru Semakin Tak Terjangkau
Penjualan mobil baru di Indonesia diperkirakan akan menurun signifikan pada tahun 2025. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menunjukkan penjualan mobil ritel Januari hingga Juni 2025 mencapai 390.467 unit, turun 9,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 432.453 unit. Fenomena ini sejalan dengan menyusutnya kelas menengah. Menurut data PwC Indonesia, kelas menengah telah menurun sebanyak 9,48 juta orang selama lima tahun terakhir. Hal ini berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama untuk kendaraan roda empat. “Penurunan jumlah kelas menengah, ditambah dengan faktor-faktor seperti suku bunga tinggi, inflasi, dan beban pajak kendaraan, membuat harga mobil kelas menengah menjadi kurang terjangkau,” ujar Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dari Institut Teknoolgi Bandung (ITB) kepada Kompas.com, Kamis (2/10/2025). Misalnya, model mobil seperti Daihatsu Sigra, Honda Brio, dan Toyota Avanza, yang sebelumnya menjadi favorit di segmen mobil terjangkau, mengalami penurunan penjualan yang signifikan. Daihatsu Sigra, misalnya, mencatat penurunan penjualan sebesar 32,7 persen pada paruh pertama tahun 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, pasar sepeda motor terus menunjukkan ketahanan. Sepeda motor tetap menjadi pilihan utama bagi kelas menengah ke bawah karena harganya yang lebih terjangkau, biaya operasional yang rendah, dan fleksibilitasnya. Hal ini membuat pasar sepeda motor entry-level tetap kuat, bahkan di tengah kondisi ekonomi yang menantang.
PPN atas Pemberian Sumbangan
PPN atas Sumbangan Mengacu pada Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN, dijelaskan bahwa salah satu bentuk penyerahan BKP yang dikenakan PPN adalah pemberian cuma-cuma. Lebih lanjut, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN, penyerahan JKP dalam daerah pabean yang dilakukan oleh PKP untuk pemberian cuma-cuma juga dikenakan PPN. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang diberikan secara cuma-cuma dalam bentuk sumbangan tetap dikenakan PPN. Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang telah dikukuhkan sebagai PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan JKP tersebut. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN wajib membuat Faktur Pajak PPN untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP. Penghitungan PPN atas Sumbangan Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 (PMK 131/2024), penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh PKP wajib dipungut PPN dengan tarif 12% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain. Untuk pemberian cuma-cuma, nilai lain dapat dihitung dengan mengalikan 11/12 dengan harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor atas pemberian BKP dan/atau JKP secara cuma-cuma. PPN terutang = 12% x 11/12 x (harga jual atau penggantian – laba kotor) Ketentuan Kode Transaksi dan Faktur Pajak PPN Sumbangan Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan faktur pajak dengan menggunakan kode dan nomor seri faktur pajak. Kode dan nomor seri faktur pajak terdiri dari 17 digit. Ketentuan kode transaksi dan NSFP dapat ditemukan dalam artikel berikut: Ketentuan Terbaru Kode Transaksi dan Nomor Seri Faktur Pajak. Dalam hal Barang Kena Pajak (BKP) yang dihibahkan secara cuma-cuma, faktur pajak wajib diterbitkan pada saat BKP diserahkan langsung kepada penerima. Sementara itu, untuk Barang Kena Pajak (JKP) yang dihibahkan secara cuma-cuma, faktur pajak wajib diterbitkan pada saat penyerahan, yaitu pada saat fasilitas atau kemudahan tersebut dapat digunakan, baik sebagian maupun seluruhnya. Lebih lanjut, mengacu pada Pasal 54 ayat (1) huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 11/PJ/2025 (PER 11/2025), dijelaskan bahwa pemberian cuma-cuma atas BKP dan/atau JKP kepada konsumen akhir dapat membuat faktur pajak digunggung yang memuat keterangan paling sedikit: nama, alamat, dan NPWP; jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN dan/atau PPnBM yang dipungut; dan kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak
Kendaraan Sudah Berpindah Kepemilikan, Masih Perlukah Dimasukkan ke SPT Tahunan?
Dalam pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), harta yang dilaporkan adalah harta yang benar-benar dimiliki atau dikuasai oleh wajib pajak pada akhir tahun pajak. Harta ini dilaporkan pada bagian “Harta Akhir Tahun” dalam SPT. Namun, jika terdapat harta yang sebenarnya tidak lagi dikuasai oleh wajib pajak, misalnya, harta tersebut telah berpindah tangan dan kepemilikannya bukan atas nama wajib pajak, harta tersebut tidak perlu dicantumkan dalam SPT. Jika harta tersebut sudah tidak lagi dimiliki oleh wajib pajak, tidak perlu dilaporkan dalam SPT. Contoh: sebuah kendaraan telah dihibahkan kepada orang lain dan STNK-nya telah diblokir (tidak lagi terdaftar dengan NIK dan nama pemilik asli). Dalam hal ini, netizen tersebut menanyakan apakah kendaraan tersebut masih perlu dilaporkan sebagai aset dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pemilik asli. Kring Pajak juga mengingatkan bahwa menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-11/PJ/2025, aset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan adalah aset yang dimiliki atau dikuasai oleh wajib pajak pada akhir tahun pajak. Jika Anda tidak benar-benar memiliki aset tersebut, aset tersebut tidak perlu dicantumkan dalam SPT Tahunan. Sebaliknya, jika Anda benar-benar memilikinya, meskipun tidak tercatat dalam dokumen resmi, aset tersebut tetap perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan. Misalnya, kendaraan yang STNK-nya masih terdaftar atas nama orang lain. Jika Anda benar-benar memiliki kendaraan tersebut, aset tersebut tetap perlu dicantumkan dalam SPT Tahunan. “Jika aset [kendaraan] tersebut benar-benar dimiliki dan dikuasai oleh wajib pajak, harap laporkan dalam SPT Tahunan, meskipun STNK-nya bukan atas nama wajib pajak,” tulis pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak, Kring Pajak. Jangan khawatir, aset Anda tidak dikenakan pajak. Melaporkan aset diperlukan agar otoritas pajak dapat menilai kewajaran kepemilikan aset Anda relatif terhadap penghasilan Anda. Kegagalan melaporkan aset ini dalam SPT Tahunan Anda berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Selain kendaraan bermotor, jenis aset lain yang dapat dilaporkan dalam SPT Tahunan Anda antara lain gawai, ponsel, dan bahkan emas batangan.
Alasan Tarif Cukai Rokok Tak Akan Naik di 2026
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa tarif cukai rokok, atau Cukai Hasil Tembakau (CHT), tidak akan naik di tahun 2026. Keputusan ini diambil setelah diskusi intensif dengan para pelaku industri rokok dan pertimbangan untuk menata kembali pasar agar produk legal lebih terlindungi sekaligus membuka ruang bagi produsen kecil untuk masuk ke sistem formal. Purbaya menyatakan bahwa jajarannya telah menerima berbagai masukan dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). Menurutnya, masukan tersebut sangat detail dan perlu disaring agar kebijakan yang diambil tidak menguntungkan pihak tertentu atau merugikan pihak lain. Dari proses tersebut, salah satu poin yang ia ambil adalah tidak mengubah tarif cukai tahun depan. “Awalnya saya berpikir untuk menurunkannya, tetapi mereka hanya memintanya. Mereka bilang sudah cukup, jadi begitulah. Ini salah mereka sendiri. Mereka menyesalinya. Mereka tahu mereka harus meminta penurunan. Jadi, pada tahun 2026, kami tidak menaikkan tarif cukai,” kata Purbaya dalam jumpa pers. Selain mempertahankan tarif, Purbaya menekankan bahwa pemerintah berfokus pada pengaturan pasar dengan tujuan utama memberantas peredaran rokok ilegal, baik yang berasal dari luar negeri maupun produk dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban cukai. “Ini adalah produk-produk yang tidak membayar pajak. Jika kita hilangkan semuanya, mereka akan mati. Jadi tujuan saya adalah melindungi mereka dan menciptakan lapangan kerja,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa penindakan terhadap produk ilegal harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan tujuan penciptaan lapangan kerja dan perdagangan tetap terjaga. Sebagai bagian dari upaya pengaturan tersebut, Purbaya mengatakan pemerintah akan mengembangkan program kawasan industri tembakau yang menerapkan konsep pelayanan terpadu dan satu atap. Di zona-zona tersebut, fasilitas produksi, gudang, dan proses pemungutan cukai akan dipusatkan, sehingga memudahkan pemantauan dan kepatuhan. “Jadi, kami akan membuat program khusus. Mungkin kawasan industri tembakau. Di sana, mesin, gudang, pabrik, dan bea cukai akan ditempatkan di satu lokasi. Konsepnya adalah sentralisasi plus layanan satu atap. Ini sudah berlaku di Kudus, Jawa Tengah, dan Pare-Pare di Sulawesi Selatan. Jadi, kami akan menerapkannya lagi di kota-kota lain,” jelasnya. Tujuan kebijakan ini bukan hanya untuk menangkap operator ilegal, tetapi juga untuk menyediakan cara bagi produsen skala kecil untuk beralih ke kegiatan produksi yang patuh cukai dan bersaing secara adil dengan perusahaan yang lebih besar. Dalam kerangka ini, Purbaya menekankan bahwa pemerintah ingin mengakomodasi keberlanjutan usaha kecil tanpa mengorbankan kepatuhan pajak. “Tujuannya adalah untuk menarik para produsen rokok ilegal ke kawasan khusus, agar mereka dapat membayar pajak sesuai kewajibannya. Sehingga mereka dapat dimasukkan ke dalam sistem. Jadi, kita tidak hanya melindungi perusahaan besar; perusahaan kecil juga dapat dimasukkan ke dalam sistem. Dan tentu saja, mereka harus membayar cukai. Kita mengaturnya agar mereka dapat bersaing secara adil dengan perusahaan besar,” jelasnya. Purbaya menekankan bahwa pemerintah akan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk merancang regulasi yang adil. “Saya akan mempertimbangkan masukan tersebut. Namun, yang kita atur adalah untuk memastikan bahwa usaha kecil dapat bertahan, dan usaha besar tidak dirugikan secara tidak adil,” ujarnya.
DPR Mendukung Penundaan Pemungutan Pajak Lewat Shopee dkk
Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mukhamad Misbakhun, mendukung keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menunda pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 22 sebesar 0,5 persen melalui platform e-commerce seperti Shopee dan lainnya. Misbakhun menyatakan bahwa kebijakan perpajakan seharusnya tidak memberatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut Misbakhun, penundaan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 22 sebesar 0,5 persen melalui e-commerce mencerminkan kepekaan pemerintah terhadap kondisi ekonomi nasional yang saat ini sedang dalam fase pemulihan. “Penundaan ini akan memberi ruang bernapas kepada pelaku usaha agar tidak terbebani di saat ekonomi belum sepenuhnya pulih. Di sinilah pentingnya desain kebijakan pajak yang tidak mematikan UMKM, sekaligus memastikan perusahaan marketplace [atau e-commerce] besar memberi kontribusi yang sepadan,” ujarnya dalam keterangan tertulis (2/10/25). Misbakhun menekankan bahwa tujuan kebijakan perpajakan di era digital idealnya tidak hanya menekankan perluasan basis pendapatan, tetapi juga membangun sistem perpajakan modern, memperkuat data fiskal, dan menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku usaha luring dan daring. Ia juga mendorong pemerintah untuk lebih aktif berdialog dengan asosiasi e-commerce dan komunitas UMKM dalam mengembangkan kebijakan perpajakan untuk era digital. “Saya yakin kebijakan pajak digital ini bisa diterapkan tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa jadi instrumen keadilan yang kuat,” tandas Misbakhun. Sebelumnya, Purbaya mengungkapkan bahwa alasan penundaan penerapan kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 (PMK 37/2025) ini adalah karena ketidakstabilan ekonomi. “Saya lihat begini, ini ribut-ribut kemarin nih. Kita tunggu dulu deh. Tapi paling enggak sampai kebijakan [menyalurkan dana ke perbankan] yang Rp200 triliun. Ini kebijakan untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti [soal kebijakan penunjukan e-commerce sebagai pemungut pajak],” ungkap Purbaya kepada awak media di kementerian keuangan Jakarta, pada (26/9/25). Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rosmauli (Ros) mengungkapkan alasan penundaan kebijakan pemungutan PPh Pasal 22 melalui e-commerce. “Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari kondisi ekonomi pelaku usaha hingga kesiapan sistem dari masing-masing platform e-commerce, hingga saat ini belum dilakukan penunjukan platform e-commerce sebagai pihak lain yang diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 22 Final,” jelas Ros dalam pesan singkat kepada Pajak.com (30/9/25).
DJP Update Template XML Faktur Keluaran ke Versi 1.6
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan pembaruan versi pada template XML faktur pajak keluaran. Versi template terbaru saat ini adalah v1.6. Pada versi ini, DJP memperbarui referensi kode transaksi 07. Kode yang diperbarui yaitu TD.00513 – Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun Rumah Susun Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2025, dan TD.00524 – PPN Ditanggung Pemerintah. Cap fasilitas kode transaksi juga diperbarui. Kode cap yang ditambahkan yaitu TD.01113 – PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKSEKUSI PMK NOMOR 13 TAHUN 2025. Selain itu, pada template faktur pajak keluaran v1.6 juga meng-update satuan ukur. Satuan yang diperbarui yakni: UM.0034 – Meter Kubik UM.0035 – Sentimeter Persegi UM.0036 – Drum UM.0037 – Karton UM.0038 – Kwh UM.0039 – Roll Bagi wajib pajak yang menggunakan template XML dapat segera memperbarui template dengan versi terkini. Sementara itu, file converter XML masih menggunakan v1.5.
Peraturan Insentif bagi WNI Penarikan Dolar dari Luar Negeri Masih Disusun
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah masih menyusun peraturan insentif untuk mendorong transfer dana valuta asing milik WNI dari luar negeri, khususnya Singapura, ke Indonesia. Menurutnya, rencana kebijakan tersebut belum final karena masih terdapat sejumlah risiko yang perlu dipertimbangkan secara matang. “Ini belum selesai; masih ada risiko yang perlu diperhitungkan. Dan sepertinya ketika Presiden Prabowo Subianto memerintahkan timnya untuk menghitung risiko, mereka belum mempertimbangkannya sebelumnya. Jadi belum selesai,” kata Purbaya dalam jumpa pers. Purbaya menambahkan bahwa meskipun insentif ini diterapkan, mekanismenya akan tetap berbasis pasar, tanpa intervensi langsung pemerintah terhadap suku bunga perbankan. “Jadi itu belum selesai. Danantara dan saya, Danantara, harus menginstruksikan bank-bank mereka untuk menjalankan praktik bisnis sesuai dengan kondisi pasar, berbasis pasar. Jadi tidak akan ada intervensi langsung,” ujarnya. Lebih lanjut, Purbaya menegaskan bahwa dirinya pro-mekanisme pasar. Ia mengatakan prinsip kebijakan pemerintah adalah mendorong efisiensi pasar dengan meningkatkan pasokan dana, bukan mendikte suku bunga. “Saya orang yang pro-pasar. Saya mendorong suku bunga rendah, bukan dengan mengaturnya, tetapi dengan menyediakan dana, sehingga pasokan meningkat, memungkinkan mekanisme pasar bekerja. Jadi kami selalu mengarahkan kebijakan kami untuk menggerakkan pasar agar lebih efisien, bukan untuk mendikte,” jelasnya. Dalam kesempatan itu, Purbaya juga menegaskan bahwa arah kebijakan fiskal selalu selaras dengan tindakan Bank Indonesia (BI). Menurutnya, tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebijakan Kementerian Keuangan dan bank sentral sering bertentangan. “Jadi, kebijakan saya dengan Bank Sentral sinkron; tidak ada perbedaan, sungguh. Hanya saja terkadang, di luar respons kami, kami seolah berselisih dengan BI. Tidak, kami sinkron, selaras, selaras. Apalagi dia baru saja memberi saya bebek goreng yang sangat lezat. Saya terpaksa setuju dengan pandangannya tentang masa depan,” canda Purbaya. Dalam kesempatan itu, Purbaya juga mengklarifikasi rumor yang beredar tentang kebijakan kenaikan suku bunga deposito dolar menjadi 4 persen. Menurutnya, tidak ada kebijakan pemerintah yang mengarahkan bank untuk menetapkan suku bunga deposito valas pada tingkat tertentu. “Pasti akan ada pertanyaan. Rupiah kan 4 persen? Itu yang orang-orang tanyakan. Orang-orang menuduh saya seperti itu; itu kebijakan Menteri Keuangan. Yang mendikte bank untuk menaikkan suku bunga deposito dolar menjadi 4 persen,” kata Purbaya. Ia menegaskan bahwa rumor tentang kebijakan kenaikan suku bunga deposito dolar menjadi 4 persen adalah tidak benar. Purbaya menyatakan bahwa ia tidak pernah meminta otoritas keuangan atau bank untuk menaikkan suku bunga deposito, seperti yang diisukan. “Saya tidak pernah meminta Danantara, lembaga keuangan, atau bank untuk menaikkan suku bunga deposito seperti itu,” jelasnya.
Data Konkret tentang Kredit Pajak Masukan yang Tidak Sesuai Dapat Mengakibatkan Pemeriksaan
Kredit Pajak Masukan (PPN) yang tidak sesuai ketentuan kini dapat dikategorikan sebagai data konkret. Karena kredit pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan dikategorikan sebagai data konkret, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat langsung menggunakan data ini untuk melakukan pengawasan atau pemeriksaan. “Bukti transaksi atau data perpajakan… dapat berupa… kredit pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan,” bunyi Pasal 2 ayat (2) huruf e Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 18/PJ/2025, dikutip Senin (29 September 2025). Untuk memahami ketentuan kredit pajak masukan, Pengusaha Kena Pajak (PKP) perlu memahami ketentuan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Secara umum, pajak masukan dalam suatu masa pajak dapat dikreditkan oleh PKP terhadap pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah PPN dalam faktur pajak yang memenuhi syarat formal dan material. Faktur pajak memenuhi syarat formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar. Syarat material terpenuhi apabila faktur pajak memuat informasi yang benar dan akurat. Apabila Pajak Masukan pada faktur pajak belum dikreditkan pada Masa Pajak yang sama, Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengkreditkan Pajak Masukan tersebut pada Masa Pajak berikutnya, paling lama tiga Masa Pajak setelah Masa Pajak Faktur Pajak diterbitkan. Selain ketentuan di atas, terdapat beberapa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP. Misalnya, Pajak Masukan yang berkaitan dengan perolehan Barang/Jasa Kena Pajak yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha tidak dapat dikreditkan oleh PKP. Lebih lanjut, PKP tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan Barang/Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN. Lebih lanjut, Pajak Masukan atas perolehan Barang/Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dikenakan PPN dengan tarif tertentu tidak dapat dikreditkan. Sebagai informasi, pemeriksaan data konkret oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan pemeriksaan khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15/2025. Pemeriksaan khusus adalah pemeriksaan untuk memverifikasi kepatuhan kewajiban perpajakan, khususnya untuk satu atau lebih pos dalam SPT dan/atau SPOP, data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana. Masa pemeriksaan khusus terdiri dari masa pemeriksaan satu bulan dan Masa Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) selama 30 hari. Namun, apabila pemeriksaan khusus dilakukan karena terdapat data konkret yang menunjukkan adanya kekurangan pembayaran pajak wajib pajak, maka masa pemeriksaan dipersingkat menjadi 10 hari kerja. Masa PAHP juga dipersingkat menjadi 10 hari kerja.
Penunjukan Shopee dkk sebagai Pemungut Pajak, Menkeu Purbaya: Kita Akan Pikirkan Nanti
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memberi sinyal penundaan penunjukan marketplace atau e-commerce, seperti Shopee dan kawan-kawan (dkk) sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Saya lihat begini, ini ribut-ribut kemarin nih. Kita tunggu dulu deh!. Tapi paling enggak sampai kebijakan [menyalurkan dana ke perbankan] yang Rp200 triliun. Ini kebijakan untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti [soal kebijakan penunjukan e-commerce sebagai pemungut pajak],” ungkap Purbaya kepada awak media di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Jakarta, dikutip Pajak.com (29/9/25). Kendati demikian, dia memastikan kesiapan DJP dalam menerapkan aturan dan sistem kebijakan perpajakan. Seperti diketahui, penunjukan e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). Kemudian, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 15/P/2025 (PER 15/2025) juga telah menetapkan bahwa pemungut Pasal 22 Final adalah e-commerce yang memenuhi batasan nilai transaksi dengan pemanfaat jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam 12 bulan atau Rp50 juta dalam satu bulan. “Tapi yang jelas sistemnya sudah siap sekarang,” tegas Purbaya. Pada kesempatan berbeda, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan meminta waktu minimal satu tahun sebelum penerapan PMK 37/2025. “Waktu ini dibutuhkan untuk membangun sistem pelaporan, edukasi kepada seller, dan integrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP),” ungkap Budi kepada Pajak.com (14/7/25). Poin Pokok PMK 37/2025 Sebagai informasi, pokok-pokok pengaturan dalam PMK 37/2025 antara lain: mekanisme penunjukan e-commerce sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang/UMKM (merchant) online dalam negeri. dalam pelaksanaannya, pedagang wajib menyampaikan informasi kepada pihak pasar sebagai dasar pengumpulan. PMK juga mengatur besaran pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen yang bisa bersifat final dan non final. menetapkan faktur sebagai dokumen khusus yang dipersamakan dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Unifikasi. mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh marketplace atas transaksi yang dilakukan merchant telah sesuai dengan dokumen faktur penjualan dan standarisasi data minimal yang harus dicantumkan dalam faktur. pihak marketplace mempunyai kewajiban menyampaikan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Peraturan Perpajakan I Hestu Yoga Saksama menjelaskan bahwa tidak semua pedagang on-line akan dikenakan PPh final 0,5 persen sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. “Misalnya, saya berjualan dan memiliki peredaran bruto cuma Rp4 miliar, kurang dari Rp4,8 miliar. Sebenarnya yang PPh yang dipungut di marketplace sudah final, sehingga nanti di SPT [Surat Pemberitahuan] PPh saya, tinggal isi SPT saja berdasarkan bukti potong dari marketplace, sehingga SPT-nya menjadi nihil. Untuk yang penjual besar, misalnya penjual mobil itu juga dipungut setengah persen, tapi perlakuannya sebagai kredit pajak. Karena penjualan mobil enggak boleh PPh final,” jelasnya dalam Media Briefing di DJP, pada (14/7/25). Di sisi lain, Hestu menekankan bahwa PMK 37/2025 juga membebaskan tarif PPh final sebagaimana yang termaktub dalam PP Nomor 55 Tahun 2022. Dalam PP tersebut bahwa pedagang yang omzet tahunannya kurang dari Rp500 juta dibebaskan pajak. “Namun, merchant harus menyampaikan […]
