Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjanjikan percepatan waktu penyelesaian pemeriksaan pajak demi membantu perusahaan mengurangi beban menghadapi gejolak perekonomian global akibat pengenaan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dalam analisis Tax Compliance and Audit Advisor TaxPrime Awalludin Anthon Budiyono, kebijakan pemerintah untuk memangkas waktu proses pemeriksaan pajak akan menjadi kabar gembira bagi perusahaan yang mengajukan restitusi. Mengawali perbincangan eksklusif bersama Pajak.com, Awal mengungkapkan bahwa sejatinya spirit pemerintah untuk mempercepat proses pemeriksaan pajak telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 yang berlaku sejak 1 Februari 2025. Regulasi ini memangkas waktu proses pemeriksaan pajak berdasarkan tiga kategori, yaitu pemeriksaan lengkap dengan jangka waktu penyelesaian paling lama 5 bulan, pemeriksaan terfokus maksimal 3 bulan, dan pemeriksaan spesifik paling lama diselesaikan selama 1 bulan. Bandingkan dengan PMK Nomor 17 Tahun 2013 yang menetapkan waktu penyelesaian pemeriksaan pajak maksimal 12 bulan. “Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kelangsungan bisnis sangat signifikan, terutama dalam konteks ketidakpastian ekonomi global, seperti ancaman perang tarif. Dengan adanya percepatan pemeriksaan pajak, tentu menguntungkan perusahaan—adanya kepastian hukum, terutama bagi Wajib Pajak yang meminta pengembalian pajak, terutama refund PPN [Pajak Pertambahan Nilai]. Ini kabar gembira,” ungkap Awal, di Kantor TaxPrime Graha TTH, Jakarta, (4/6/25). Di sisi lain, eks pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini menekankan bahwa pemeriksaan pajak penting untuk memastikan kepatuhan dan keadilan dalam sistem perpajakan. Namun dalam kacamata perusahaan, proses pemeriksaan pajak dapat menimbulkan dampak yang nyata terhadap perusahaan, meliputi tambahan beban administratif karena perusahaan wajib menyediakan dokumen dan data yang lengkap dan sesuai dengan permintaan DJP. “Proses kita menyiapkan data-data itu menyita waktu, tenaga, dan sumber daya internal, terutama bagian keuangan dan akuntansi. Untuk itu, percepatan proses pemeriksaan pajak ini punya keuntungan juga risiko, artinya dengan waktu yang lebih singkat, Wajib Pajak harus punya strategi dalam memitigasi dan mengelola dokumen-dokumen transaksi, pembukuan harus sesuai dengan standardisasi, penyimpanan dokumentasi harus dikelola dengan baik,” ungkap Awal. Dampak selanjutnya adalah ketidakpastian bisnis. Pasalnya, selama proses pemeriksaan pajak berjalan, hasil akhir belum diketahui. Ketidakpastian ini bahkan mampu memengaruhi pengambilan keputusan bisnis, misalnya penundaan investasi, ekspansi, atau alokasi anggaran. “Implikasi besar lainnya bagi perusahaan adalah gangguan arus kas. “Karena jika hasil pemeriksaan [pajak] menghasilkan koreksi pajak yang besar, perusahaan bisa mengalami gangguan likuiditas, terutama jika diikuti dengan sanksi atau denda,” ujar Awal. Kemudian, Awal yang telah berpengalaman hampir 30 tahun melayani maupun mendampingi Wajib Pajak menilai bahwa pemeriksaan pajak mampu berimplikasi pada reputasi perusahaan. “Perusahaan yang sedang atau baru selesai diperiksa dapat menghadapi risiko reputasi, terutama jika ditemukan ketidaksesuaian dalam pelaporan pajaknya. Ini bisa memengaruhi kepercayaan investor, mitra bisnis, atau bahkan konsumen,” ungkapnya. Oleh karena itu, di tengah perusahaan menghadapi tantangan eksternal seperti perang tarif, kenaikan biaya logistik, dan fluktuasi pasar, strategi penyelesaian pemeriksaan pajak yang cepat menjadi sangat penting bagi Wajib Pajak. Awal mengapresiasi dan mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan PMK Nomor 15 Tahun 2025 secara kohesif di seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Percepatan ini memberi kepastian hukum yang membuat perusahaan bisa kembali fokus pada strategi bisnisnya. “Percepatan pemeriksaan pajak juga akan mengurangi beban psikologis dan administratif selama masa pemeriksaan. Karena jangan lupa, pemeriksaan […]
Faktur Pajak Uang Muka Tak Sesuai PER-11, PKP Diimbau Buat Pengganti
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025 turut mengatur tata cara pengisian keterangan dalam faktur pajak. Salah satunya pengisian keterangan dalam faktur pajak atas penerimaan uang muka. Merujuk pada PER 11/PJ/2025, dalam hal pembayaran yang diterima merupakan uang muka, termin atau angsuran maka pembuatan faktur pajak uang muka harus mencantumkan keterangan, misalnya uang muka pada kolom Nama Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP). Apabila faktur pajak pembayaran uang muka tersebut terbit setelah tanggal 22 Mei 2025 tanpa mencantumkan keterangan tersebut, penjual disarankan untuk menerbitkan faktur pajak pengganti. Sebagai contoh, penerimaan uang muka sebesar Rp1 juta untuk pembelian 1 unit komputer merek ABC dengan harga jual Rp5 juta. Dengan demikian, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diisi dengan Uang muka sebesar Rp1.000.000,00 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000,00. Pada saat dibuat faktur pajak atas pelunasan pembelian komputer merek ABC, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diisi dengan Pelunasan sebesar Rp4.000.000,00 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000,00. Sebagai informasi, PER-11/PJ/2025 memerinci tata cara pengisian keterangan dalam faktur pajak. Salah satunya mengenai pengisian mengenai BKP dan/atau JKP yang Diserahkan. Pada kolom No., diisi dengan nomor urut dari BKP dan/atau JKP yang diserahkan. Untuk kolom Kode Barang/Jasa, diisi dengan kode barang dalam hal penyerahan BKP atau kode jasa dalam hal penyerahan JKP sesuai dengan yang tersedia dalam modul e-Faktur. Kemudian, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak, diisi dengan nama BKP dan/atau JKP yang diserahkan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya. Dalam hal diterima uang muka, termin, atau angsuran, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak ditambah dengan keterangan, misalnya uang muka, termin, atau angsuran, atas penyerahan BKP dan/atau JKP.
Faktur Pajak Uang Muka Tak Sesuai PER-11, PKP Diimbau Buat Pengganti
JAKARTA, DDTCNews – Peraturan Dirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025 turut mengatur tata cara pengisian keterangan dalam faktur pajak. Salah satunya pengisian keterangan dalam faktur pajak atas penerimaan uang muka. Merujuk pada PER-11/PJ/2025, dalam hal pembayaran yang diterima merupakan uang muka, termin atau angsuran maka pembuatan faktur pajak uang muka harus mencantumkan keterangan, misalnya uang muka pada kolom Nama Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP). “Apabila faktur pajak pembayaran uang muka tersebut terbit setelah tanggal 22 Mei 2025 tanpa mencantumkan keterangan tersebut, penjual disarankan untuk menerbitkan faktur pajak pengganti,” kata Kring Pajak di media sosial, Selasa (3/6/2025). Sebagai contoh, penerimaan uang muka sebesar Rp1 juta untuk pembelian 1 unit komputer merek ABC dengan harga jual Rp5 juta. Dengan demikian, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diisi dengan “Uang muka sebesar Rp1.000.000,00 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000,00”. Pada saat dibuat faktur pajak atas pelunasan pembelian komputer merek ABC, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diisi dengan “Pelunasan sebesar Rp4.000.000,00 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual sebesar Rp5.000.000,00”. Sebagai informasi, PER-11/PJ/2025 memerinci tata cara pengisian keterangan dalam faktur pajak. Salah satunya mengenai pengisian mengenai BKP dan/atau JKP yang Diserahkan. Pada kolom No., diisi dengan nomor urut dari BKP dan/atau JKP yang diserahkan. Untuk kolom Kode Barang/Jasa, diisi dengan kode barang dalam hal penyerahan BKP atau kode jasa dalam hal penyerahan JKP sesuai dengan yang tersedia dalam modul e-Faktur. Kemudian, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak, diisi dengan nama BKP dan/atau JKP yang diserahkan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya. Dalam hal diterima uang muka, termin, atau angsuran, kolom Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak ditambah dengan keterangan, misalnya uang muka, termin, atau angsuran, atas penyerahan BKP dan/atau JKP. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811194/faktur-pajak-uang-muka-tak-sesuai-per-11-pkp-diimbau-buat-pengganti
PER-11/2025 Terbit! Berikut Daftar Dokumen yang Dipersamakan Sebagai Faktur Pajak
Dengan terbitnya PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025), DJP menetapkan perluasan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak yang sebelumnya diatur dalam PER-16/PJ/2021 (PER-16/2021). Adapun maksud dan tujuan penambahan jenis dokumen tertentu dalam ketentuan ini adalah memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi pelayanan serta melaksanakan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan mengenai pelaporan Pajak Pertambahan Nilai. Berikut perincian 27 dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak sebagaimana diatur dalam (Pasal 62 PER 11/2025), antara lain: surat perintah penyerahan barang yang dibuat/dikeluarkan oleh badan urusan logistik (BULOG)/ depot logistik untuk penyaluran tepung terigu; bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi; bukti penerimaan pembayaran yang dibuat oleh penyelenggara distribusi atas penjualan pulsa dan/atau penerimaan komisi/fee terkait dengan distribusi token dan/atau voucer; bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik; bukti tagihan atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak oleh perusahaan air minum; tiket, tagihan surat muatan udara (airway bill), atau delivery bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan; bukti tagihan (trading confirmation) atas penyerahan jasa kena pajak oleh perantara efek; bukti tagihan atas penyerahan jasa kena pajak oleh perbankan; dokumen yang digunakan untuk pemesanan pita cukai hasil tembakau (dokumen CK-1); surat setoran pajak atau surat setoran pajak dan dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan; pemberitahuan pabean ekspor yang mencantumkan elemen data seperti data eksportir dan/atau data identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), yang dilampiri dengan nota pelayanan ekspor dan dokumen pelengkap pabean yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean ekspor tersebut, untuk ekspor barang Kena Pajak; pemberitahuan ekspor barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak yang dilampiri dengan invois yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan ekspor barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak, untuk ekspor barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak; pemberitahuan pabean impor dan dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean impor, untuk impor barang kena pajak berwujud; surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak atas barang kiriman oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang dilampiri dengan: surat setoran pajak atau bukti penerimaan negara; surat setoran pabean, cukai, dan pajak; dan/atau bukti pungutan pajak; bukti pungut Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui perdagangan melalui sistem elektronik; dokumen pengeluaran barang dari tempat kawasan berikat yang merupakan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak; pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus dan dokumen pendukung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan pabean kawasan ekonomi khusus tersebut; surat ketetapan pajak untuk menagih pajak masukan atas perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak, impor barang kena pajak, serta pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang dilampiri dengan seluruh surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak atas pelunasan […]
CV Makin Diminati Anak Muda, Ini Aturan Pajak yang Wajib Diketahui
Pajak.com, Jakarta – Geliat kewirausahaan di kalangan anak muda semakin kuat seiring pesatnya transformasi digital. Salah satu bentuk badan usaha yang paling banyak dipilih adalah Commanditaire Vennootschap (CV) karena proses pendiriannya yang relatif sederhana dan fleksibel dalam operasional. Namun di balik kemudahan itu, ada tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan yaitu pajak. Generasi Z dikenal cepat belajar, cakap teknologi, dan berani ambil risiko. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2023 mencatat, lebih dari 57 persen investor pasar modal di Indonesia adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Angka tersebut menunjukkan kesadaran finansial generasi muda semakin matang. Mereka bukan hanya ingin bekerja dan menabung, tetapi juga membangun bisnis dan berinvestasi. Namun, untuk menjadi pengusaha yang tangguh, kesadaran pajak harus menjadi bagian dari perjalanan mereka. CV secara hukum masuk dalam kategori subjek pajak badan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), sebagaimana telah diubah terakhir oleh UU Nomor 6 Tahun 2023 (UU Ciptaker). CV, sebagaimana badan usaha lain seperti PT dan firma, wajib melaporkan serta membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh. Prive Tidak Kena Pajak, Tapi Tetap Harus Dilaporkan Menariknya, sistem perpajakan Indonesia memberi perlakuan khusus kepada CV. Laba usaha yang dibagikan kepada pemilik (sekutu aktif maupun pasif) dalam bentuk prive dikecualikan dari objek pajak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh jo. UU Ciptaker. Artinya, penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak lagi di tingkat individu karena sebelumnya sudah dikenakan pajak di tingkat badan (CV). Perbedaan ini menjadikan CV lebih efisien dibanding Perseroan Terbatas (PT), yang mewajibkan pemegang saham membayar pajak atas dividen yang diterima. Namun perlu digarisbawahi, meskipun prive tidak kena pajak, tetap harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Jika total prive dalam setahun tidak melebihi Rp60 juta, pelaporan cukup menggunakan SPT 1770 SS. Bila lebih, gunakan SPT 1770 S dan cantumkan pada Lampiran I Bagian B nomor 3. Jika CV mempekerjakan pegawai tetap atau tidak tetap, maka pemilik juga wajib memotong dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 setiap bulan. Ini adalah bagian dari fungsi CV sebagai entitas yang tidak hanya fokus mencari untung, tetapi juga patuh terhadap peraturan perpajakan. CV yang dikategorikan sebagai pelaku UMKM juga mendapatkan fasilitas perpajakan berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2022. Dengan tarif hanya 0,5 persen, pemilik CV bisa lebih leluasa mengembangkan usaha tanpa terbebani pungutan besar. Bagi Wajib Pajak orang pribadi, insentif ini berlaku selama tujuh tahun sejak memperoleh NPWP. Bagi badan, berlaku selama tiga hingga empat tahun, tergantung kategori. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/cv-makin-diminati-anak-muda-ini-aturan-pajak-yang-wajib-diketahui/
PER-11/PJ/2025 Ubah Format Induk dan Lampiran SPT Masa PPh Unifikasi
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025 turut mengubah format induk dan lampiran SPT Masa PPh Unifikasi. Merujuk pada pasal 22 ayat (1), SPT Masa PPh Unifikasi kini terdiri dari induk dan 3 lampiran, yakni Formulir Daftar I – Daftar Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Unifikasi Berformat Standar, Formulir Daftar II – Daftar PPh yang Disetor Sendiri dan/atau Disetor secara Digunggung, dan Formulir Lampiran I – Daftar Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Unifikasi Berformat Standar. SPT Masa PPh Unifikasi…: dibuat sesuai contoh format; dan diisi sesuai petunjuk pengisian, sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perdirjen ini pasal 22 ayat (4). Formulir daftar I memuat daftar bukti potong/pungut PPh unifikasi berformat standar yang merupakan hasil perekaman data oleh pemotong/pemungut melalui modul e-bupot. Formulir ini bakal terisi secara otomatis. Kemudian, formulir daftar II memuat seluruh PPh yang dibayar sendiri dan yang disetor secara digunggung sesuai dengan hasil perekaman data oleh pemotong/pemungut melalui e-bupot. Formulir ini juga bakal terisi secara otomatis. Sementara itu, formulir lampiran I memuat daftar dokumen yang dipersamakan dengan bukti potong/pungut PPh unifikasi berformat standar sesuai dengan hasil unggahan dokumen oleh pemotong/pemungut melalui e-bupot. Formulir lampiran I bakal terisi secara otomatis. Bukti pemotongan dan/atau pemungutan PPh unifikasi yang telah dibuat oleh pemotong dan/atau pemungut PPh unifikasi di modul e-bupot, tersaji secara otomatis pada draf SPT Masa PPh unifikasi masa pajak terjadinya transaksi Lampiran B PER-11/PJ/2025. Sebagai perbandingan, dalam ketentuan sebelumnya yakni PER 24/PJ/2021, SPT Masa PPh Unifikasi terdiri induk dan 3 lampiran, yakni Formulir DOSS – Daftar Rincian Pajak Penghasilan yang Disetor Sendiri, Formulir DOPP – Daftar Objek Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pihak Lain, dan Formulir DBP – Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi beserta Daftar Surat Setoran Pajak, Bukti Penerimaan Negara, Bukti Pemindahbukuan. Dengan berlakunya PER-11/PJ/2025 terhitung sejak 22 Mei 2025, beberapa perdirjen lama termasuk PER-24/PJ/2021 resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pajak Aset Kripto Bisa Lebih Murah, Asalkan…
Jakarta, CNBC Indonesia – Persoalan pajak kripto hingga saat ini masih menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan pemangku kebijakan maupun asosiasi. Harapan pengenaan pajak yang lebih rendah terus didorong untuk meningkatkan minat pelaku pasar di industri kripto. Pada Kamis (22/5/2025) dalam acara Bitcoin Bites Back untuk merayakan Bitcoin Pizza Day, Co-founder Indodax, Oscar Darmawan, mengakui bahwa persoalan pajak sudah sering dilakukan lewat forum group discussion (FGD) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ketika kripto dianggap sebagai komoditas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan sebesar 0,1% dan 0,1% untuk Pajak Penghasilan (PPh) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68. Namun karena saat ini aset kripto sudah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan (bukan lagi komoditas), maka seharusnya kripto tidak dikenakan lagi PPN, hal ini sama dengan produk keuangan lainnya. Sebagai informasi, peraturan lainnya soal kripto ada pada PMK No. 81 Tahun 2024 yang mengatur soal perpajakan aset kripto. Khususnya Pasal 359 ayat 2 (a) yang pada intinya mengatakan bahwa penghasilan dari transaksi aset kripto melalui sarana elektronik dikenakan 0,1% dari nilai transaksi, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dalam hal penyelenggara perdagangan telah mendapatkan persetujuan dari pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi. CEO Bitwewe, Hamdi Hassarbaini, juga menyampaikan hal serupa. “Sekarang kripto jadi produk keuangan (aset keuangan) seperti saham, bukan lagi komoditi, harusnya tidaklagi kenaPPN,” kata Hamdi. Maka dari itu, PMK No. 81 tersebut kini sedang dalam tahap revisi dengan usulan agar PPN yang sebesar 0,11% diharapkan dapat dihilangkan dan tidak ditambahkan ke PPh. Apabila hal ini terjadi, maka industri kripto dapat berkembang dan lebih diminati oleh pelaku pasar. Pajak Kripto di Indonesia vs Dunia Secara keseluruhan, Oscar menyimpulkan bahwa aturan pajak di Indonesia sudah baik. “Aturan pajak di Indonesia sudah baik, setidaknya bukan yang terburuk di dunia,” ujar Oscar. Andy Lynn dari Crypstocks juga mengakui hal yang sama bahwa aturan pajak di Indonesia sudah lebih baik dibandingkan di dunia karena di luar negeri itu jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat (AS) memandang kripto sebagai properti yang dikenakan PPh. Pajak atas keuntungan jangka pendek atau penghasilan dari kripto berkisar antara 10% hingga 37%. Pajak atas keuntungan jangka panjang dari kripto berkisar antara 15% hingga 20%, atau 28% untuk NFT yang dikategorikan sebagai koleksi. Sedangkan di Kanada, aset kripto dianggap sebagai komoditas dan dikenakan PPh, tergantung pada apakah seseorang adalah investor individu atau memperoleh pendapatan dari bisnis. Pajak penghasilan federal atas transaksi kripto dapat mencapai 33%, ditambah pajak penghasilan di tingkat provinsi. Begitu pula di Australia yang mengenakan PPH terhadap aset kripto. Tarif pajak atas keuntungan jangka pendek dan pendapatan dari kripto dapat mencapai 45%, sedangkan keuntungan jangka panjang dari kripto mendapat diskon 50% dari Capital Gains Tax Discount. Sementara Jepang menerapkan tarif pajak progresif mulai dari 15% hingga 55%, menjadikannya salah satu negara dengan pajak tertinggi untuk keuntungan mata uang kripto. Demikian pula, Denmark mengenakan pajak atas keuntungan mata uang kripto pada tarif antara 37% dan 52%, tergantung pada golongan pendapatan individu. Jerman, meskipun sering dianggap ramah terhadap kripto, menerapkan tarif pajak […]
Mau Pecah SPPT PBB-P2? Simak Manfaat, Syarat, dan Prosedur Lengka
Jakarta — Dalam sistem perpajakan daerah, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) adalah dokumen resmi yang menjadi dasar penagihan pajak atas kepemilikan tanah dan bangunan. Namun, bagaimana jika satu bidang tanah atau bangunan dimiliki oleh lebih dari satu pihak? Dalam situasi seperti inilah layanan pemecahan SPPT PBB menjadi penting. Pajak.com akan mengurai apa saja manfaat dari pemecahan SPPT PBB, bagaimana prosedurnya, dan apa saja syarat yang perlu dipenuhi. Manfaat Pemecahan SPPT PBB-P2 Pemecahan SPPT PBB-P2 merupakan proses administratif untuk memisahkan satu SPPT menjadi beberapa SPPT yang berdiri sendiri, sesuai dengan bagian tanah atau bangunan yang telah terpisah secara fisik dan dikuasai oleh lebih dari satu pihak. Ini sangat relevan dalam konteks warisan, pemecahan kavling, atau pembangunan properti bersama. Sederhananya, pemecahan SPPT diperlukan dalam beberapa situasi, seperti satu bidang tanah dibagi ke beberapa ahli waris, tanah kavling yang sudah dijual ke beberapa orang berbeda, properti bersama yang penggunaannya sudah terbagi secara jelas, serta pengembangan properti perumahan atau komersial yang melibatkan banyak pemilik. Bagi para pemilik atau pengelola tanah dan bangunan, pemecahan SPPT bukan sekadar pembaruan administratif karena memberikan kepastian dan kemudahan. Beberapa manfaatnya antara lain: Memudahkan pembayaran dan pelaporan pajak secara individual. Meningkatkan kepastian hukum atas bagian kepemilikan masing-masing pihak. Menunjang proses legalisasi, seperti pengajuan sertifikasi tanah atau perizinan bangunan. Mencegah potensi sengketa karena ketidakjelasan batas hak dan kewajiban pajak. Syarat Administratif Pemecahan SPPT PBB-P2 Untuk warga Jakarta, Anda dapat mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Daerah Khusus Jakarta Nomor 458 Tahun 2024. Berikut adalah persyaratan dokumen yang harus dipenuhi: 1. Surat permohonan 2. Identitas pemohon: Perorangan: KTP atau KITAP (untuk WNA) Badan usaha: NIB, NPWP Badan, KTP pengurus, dan akta pendirian/perubahan 3. Surat kuasa dan KTP penerima kuasa (jika permohonan dikuasakan) 4. SPOP/LSPOP yang diisi dengan lengkap dan benar 5. SPPT PBB-P2 induk (hasil cetak) 6. Bukti kepemilikan tanah: Sertifikat tanah yang masih berlaku; atau Surat kavling/girik/sertifikat yang masa berlakunya telah habis 7. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik dan Surat Keterangan Lurah 8. Bukti peralihan atau pengoperan hak (seperti akta jual beli) 9. IMB atau Persetujuan Bangunan Gedung (opsional) 10. Foto objek pajak dan gambar situasi 11. Bukti pelunasan PBB-P2 tanah induk untuk lima tahun terakhir. Jika objek baru dimiliki kurang dari lima tahun, cukup lunas sejak tahun dimiliki. Kecuali, untuk tahun pajak yang sedang dimohonkan atau sesuai ketentuan khusus. 12. Bukti pembayaran BPHTB jika objek merupakan hasil transaksi yang terkena BPHTB Prosedur Pengajuan Pemecahan SPPT PBB-P2 Wajib Pajak dapat mengajukan layanan ini melalui sistem Pajak Online Jakarta di pajakonline.jakarta.go.id. Setelah login, pemohon dapat memilih menu PBB dan mengakses opsi permohonan pemecahan SPPT. Unggah dokumen sesuai persyaratan, lalu sistem akan memproses dan melakukan verifikasi berkas. Jika permohonan disetujui, pemohon akan menerima SPPT baru sesuai dengan bagian tanah atau bangunan masing-masing. SPPT tersebut bisa diunduh atau dicetak untuk keperluan administrasi lanjutan. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/mau-pecah-sppt-pbb-p2-simak-manfaat-syarat-dan-prosedur-lengkapnya/
Dapat Surat Paksa dari DJP? Ini yang Harus Dilakukan oleh Wajib Pajak
Pajak.com, Jakarta – Surat paksa dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah langkah resmi dalam proses penagihan utang pajak. Jika Anda menerimanya, itu berarti ada kewajiban pajak yang belum diselesaikan. Penting untuk mengetahui apa saja yang harus dilakukan agar proses dapat ditangani dengan tepat sesuai aturan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023, surat paksa didefinisikan sebagai surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Biasanya, surat ini datang setelah DJP sebelumnya mengirimkan surat teguran dan tidak mendapat tanggapan atau pembayaran dari Wajib Pajak dalam waktu 21 hari sejak surat teguran diterbitkan. Jika dalam waktu tersebut tidak ada pembayaran atau upaya hukum lain, maka juru sita pajak negara (JSPN) dari KPP akan mendatangi Wajib Pajak dan menyerahkan surat paksa secara langsung. Langkah yang Harus Dilakukan Jika Menerima Surat Paksa Validasi Identitas Petugas Jika Anda didatangi oleh seseorang yang mengaku petugas pajak dan membawa surat paksa, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengecek identitas dan keabsahan surat tugasnya. Petugas yang menyampaikan surat paksa harus membawa surat tugas resmi dan name tag yang sesuai. Periksa kepala surat, nama KPP yang menerbitkan, dan jika ragu, jangan sungkan untuk menghubungi langsung KPP tersebut guna konfirmasi. Kumpulkan Dokumen dan Cocokkan Ketetapan Setelah validasi dilakukan, segera kumpulkan semua dokumen terkait utang pajak Anda, seperti Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP). Baca isi surat paksa dengan teliti dan pastikan semua nomor ketetapan, tanggal, dan nominal sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen yang Anda miliki. Jika ada perbedaan, Anda berhak meminta klarifikasi langsung kepada petugas. Perlu diketahui, setiap ketetapan pajak memiliki masa berlaku penagihan selama lima tahun. Jika sudah lewat, Anda dapat mempertanyakan legalitas penagihannya. Bisa Bayar Sekaligus, Bisa Dicicil Surat paksa tidak berarti Anda harus langsung membayar semua utang pajak saat itu juga. Sesuai ketentuan PMK 61/2023, Wajib Pajak masih bisa mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran utang pajak ke KPP tempat terdaftar. Diskusikan opsi ini dengan JSPN yang datang agar Anda bisa mendapatkan waktu dan cara pembayaran yang paling sesuai dengan kondisi keuangan. Jangan Tergiur Janji Oknum Semua layanan perpajakan dari DJP tidak dipungut biaya. Jadi, jika ada oknum yang meminta uang atau menjanjikan penghapusan utang pajak di luar jalur resmi, segera tolak dan laporkan ke saluran pengaduan DJP. Pembayaran utang pajak hanya boleh dilakukan melalui kanal resmi menggunakan kode billing, baik melalui bank, kantor pos, atau penyedia jasa pembayaran yang terdaftar. Sebagai Wajib Pajak, Anda berhak menolak menerima surat paksa. Namun, penting untuk diketahui, baik diterima maupun ditolak, surat paksa tetap dianggap sah secara hukum setelah disampaikan. Petugas akan mencatat sikap Anda dalam berita acara pemberitahuan surat paksa. Ini akan menjadi dasar untuk proses penagihan selanjutnya. Lebih bijak jika Anda menerima surat tersebut dengan baik. Jika masih ada keberatan, ketidaksepahaman, atau ingin menyampaikan bantahan, mintalah petugas untuk menuliskannya dalam berita acara tersebut. Selanjutnya, Anda bisa mengurusnya langsung di KPP tempat Anda terdaftar. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/dapat-surat-paksa-dari-djp-ini-yang-harus-dilakukan-oleh-wajib-pajak/
PER 11/PJ/2025 Pertegas Ketentuan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
Ditjen Pajak (DJP) mempertegas ketentuan penggunaan kode dan nomor seri faktur pajak (NSFP) era coretax administration system melalui Perdirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025. Pasal tersebut menegaskan bahwa kode dan NSFP kini terdiri atas 17 belas digit. Jumlah digit kode dan NSFP tersebut berbeda apabila dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya yang hanya terdiri atas 16 digit. Kode dan nomor seri faktur pajak….terdiri atas 17 digit, yaitu: a. 2 digit kode transaksi; b. 2 digit kode status; dan 13 digit nomor seri faktur pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak Pasal 37 ayat (1) PER-11/PJ/2025. Adapun 13 digit NSFP tersebut terdiri atas 2 bagian. Pertama, 2 digit awal merupakan tahun pembuatan faktur pajak elektronik (e-Faktur). Kedua, 11 digit berikutnya merupakan nomor urut eFaktur. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, NSFP kini diberikan secara otomatis pada saat e-Faktur diunggah (di-upload) ke DJP menggunakan modul e-Faktur (coretax) dan memperoleh persetujuan dari DJP. Selain itu, PER-11/PJ/2025 menegaskan dan menjelaskan ketentuan penggunaan kode transaksi faktur pajak, termasuk kode transaksi 10. Berikut adalah daftar dan penjelasan masing-masing kode transaksi faktur pajak dalam PER-11/PJ/2025. Kode 01 Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP biasa, di mana PPN atau PPN dan PPnBM dipungut langsung oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan. Kode ini dipakai jika transaksi tidak termasuk dalam jenis penyerahan kode 02 sampai dengan 10. Kode 02 Dipakai saat penyerahan dilakukan kepada instansi pemerintah sebagai pemungut PPN sesuai Pasal 16A UU PPN. Kode 03 Digunakan untuk penyerahan kepada: 1. Pemungut PPN lainnya selain instansi pemerintah, yang telah ditunjuk berdasarkan peraturan. 2. Pembeli BKP/penerima JKP, termasuk instansi pemerintah atau pemungut lainnya, yang PPNnya dipungut oleh pihak ketiga sesuai Pasal 32A UU KUP. Kode 04 Digunakan untuk transaksi dengan dasar pengenaan pajak menggunakan nilai lain sesuai Pasal 8A ayat (1) UU PPN. Kode 05 Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP yang dikenai PPN dengan besaran tertentu, termasuk penggunaan sendiri dan pemberian cuma-cuma, di mana dasar pengenaan pajaknya bisa saja sebesar Rp0,00 sesuai peraturan. Kode 06 Dipakai saat PKP melakukan penyerahan BKP kepada turis asing melalui toko retail yang ikut dalam skema pengembalian PPN (VAT refund for tourist). Kode 07 Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP yang mendapat fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atau ditanggung pemerintah, seperti: 1. Proyek dengan dana hibah/pinjaman luar negeri 2. Tempat penimbunan berikat 3. Kegiatan hulu migas (gross split) 4. Barang strategis 5. Bahan bakar untuk transportasi luar negeri 6. Kawasan ekonomi khusus, perdagangan bebas, pelabuhan bebas, dan lainnya. Kode 08 Untuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM, misalnya: jasa kepelabuhanan dan kebandarudaraan luar negeri dan perwakilan negara asing atau badan internasional, dan lainnya Kode 09 Digunakan saat PKP menyerahkan aktiva tetap yang awalnya tidak untuk dijual, seperti barang modal, yang diatur dalam Pasal 16D UU PPN. Kode 10 Kode baru ini digunakan untuk jenis penyerahan selain yang tercakup dalam kode 01 sampai 09. Termasuk dalam kategori ini adalah penyerahan dengan tarif khusus yang berbeda dari tarif umum PPN 12%, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN.
