Kring Pajak mengingatkan pembeli bahwa faktur pajak masukan dengan kode 08 yang digunakan untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dibebaskan dari PPN tidak dapat dikreditkan. Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa jika wajib pajak menerima faktur pajak dengan kode 08 karena dibebaskan dari PPN, faktur pajak masukan tersebut tetap harus dilaporkan dalam SPT. “Silakan pilih faktur pajak masukan dan klik tidak dikreditkan [pada aplikasi coretax] untuk memasukkannya ke dalam SPT. Setelah itu, periksa lampiran B3 di SPT Masa PPN,” demikian pernyataan Kring Pajak di media sosial. Perlu diketahui, kode 08 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang dibebaskan dari PPN atau PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) berdasarkan ketentuan khusus yang berlaku. ketentuan yang mengatur pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu dan/atau pemanfaatan jasa tertentu dari luar daerah pabean. ketentuan yang mengatur perlakuan PPN atas pemberian jasa kebandarudaraan tertentu kepada badan usaha angkutan udara niaga untuk pengoperasian pesawat udara yang melayani penerbangan internasional. ketentuan yang mengatur perlakuan PPN atas pemberian jasa kepelabuhanan tertentu kepada badan usaha pelayaran yang melakukan kegiatan angkutan laut internasional. ketentuan yang mengatur tata cara pemberian pembebasan PPN, atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kepada perwakilan negara asing dan badan internasional beserta pejabatnya.
Tata Cara Pencabutan Status PKP
Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Jabatan PKP adalah pengusaha yang menyerahkan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) yang dikenakan pajak menurut UU PPN. Dengan kata lain, pengusaha yang sudah berstatus PKP wajib untuk melakukan pemungutan, penyetoran, serta pelaporan PPN atau PPnBM atas penyerahan BKP/JKP. Perihal pencabutan PKP telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024). Berdasarkan PMK 81/2024, pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan berdasarkan permohonan atau secara jabatan. PKP yang tidak lagi memenuhi syarat dapat dicabut statusnya secara jabatan. Pencabutan secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan maupun penelitian administrasi. Prosedur pencabutan dengan penelitian administrasi dilakukan terhadap PKP dengan ketentuan: PKP dengan status wajib pajak nonaktif; PKP telah dinonaktifkan akses pembuatan faktur pajak dan tidak melakukan klarifikasi dalam jangka waktu 30 hari sejak penonaktifan atau klarifikasinya ditolak; PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; PKP orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; PKP BUT telah menghentikan kegiatan usaha di Indonesia; dan/atau PKP dengan keadaan tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Pencabutan Pengukuhan PKP Melalui Permohonan Dalam hal pencabutan status PKP dilakukan melalui permohonan PKP, maka PKP wajib menyampaikan permohonan dengan melampirkan dokumen yang menunjukkan bahwa PKP tidak lagi memenuhi kriteria. Lebih lanjut, setelah permohonan diterima kemudian DJP akan melakukan pemeriksaan. Keputusan atas permohonan tersebut harus diterbitkan dalam jangka waktu 6 bulan. Apabila melewati jangka waktu tersebut, permohonan dianggap diterima dan keputusan pencabutan wajib diterbitkan paling lama 1 bulan. Pengajuan Permohonan Pencabutan PKP di Coretax Mula-mula login Coretax. Lakukan impersonating jika PKP yang mengajukan permohonan pencabutan adalah Badan Usaha. Klik Menu Portal Saya → Penghapusan & Pencabutan. Selanjutnya, pada Formulir Manajemen Kasus → Jenis Pembatalan (penghapusan NPWP atau pencabutan/pengukuhan PKP/SKT PBB). Setelah memilih Jenis Pembatalan, lanjutkan dengan memastikan bahwa Identitas Kuasa Wajib Pajak serta Identitas Wajib Pajak telah sesuai, kemudian unggah dokumen pendukung Penghapusan Pendaftaran. Setelah dokumen pendukung Penghapusan Pendaftaran selesai diunggah, lanjutkan dengan mencentang Pernyataan Wajib Pajak. Kemudian klik Simpan.
Apa itu PPN atas Jasa Luar Negeri (JLN)?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak atas konsumsi dalam negeri, juga dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPN. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean wajib memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang atas jasa tersebut. Kewajiban ini lazim disebut sebagai PPN Luar Negeri. Lalu, apa yang dimaksud dengan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan PPN Luar Negeri? Ketentuan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean diatur dalam Undang-Undang PPN dan PMK 40/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang PPN, pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean adalah setiap kegiatan yang memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Dengan kata lain, jasa yang berasal dari luar daerah pabean dimanfaatkan oleh setiap orang di dalam daerah pabean. Sebagai contoh, Pengusaha Kena Pajak (PKP) C di Surabaya memanfaatkan JKP dari Pengusaha B yang berdomisili di Singapura. Atas pemanfaatan JKP di luar negeri ini, terutang PPN, yang biasa disebut PPN atas Jasa Luar Negeri (JLN). Pelajari Cara Membuat Kode Tagihan PPN Secara Mandiri untuk Jasa Luar Negeri. Dengan demikian, PPN JLN adalah PPN yang dikenakan atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang PPN mengatur bahwa PPN yang terutang atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan JKP. Rincian tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas barang luar negeri diatur dalam PMK 40/2010 hingga PMK 81/2024. Lebih lanjut, ketentuan mengenai PPN atas barang luar negeri juga dimuat dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-147/PJ/2010. Surat edaran ini antara lain merinci ruang lingkup definisi Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam daerah pabean. Merujuk pada Poin 3 SE-14/PJ/2010, Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam daerah pabean adalah: 1. Jasa Kena Pajak tersebut diberikan oleh orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berdomisili di luar daerah pabean; 2. Penyediaan Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar daerah pabean sepanjang penyediaan Jasa Kena Pajak tersebut tidak mengakibatkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berdomisili di luar daerah pabean menjadi wajib pajak dalam negeri; 3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dilakukan di dalam daerah pabean; dan 4. Barang Kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dimanfaatkan oleh setiap orang di dalam daerah pabean. Kriteria yang diterapkan pada Poin 3 SE-147/2010 bersifat kumulatif, sehingga untuk memenuhi definisi Barang Kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam daerah pabean, keempat kriteria tersebut harus dipenuhi. Sebagai contoh, PT ABC, yang berdomisili di Jakarta, menyewa konsultan hukum Y Pte Ltd, yang berdomisili di Singapura, untuk memberikan nasihat […]
