Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum lama ini mengumumkan pembaruan penerbitan Surat Teguran secara otomatis dalam core tax. Otomasi tersebut sesuai dengan tujuan core tax sebagai sistem yang mempermudah sekaligus memperkuat pengawasan kepatuhan perpajakan. Untuk itu, Senior Manager Divisi Corporate Provisio Consulting Wini Novita menyarankan Wajib Pajak untuk menyiapkan proteksi dalam meminimalisasi risiko pengawasan melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) atau “Surat Cinta” dan pemeriksaan pajak di era core tax. Peluncuran core tax oleh Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 lalu menandai babak baru Reformasi Perpajakan Indonesia. Kemudian, pemerintah menyempurnakan regulasi penyesuaian implementasi core tax melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Dalam wawancara eksklusif dengan Pajak.com, Wini menyoroti implikasi penerapan core tax yang bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, core tax dapat menghadirkan simplifikasi bagi Wajib Pajak menunaikan administrasi perpajakan. Di sisi lain, core tax diandalkan mampu meningkatkan transparansi sebagai upaya pengawasan dari DJP. Pasalnya, core tax dapat memantau pelaporan pajak secara lebih real-time dan mendeteksi potensi ketidaksesuaian pelaporan pajak dari Wajib Pajak. Dengan begitu, Wajib Pajak harus lebih teliti dalam memastikan bahwa data yang dilaporkan adalah benar dan lengkap. “Pemerintah dapat memantau proses pelaporan dan pembayaran pajak, yang berarti kepatuhan kewajiban pajak masing-masing Wajib Pajak akan lebih diawasi. Pengelolaan data dan rekonsiliasi, karena sistem core tax akan mengintegrasikan data transaksi Wajib Pajak secara real-time, seperti data invoice, faktur pajak, pembayaran, dan laporan pajak. Wajib Pajak harus menyampaikan data-data tersebut dengan akurat dan lengkap untuk memastikan kelancaran pelaporan,” jelasnya, di Kantor Provisio Consulting, Jalan Widya Chandra X Nomor 7, Senayan, Jakarta, dikutip Pajak.com (17/3). Pengawasan pajak yang lebih ketat ini memberi peluang bagi Wajib Pajak untuk lebih cepat mengetahui dan memperbaiki kesalahan dalam menghitung, membayar, hingga melaporkan pajaknya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa. Urgensi “Core Tax” Wini mengingatkan kembali kompleksitas administrasi perpajakan selama ini—sebelum core tax berlaku—mulai dari beragamnya jenis pajak dan tarif, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); perubahan regulasi di setiap jenis pajak; kerumitan pelaporan SPT Tahunan PPh, SPT Masa, pembuatan e-Faktur untuk PPN; hingga proses pembayaran pajaknya melalui aplikasi e-Billing. Alhasil, pembayaran pajak yang tidak tepat waktu mengakibatkan timbulnya risiko denda atau bunga. “Diharapkan core tax efektif dalam meningkatkan efisiensi administrasi bagi Wajib Pajak, mengurangi beban administratif, dan membantu meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan memanfaatkan teknologi yang terintegrasi, proses perhitungan, pelaporan, dan pembayaran pajak menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih transparan, yang dapat meningkatkan efisiensi operasional bisnis. Namun, untuk memastikan manfaat maksimal, diperlukan adaptasi yang baik dari Wajib Pajak, pelatihan yang memadai, dan dukungan infrastruktur yang cukup,” ujarnya. Berdasarkan pengalaman Wini mendampingi Wajib Pajak selama sekitar 15 tahun, tantangan Wajib Pajak selama ini berlanjut pada proses pengembalian pajak (restitusi). Menurutnya, proses pemeriksaan atas pengajuan restitusi oleh DJP kerap memerlukan waktu yang lama dan rumit. Sementara ada pula aturan yang sangat ketat terkait dokumen yang harus disertakan, seperti bukti pembayaran dan laporan pendukung. “Pemeriksaan pajak oleh DJP juga memerlukan waktu yang lama, dan dalam beberapa kasus, Wajib Pajak harus melalui tahapan pemeriksaan yang membingungkan, dengan kemungkinan adanya klarifikasi dan komunikasi berulang-ulang yang menghambat proses pengembalian pajak,” ungkap […]
Setoran Pajak Anjlok, Gara-Gara Coretax?
Pendapatan negara dari sisi pajak mengalami penurunan dalam per Februari 2025, jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dalam dua bulan pertama tahun ini, setoran pajak yang masuk ke kas negara hanya mencapai Rp187,8 triliun atau terkontraksi sebesar 30% dibandingkan catatan Februari 2024 sebesar Rp 269,02 triliun. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan anjloknya penerimaan pajak pada awal tahun merupakan hal biasa dan bukan anomali. Ia mengatakan, tiap tahun, tren ini selalu muncul. “Itu sama setiap tahun. Jadi tidak ada hal yang anomali jadi sifatnya normal saja,” kata Anggito saat konferensi pers APBN di kantor pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, dikutip Jumat (14/3/2025). Meski begitu, ia mengakui ada beberapa faktor yang menjadi pemicu tambahan turunnya penerimaan pajak. Yakni, masalah administrasi pajak hingga harga komoditas yang merosot. Khusus untuk harga komoditas yang anjlok dan memengaruhi penerimaan negara, ia mengatakan di antaranya harga minyak mentah yang merosot 5,2% secara tahunan, batu bara minus 11,8%, dan nikel turun 5,9%. “Kalau kita lihat kenapa Januari-Februari lebih rendah? karena dua faktor. Faktor penurunan harga komoditas utama dan ada juga faktor administrasi,” ujar Anggito. Dari sisi administrasi perpajakan yang membuat penerimaan merosot, ia enggan menyebut disebabkan permasalahan sistem inti administrasi pajak atau Coretax yang terjadi sejak 1 Januari 2025. Menurutnya, lebih cenderung disebabkan efek kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) yang telah diterapkan sejak 2024, relaksasi untuk pelaporan dan penyetoran PPN termasuk faktornya dan restitusi yang signifikan. Penerapan TER PPh 21 atas gaji upah pegawai sejak Januari 2024 mengakibatkan lebih bayar Rp 16,5 triliun pada tahun 2024. Namun, Anggito berdalih tanpa lebih bayar seharusnya penerimaan PPh 21 pada 2025 ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “2025 karena adanya efek lebih bayar, kalau itu diklaim kembali atau dinormalisasi pada Januari dan Februari, maka sebetulnya rata-rata PPh 2025 lebih tinggi dari periode yang sama pada tahun 2024,” ungkapnya. Adapun terkait dengan relaksasi, pemerintah melakukan kebijakan relaksasi PPN DN selama 10 hari. Dengan demikian, PPN DN pada Januari dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025. “Apabila dinormalisasikan yang tidak ada di 2024, maka rata-rata PPN Desember 2024-Februari 2025 Rp 69,5 triliun dibandingkan periode yang sama itu Rp 64,2 triliun, jadi masih tumbuh 8,3%,” kata Anggito. Pernyataan Anggito berkebalikan dengan catatan sejumlah kantor pajak di daerah. Misalnya, kantor pajak di Jawa Timur mencatat, penerimaan pajak di Jawa Timur hingga 31 Januari 2025 yang minus 2,7% secara tahunan menjadi Rp 19,05 triliun karena masalah Coretax Dalam siaran pers yang kini sudah dihilangkan dari laman pajak.go.id, disebutkan bahwa penurunan penerimaan pajak di Jawa Timur disebabkan kebijakan pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak cabang, serta belum optimalnya implementasi sistem perpajakan baru atau Coretax DJP, yang berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan. Demikian jua catatan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Papua, Papua Barat, dan Maluku (Kanwil DJP Papabrama) yang realisasi penerimaan pajak bulan Januari 2025 sebesar Rp 485,59 miliar. Realisasi itu terkontraksi sebesar 41,27% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Dalam siaran pers disebutkan bahwa setoran Pajak Penghasilan (PPh) mengalami kontraksi 71,17% (yoy) akibat implementasi Coretax yang menyebabkan pemusatan setoran NPWP cabang ke pusat, terutama dari sektor pertambangan. […]
Meski Jatuh Pada Hari Idulfitri, Batas Lapor SPT Tahunan Orang Pribadi Tetap 31 Maret
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menegaskan bahwa batas pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi masa pajak 2024 tetap 31 Maret 2025. Batas waktu itu tetap berlaku meskipun Hari Raya Idulfitri jatuh pada 31 Maret 2025. “Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak [31 Maret] dan Wajib Pajak badan paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun pajak [30 April],” jelas Dwi kepada Pajak.com, (15/4). Sesuai Pasal 7 ayat (1) UU KUP, Wajib Pajak orang pribadi yang terlambat melaporkan SPT Tahunan PPh akan dikenakan sanksi denda sebesar Rp100 ribu, sementara bagi Wajib Pajak badan Rp1 juta. Menurutnya, DJP memastikan kapasitas server untuk pelaporan SPT Tahunan PPh (DJPOnline) tetap aman dan terjaga untuk kenyamanan pelaporannya. “Mendekati batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024, kami mengimbau kepada seluruh masyarakat Wajib Pajak untuk segera melaporkan SPT tahunannya melalui kanal djponline.pajak.go.id. Karena lapor lebih awal, lebih nyaman,” ujar Dwi. Cara Lapor SPT Tahunan Lewat DJPOnline Berikut ini cara melaporkan SPT tahunan lewat DJPOnline: Buka laman https://djponline.pajak.go.id/account/login dan klik login; Isi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), password, dan kode keamanan; Masuk ke dashboard, pilih “lapor” dan klik menu “e-Filing”; Tekan tombol “buat SPT”, kemudian akan muncul beberapa pertanyaan terkait dan pilih jawaban yang sesuai dengan Anda; Isi data pada formulir, meliputi tahun pajak, status SPT tahunan, dan pembetulan (jika ada kesalahan pada SPT tahunan sebelumnya); Klik “langkah selanjutnya”; Sistem akan mendeteksi secara otomatis apabila ada data pembayaran pajak dari pihak ketiga (perusahaan pemberi kerja). Klik “Ya” jika data benar dan tekan “tidak” jika ingin menggunakan bukti potong yang sudah diterima dari perusahaan dengan mengisi lampiran bagian A; Pada lampiran 1 bagian A, isi dengan penghasilan neto dalam negeri seperti bunga, royalti, sewa, dan sebagainya. Pada bagian B, isi dengan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. Sementara bagian C, isi data daftar pemotongan atau pemungutan PPh dari bukti potong yang diterima di tempat kerja; Lampiran berikutnya, isi kolom identitas, status perkawinan, status kewajiban pajak, dan NPWP suami/istri; Setelah itu, Anda akan mengetahui status SPT tahunan apakah nihil, kurang bayar, atau lebih bayar; Jika kurang bayar, maka muncul pertanyaan lanjutan. Apabila belum bayar, akan diarahkan ke e-Billing; Setelahnya, centang “setuju” apabila data yang kamu isi sudah benar; dan Ambil kode verifikasi yang dikirimkan via e-mail dan masukkan ke lembar formulir. Selesai. Sebelum lapor SPT Tahunan PPh orang pribadi, pastikan Anda mengingat Electronic Filing Identification Number (EFIN). Apabila tak mengingatnya, DJP menyediakan 5 cara ajukan permohonan lupa EFIN sebagai berikut: Telepon Kring Pajak 1500200; Fitur ‘Live Chat’ di www.pajak.go.id; Aplikasi M-Pajak; e-mail dengan alamat lupa.efin@pajak.go.id; dan Datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)/Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) terdekat. Berikut daftar lengkap KPP seluruh Indonesia https://pajak.go.id/unit-kerja Sumber: https://www.pajak.com/pajak/meski-jatuh-pada-hari-idulfitri-batas-lapor-spt-tahunan-orang-pribadi-tetap-31-maret/
THR Swasta Cair Maksimal H-7 Lebaran, Bagaimana Ketentuan Pajaknya?
JAKARTA, DDTCNews – Presiden Prabowo Subianto meminta pengusaha membayarkan tunjangan hari raya (THR) kepada pekerjanya paling lambat H-7 Lebaran. Prabowo mengatakan imbauan membayar THR paling lambat H-7 Lebaran ini berlaku untuk perusahaan swasta, BUMN, dan BUMD. Menurutnya, pembayaran THR akan memastikan seluruh pekerja dapat merasakan libur dan mudik Lebaran dalam keadaan yang baik. “Saya minta agar pemberian THR bagi pekerja swasta, BUMN, BUMD, diberi paling lambat 7 hari sebelum hari raya Idulfitri,” katanya, dikutip pada Selasa (11/3/2025). Prabowo mengatakan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli nantinya akan menerbitkan surat edaran mengenai mekanisme pembayaran THR tersebut. PMK 168/2023 menyatakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap baik yang bersifat teratur ataupun yang tidak teratur. THR merupakan salah satu penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap dan menjadi objek PPh Pasal 21. Beleid ini mengatur besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan PP 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam 1 masa pajak. Dengan ketentuan tersebut, PPh Pasal 21 yang dipotong berdasarkan tarif efektif rata-rata (TER) pada saat bulan diterimanya THR memang akan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini terjadi karena penghasilan yang diterima pegawai menjadi lebih besar, yakni mencakup gaji dan THR atau bonus. Berdasarkan PMK 168/2023, seluruh PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa pajak Januari hingga November nantinya akan turut diperhitungkan dalam penghitungan PPh Pasal 21 masa pajak terakhir. Apabila PPh Pasal 21 yang dipotong pada masa pajak Januari hingga November ternyata lebih besar dibandingkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang dalam setahun, kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut wajib dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai tetap. Pengembalian kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 harus dilakukan oleh pemberi kerja paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1809365/thr-swasta-cair-maksimal-h-7-lebaran-bagaimana-ketentuan-pajaknya
Ada Fitur Tombol ‘Posting SPT’ di “Core Tax”, Ini Fungsinya bagi PKP
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa core tax kini telah dilengkapi oleh fitur tombol ‘Posting SPT’. DJP menyebut bahwa fitur ini dapat memudahkan Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena berfungsi meningkatkan akurasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). DJP menjelaskan, secara teknis fitur tombol ‘Posting SPT’ membantu proses pengkinian data faktur pajak dan memudahkan PKP memfinalkan draft SPT Masa PPN—sebelum melakukan submit pelaporan SPT Masa PPN. “Dengan fitur tombol ‘Posting SPT’ pada core tax DJP, pengkinian data faktur jadi lebih mudah. Fitur ini dapat mengatasi kendala, seperti data tidak muncul atau belum ter-update, sehingga proses pelaporan SPT Masa PPN akan lebih lancar,” tulis DJP melalui akun Instagram resminya (@ditjenpajakri), dikutip Pajak.com, (12/3). Selain itu, fitur ini diklaim dapat mengatasi permasalahan faktur pajak terhitung ganda atau kesalahan penghitungan PPN. “Fitur tombol ‘Posting SPT’ dapat membantu Wajib Pajak PKP untuk mengambil data faktur pajak guna memastikan data pada induk SPT Masa PPN selalu terkini. [Kemudian], fitur ini mencegah potensi duplikasi dalam pelaporan SPT,” tambah DJP. Seperti diketahui, meskipun DJP kembali membuka aplikasi e-Faktur client desktop untuk membuat faktur pajak, PKP tetap harus melaporkan SPT PPN Masa melalui core tax. Sejumlah Upaya DJP Permudah PKP Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti menyebut, dibukanya akses e-Faktur client desktop mulai 12 Februari 2025, merupakan bagian dari upaya DJP memberikan solusi alternatif bagi PKP dalam menjalankan kewajiban perpajakan secara digital di tengah kendala implementasi core tax. Aplikasi e-Faktur client desktop memungkinkan PKP membuat faktur pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan lebih fleksibel. Namun, ada beberapa pengecualian yang tidak dapat menggunakan aplikasi ini, yaitu faktur pajak dengan kode transaksi 06 dan 07, faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang memusatkan PPN terutang di cabang, serta faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang baru dikukuhkan setelah 1 Januari 2025. Selain membuka kembali akses e-Faktur client desktop, DJP juga menghapus sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat kendala teknis implementasi core tax. Kebijakan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo melalui penerbitan Keputusan Dirjen Pajak KEP-67/PJ/2025 yang berlaku mulai 27 Februari 2025. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/ada-fitur-tombol-posting-spt-di-core-tax-ini-fungsinya-bagi-pkp/
Wajib Pajak Ajukan Judicial Review ke MK atas Tarif PPN 12 Persen
Tujuh pemohon berlatar belakang ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, UMKM, hingga pengemudi ojek online mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap ketentuan PPN dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi (MK), para pemohon menyatakan hendak menguji konstitusionalitas dari Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP. Melalui UU HPP, pemerintah dan DPR sepakat menghapus barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, serta angkutan umum dari daftar barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. UU HPP juga menaikkan tarif PPN pada Pasal 7 UU PPN secara bertahap dari 10% menjadi sebesar 12%. Selain itu, kenaikan tarif PPN juga menimbulkan ketidakpastian hukum mengingat Kemenkeu telah menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) tentang penghitungan PPN menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Akibat PMK dimaksud, PPN dihitung menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual agar PPN seolah-olah tidak naik meski tarif PPN dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP resmi naik dari 11% ke 12% mulai 2025. Dalam petitum, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 7 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘tarif PPN berdasarkan indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan’. Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 7 ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘perubahan tarif PPN diatur dengan undang-undang’. Terakhir, pemohon juga meminta MK untuk menunda pemberlakuan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) sampai dengan adanya putusan akhir. Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk memperbaiki permohonan dalam waktu maksimal 14 hari.
Pembahasan RUU Tax Amnesty Jilid III Tak Digelar DPR Tahun Ini
Komisi XI DPR RI belum berencana membahas revisi Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak pada tahun ini. Meskipun, rencana revisi UU No. 11 Tahun 2016 itu telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. “Belum, belum,” kata Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun saat ditemui di kawasan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/3/2025). Komisi XI DPR sebatas melaksanakan mekanisme supaya pembahasan RUU Tax Amnesty Jilid III ada padanya, bukan di Badan Legislasi atau Baleg DPR, yang mendadak mengusulkan RUU Tax Amnesty masuk Prolegnas Prioritas pada tahun lalu. Oleh sebab itu, untuk pembahasan ke depannya, tergantung kesepakatan penentuan antara Komisi XI DPR dengan pemerintah yang menjadi mitra komisinya, seperti Kementerian Keuangan. “Jadi kan kita baru membicarakan di prolegnas, prosedur tahapan prolegnas. Kalau yang itu nanti, tergantung nanti,” tutur Misbakhun. Sebagaimana diketahui, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga telah membantah bahwa pemerintah tengah membahas program tax amnesty jilid III. “Wah, belum-belum,” kata Airlangga saat ditemui seusai menghadiri acara Indonesia Business Council di Jakarta, Senin (13/1/2025). Bantahan ini muncul, setelah Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan mengungkapkan bahwa program pengampunan pajak itu kini tengah digodok oleh Kemenko Perekonomian dan Kementerian Keuangan. Sementara itu dari sisi Kemenkeu, cenderung enggan mengomentari pernyataan Budi. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu ketika dikonfirmasi hal yang sama seusai konferensi pers realisasi APBN 2024 pada 6 Januari 2025 memilih untuk tidak berkomentar. “No comment,” ucap dia di Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu. Sebagaimana diketahui, Budi mengatakan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan program amnesti pajak ketiga kalinya itu saat menghadiri konferensi pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi dan Tata Kelola, di Kejaksaan Agung, Kamis (2/1/2025). “Tax amnesty sedang dirumuskan, kita tahu ada tax amnesty 1 dan 2. Ke depan ini salah satu mekanisme sedang disiapkan memberi ruang sebagaimana disampaikan bapak presiden mereka-mereka yang ingin mengembalikan hasil-hasil kekayaan mereka yang ada baik dalam maupun luar negeri melalui mekanisme tax amnesty,” kata Budi. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250311171627-4-617695/pembahasan-ruu-tax-amnesty-jilid-iii-tak-digelar-dpr-tahun-ini
PMK 15/2025 Ubah Batas Waktu Pemberian Tanggapan Tertulis SPHP Jadi 5 Hari? Ini Penjelasan DJP
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 menetapkan batas waktu pemberian tanggapan tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) hingga 5 hari kerja. Klausul ini memicu kekhawatiran warganet di media sosial karena dinilai mengurangi batas waktu yang sebelumnya ditetapkan 7 hari kerja. Kepada Pajak.com, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti pun memberikan penjelasannya. “Dapat kami sampaikan bahwa perubahan jangka waktu pemberian tanggapan tertulis atas SPHP bagi Wajib Pajak menjadi lima hari kerja sehubungan dengan adanya proses Pembahasan Temuan Sementara (PTS) dalam PMK Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak yang sebelumnya belum diatur,” jelasnya melalui pesan singkat, (10/3). Dengan demikian, lanjut Dwi, Wajib Pajak dapat memberikan tanggapan lebih cepat saat SPHP disampaikan. Mengutip Pasal 17 PMK Nomor 15 Tahun 2025, pemeriksa akan melakukan PTS dalam hal pemeriksaan pajak dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. PTS dilakukan melalui penyampaian panggilan kepada Wajib Pajak dilampiri dengan daftar temuan sementara. Adapun contoh surat panggilan serta daftar temuan sementara berdasarkan Lampiran V PMK Nomor 15 Tahun 2025. PMK ini juga menjelaskan bahwa PTS dilakukan untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan, serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pada proses PTS, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk memberikan buku, catatan, informasi, keterangan lain, atau dokumen elektronik yang sebelumnya belum diminta/ditunjukkan kepada pemeriksa pajak. Wajib Pajak diperbolehkan untuk menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga pada proses PTS. Selain itu, penting diketahui bahwa PTS dapat dilakukan paling lambat 1 bulan sebelum jangka waktu pengujian berakhir. Artinya, PTS akan dilakukan sebelum proses pembahasan akhir atau diterbitkannya SPHP. Dwi memastikan, penerbitan PMK Nomor 15 Tahun 2025 bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam pemeriksaan pajak, termasuk pada jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)—yang sebelumnya diatur dalam berbagai peraturan perpajakan. “Regulasi ini juga mendorong pemeriksaan yang adil dan transparan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak,” pungkasnya. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/pmk-15-2025-ubah-batas-waktu-pemberian-tanggapan-tertulis-sphp-jadi-5-hari-ini-penjelasan-djp/
Nomor HP Tetap Tidak Valid Meski Sudah Ubah Data di Coretax, Bagaimana Solusinya?
Kring Pajak meminta wajib pajak untuk menunggu proses sinkronisasi data dari Coretax DJP ke DJP Online ketika melakukan perubahan data profil. Penjelasan tersebut dari contact center Ditjen Pajak (DJP) tersebut merespons keluhan wajib pajak yang tak kunjung dapat login akun DJP Online lantaran nomor telepon tidak valid. Padahal, wajib pajak sudah mengubah data di Coretax DJP. Dalam beberapa waktu terakhir, DJP menerima banyak pertanyaan dari wajib pajak yang kesulitan login ke DJP Online karena alamat email atau nomor telepon tidak valid. Hal itu biasanya terjadi karena nomor telepon yang terdaftar di akun DJP Online berupa nomor telepon rumah/kantor, atau data nomor HP masih kosong. DJP lantas mengimbau wajib pajak untuk mengajukan permohonan perubahan data secara tertulis ke KPP/KP2KP, yang panduannya dapat diakses melalui tautan https://pajak.go.id/id/perubahan-datawajib-pajak. Selain itu, wajib pajak juga dapat melakukan perubahan data nomor HP dapat dilakukan secara online melalui coretax system di laman http://coretaxdjp.pajak.go.id. Perubahan data profil wajib pajak dapat dilakukan dengan login coretax system, lalu memilih menu Portal Saya. Meski begitu, perubahan data tersebut tidak dapat berjalan secara real-time pada DJP Online sehingga wajib pajak tetap perlu menunggu dalam hal proses perubahan data berhasil dilakukan. Saat ini, sedang berlangsung periode penyampaian SPT Tahunan 2024. Walaupun coretax system telah diterapkan sejak 1 Januari 2025, penyampaian SPT Tahunan 2024 masih dilakukan melalui platform lama, yaitu DJP Online.
DJP Diimbau Manfaatkan Data Tax Amnesty untuk Petakan Kepatuhan WP
Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyarankan Ditjen Pajak (DJP) mengoptimalkan pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Anggota DEN Chatib Basri mengatakan artificial intelligence dapat membantu otoritas dalam membaca perilaku ekonomi masyarakat. Terlebih, ketika otoritas telah memiliki banyak data yang dihimpun antara lain melalui pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) dan program pengungkapan sukarela. Jumlah fiskus yang terbatas membuat DJP belum optimal dalam melaksanakan pelayanan dan pengawasan kepada wajib pajak. Oleh karena itu, otoritas memerlukan dukungan teknologi digital untuk meningkatkan kepatuhan pajak, termasuk artificial intelligence. Penerapan coretax administration system memang telah menjadi sebuah kebutuhan dalam peningkatan kepatuhan pajak, yang pada akhirnya juga berdampak pada tax ratio. Meski masih dihadapkan pada berbagai kendala di tahap awal, coretax system diharapkan mampu membuat proses bisnis di bidang pajak menjadi lebih terukur dan serba-otomatis. Coretax system bakal berjalan lebih optimal ketika sudah dilengkapi dengan berbagai data. Dengan data yang mumpuni, otoritas akan dapat melakukan identifikasi dan memetakan perilaku ekonomi wajib pajak sehingga memudahkan pengawasan.