Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025. PMK itu mengatur mekanisme pemberian insentif pajak penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP) untuk karyawan bergaji Rp 10 juta ke bawah di sektor usaha tertentu. Insentif itu hanya bisa dinikmati karyawan atau pegawai di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit dengan gaji atau penghasilan bruto yang diterima tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau Rp500 ribu per hari. “Dan pemberi kerja harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK ini,” dikutip dari siaran pers Ditjen Pajak Nomor SP-3/2025, Senin (17/1/2025). Insentif PPh 21 DTP sudah bisa diperoleh para pegawai industri sektor padat karya tertentu itu mulai masa pajak Januari 2025 atau masa pajak bulan pertama bekerja pada tahun 2025. Tujuan diberikannya insentif ini ialah untuk membantu daya beli para pegawai atau buruh di sektor industri padat karya itu. Serta untuk membantu konsumsi mereka di tengah kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% per Januari 2025. “Latar belakang penerbitan PMK ini adalah sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian nasional. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu,” sebagaimana tertulis dalam siaran pers Ditjen Pajak itu. Berikut ini daftar industri atau klasfikasi lapangan usaha yang karyawannya bisa menikmati insentif PPh 21 DTP: 1. Industri Persiapan Serat Tekstil Kelompok ini mencakup usaha persiapan serat tekstil, seperti reeling (pilin/menggulung) dan pencucian serat sutera, degreasasi (penghilangan lemak) dan karbonisasi wol dan pencelupan bulu domba, termasuk proses penyusunan dan penyisiran (carding atau combing) dari serat rambut hewan serat tumbuhan, dan serat buatan (sintetis dan artifisial). 2. Industri Pemintalan Benang Kelompok ini mencakup usaha pemintalan serat menjadi benang, kecuali benang jahit. Termasuk kegiatan penteksturan, penyimpulan, pelipatan dan pencucian benang rajutan filamen sintetis dan benang artifisial (dari bubur kayu). 3. Industri Pemintalan Benang Jahit Kelompok ini mencakup usaha pembuatan benang jahit, baik dengan bahan baku serat maupun benang. Termasuk kegiatan penteksturan, penyimpulan, pelipatan dan pencucian benang jahit 4. Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) Kelompok ini mencakup usaha pertenunan, baik yang dibuat dengan alat gedogan, alat tenun bukan mesin (ATBM), alat tenun mesin (ATM) ataupun alat tenun lainnya, termasuk pembuatan sarung, kecuali industri kain tenun ikat. Usaha pertenunan karung goni dan karung lainnya dimasukkan dalam kelompok 13925, 13926, 13929. 5. Industri Kain Tenun Ikat Kelompok ini mencakup usaha pembuatan kain tenun ikat dan usaha pewarnaan benang dengan cara mengikat terlebih dahulu. 6. Industri Bulu Tiruan Tenunan Kelompok ini mencakup usaha pembuatan bulu tiruan dengan penenunan. 7. Industri Penyempurnaan Benang Kelompok ini mencakup usaha pengelantangan, pencelupan dan penyempurnaan lainnya untuk benang maupun benang jahit. 8. Industri Penyempurnaan Kain Kelompok ini mencakup usaha pengelantangan, pencelupan dan penyempurnaan lainnya untuk kain. 9. Industri Pencetakan Kain Kelompok ini mencakup usaha pencetakan kain dengan media perantara seperti kasa dan sebagainya, termasuk juga pencetakan kain motif […]
Peraturan Pemeriksaan Pajak Dilebur Jadi 1 PMK
Kementerian Keuangan mengatur kembali ketentuan pemeriksaan pajak melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025. Ketentuan perihal pemeriksaan pajak sebelumnya tersebar pada 3 PMK. Pertama, PMK 17/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Kedua, PMK 256/2014 tentang tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga, Pasal 105 PMK 18/2021 tentang tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kini, ketentuan dalam ketiga beleid tersebut diatur kembali dan dilebur menjadi 1 dalam PMK 15/2025. Untuk itu, berlakunya PMK 15/2025 mulai 14 Februari 2025 akan sekaligus mencabut ketiga PMK tersebut. Apabila disandingkan, perubahan yang paling mencolok di antaranya terkait dengan ruang lingkup, tipe pemeriksaan, dan kriteria pemeriksaan. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan kini dilakukan dengan 3 tipe pemeriksaan, yaitu: lengkap, terfokus, dan spesifik. Ketiga tipe pemeriksaan tersebut belum diatur dalam beleid terdahulu. Selain itu, kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain juga mengalami perubahan. Sebelumnya, hanya ada 12 kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain. Kini, PMK 15/2025 memperluas kriteria tindakan yang dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain menjadi 25 jenis. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya dilakukan untuk pengujian fasilitas perpajakan yang telah diberikan. Selain PMK 15/2025, ada pula ulasan mengenai kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan daya beli, termasuk di dalamnya pemberian insentif pajak. Kemudian, ada juga bahasan terkait dengan dampak pajak minimum global bagi Indonesia. Ada Aturan Pembahasan Temuan Sementara dalam Pemeriksaan Pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan peraturan baru, yaitu PMK 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak. Dalam PMK tersebut, salah satu ketentuan yang diatur ialah mengenai pembahasan temuan sementara. Pembahasan temuan sementara merupakan tahapan pemeriksaan yang wajib dilaksanakan pemeriksa pajak saat melakukan pemeriksaan. Namun, kewajiban ini dikecualikan apabila pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan spesifik guna menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Terbitnya PMK Baru Mengenai Pemeriksaan Pajak
Ketentuan pemeriksaan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025 dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan pemeriksaan pajak pasca berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan untuk menyederhanakan regulasi mengenai pemeriksaan pajak. Sebelumnya, ketentuan perihal pemeriksaan pajak tersebar pada 3 PMK. Pertama, PMK 17/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Kedua, PMK 256/2014 tentang tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga, Pasal 105 PMK 18/2021 tentang tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kini, ketentuan dalam ketiga beleid tersebut diatur kembali dan dilebur menjadi 1 dalam PMK 15/2025. Untuk itu, berlakunya PMK 15/2025 mulai 14 Februari 2025 akan sekaligus mencabut ketiga PMK tersebut. Apabila disandingkan, perubahan yang paling mencolok di antaranya terkait dengan ruang lingkup, tipe pemeriksaan, dan kriteria pemeriksaan. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan kini dilakukan dengan 3 tipe pemeriksaan, yaitu: lengkap, terfokus, dan spesifik. Ketiga tipe pemeriksaan tersebut belum diatur dalam beleid terdahulu. Selain itu, kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain juga mengalami perubahan. Sebelumnya, hanya ada 11 kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain. Kini, PMK 15/2025 memperluas kriteria tindakan yang dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain menjadi 25 jenis. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya dilakukan untuk pengujian fasilitas perpajakan yang telah diberikan.
PMK 11 Tahun 2025 Berlaku, Pajak Bangun Rumah Sendiri Tetap 2,2 Persen
KOMPAS.com – Besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kegiatan membangun sendiri, baik itu rumah maupun bangunan lain, tidak mengalami perubahan. Hal itu lantaran berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 Tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai, yang ditetapkan pada 4 Februari 2025. Sebab sebelumnya, terdapat wacana bahwa kegiatan membangun sendiri terkena pajak 2,4 persen seiring dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Kendati begitu, salah satu isi PMK 11 Tahun 2025 mengubah besaran tertentu yang menjadi formula perhitungan pungutan PPN kegiatan membangun sendiri. Sebagaimana tertulis di dalam Pasal 20 bahwa ketentuan ayat (2) Pasal 324 PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan diubah. Sehingga kini Pasal 324 PMK 81 Tahun 2024 berbunyi sebagai berikut: (1) PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (1) dihitung, dipungut, dan disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dengan besaran tertentu. (2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dikali 11/12 dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. (3) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah. Sebelumnya di dalam ayat (2) Pasal 324 PMK 81 Tahun 2024 tertulis bahwa besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dengan tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Sehingga, dengan perubahan formula besaran tertentu sebagaimana tertulis di dalam Pasal 20 PMK 11 Tahun 2025, maka besaran PPN untuk kegiatan membangun sendiri tetap 2,2 persen. Sumber: https://www.kompas.com/properti/read/2025/02/10/193000721/pmk-11-tahun-2025-berlaku-pajak-bangun-rumah-sendiri-tetap-2-2-persen
DJP Kumpulkan Pajak Fintech P2P Lending & Kripto Rp 4,36 Triliun Hingga Januari 2025
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berhasil mengumpulkan pajak dari bisnis fintech peer-to-peer (P2P) lending dan aset kripto sebesar Rp 4,36 triliun hingga Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, melaporkan bahwa total penerimaan pajak dari fintech P2P lending hingga Januari 2025 mencapai Rp 3,17 triliun. Rincian Penerimaan Pajak Fintech P2P Lending: Tahun 2022: Rp 446,39 miliar Tahun 2023: Rp 1,1 triliun Tahun 2024: Rp 1,48 triliun Tahun 2025 (hingga Januari): Rp 140 miliar Pajak fintech tersebut terdiri atas: Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WP DN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar. PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WP LN) sebesar Rp 720,74 miliar. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun. Sebagai informasi, pajak fintech berbasis P2P lending merupakan jenis pajak baru yang mulai berlaku sejak 1 Mei 2022. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyelenggara Teknologi Finansial (fintech). Sama seperti jasa lainnya, transaksi fintech termasuk dalam objek jasa kena pajak yang dikenakan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atas bunga yang diperoleh pemberi pinjaman atau lender. PPh Pasal 23 dikenakan pada wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dengan tarif 15% dari jumlah bruto atas bunga. PPh Pasal 26 dikenakan pada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dengan tarif 20% dari jumlah bruto atas bunga. Penerimaan Pajak Kripto Sementara itu, pemerintah juga berhasil mengumpulkan pajak dari transaksi aset kripto sebesar Rp 1,19 triliun hingga akhir Januari 2025. Rincian Penerimaan Pajak Kripto: Tahun 2022: Rp 246,45 miliar Tahun 2023: Rp 220,83 miliar Tahun 2024: Rp 620,4 miliar Tahun 2025 (hingga Januari): Rp 107,11 miliar Penerimaan pajak kripto terdiri atas: Rp 560,55 miliar dari PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan aset kripto di exchanger. Rp 634,24 miliar dari PPN Dalam Negeri atas transaksi pembelian aset kripto di exchanger. Sama halnya dengan pajak fintech, pajak kripto mulai berlaku sejak 1 Mei 2022 dan mulai dibayarkan serta dilaporkan pada Juni 2022. Aturan mengenai pajak ini tertuang dalam PMK No. 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. “Pemerintah akan terus menggali potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital lainnya, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto serta pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman,” ujar Dwi dalam keterangan resminya, dikutip Senin (17/2). Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/djp-kumpulkan-pajak-fintech-p2p-lending-kripto-rp-436-triliun-hingga-januari-2025
Pajak Ditanggung Pemerintah, Pasar Mobil “Hybrid” Ditargetkan Semakin Menggeliat
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah semakin serius dalam mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional, terutama di segmen kendaraan ramah lingkungan. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah pemberian insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP) untuk mobil hybrid. Kebijakan ini diharapkan mampu menggairahkan kembali pasar otomotif yang mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa industri otomotif memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. “Kami memberikan apresiasi atas penyelenggaraan International Motor Show (IIMS) karena terbukti menunjukkan tren yang positif dan telah turut membantu upaya pemerintah untuk menggairahkan industri otomotif nasional,” kata Agus saat membuka IIMS 2025 di Jakarta, dikutip Pajak.com pada Jumat (14/2/2025). Pemerintah menyadari perlunya langkah konkret untuk mendukung industri otomotif, terutama di tengah tantangan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat. Salah satu terobosan yang telah diambil adalah pemberian insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah untuk mobil hybrid. “Alhamdulillah, akhirnya pemerintah memutuskan untuk memberikan insentif mobil hybrid. Jadi, tentu saya berharap atas kegiatan IIMS tahun ini, akan mampu menggairahkan kembali minat calon konsumen untuk belanja otomotif,” ujar Agus. Sumber: https://www.kompas.com/properti/read/2025/02/10/193000721/pmk-11-tahun-2025-berlaku-pajak-bangun-rumah-sendiri-tetap-2-2-persen#google_vignette
Kompensasi atas PPh 21 LB Masa Desember 2024 Tidak Muncul di Coretax?
Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 menyebutkan bahwa dalam hal pada suatu Masa Pajak terjadi kelebihan penyetoran pajak yang terutang oleh pemotong pajak, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan atau dikompensasikan dengan PPh Pasal 21/26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui SPT Masa. Namun, pada aplikasi Coretax, banyak wajib pajak yang belum bisa melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pada SPT Masa PPh Pasal 21/26 Masa Desember 2024 untuk Masa Januari 2025. Nilai kelebihan pembayaran tersebut tidak muncul pada SPT Masa Januari 2025 yang dibuat wajib pajak. Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak melalui akun X @kring_pajak menyampaikan bahwa saat ini data e-Bupot 21/26, termasuk data terkait kompensasi, sedang proses migrasi ke Coretax. “Jika belum muncul, kemungkinan masih dalam proses migrasi data dari e-Bupot 21/26 ke sistem Coretax. Mohon kesediaan Kakak untuk cek datanya secara berkala ya, Kak,” jelas DJP. DJP menjelaskan pada dasarnya kompensasi SPT Masa PPh Pasal 21 pada laman Coretax akan muncul otomatis pada saat wajib pajak membuat konsep/draft SPT. Nilai kompensasi akan muncul pada bagian Induk bagian B.1.2 (PPh 21) atau C.1.2 (PPh 26). Jumlah kompensasi juga dapat dilihat pada submenu Dasbor Kompensasi. Agar nilai kompensasi dapat muncul, DJP juga meminta wajib pajak untuk memastikan: SPT Masa PPh 21 Desember 2024 telah berhasil terlapor dengan memilih kompensasi ke Masa Januari 2025; dan nilai kompensasi masuk ke Dasbor Kompensasi. Sumber: https://ortax.org/kompensasi-atas-pph-21-lb-masa-desember-2024-tidak-muncul-di-coretax-ini-kata-djp
Alasan PKP Dikukuhkan setelah 1 Januari 2025, Tidak Bisa Menggunakan e-Faktur
PKP yang baru dikukuhkan di tahun 2025 tidak bisa memanfaatkan kebijakan KEP-54/PJ/2025 untuk membuat faktur pajak keluaran melalui e-faktur client desktop. Ditjen pajak (DJP) mengumumkan pengecualian tersebut melalui Pengumuman No. PENG13/PJ.09/2025. DJP menjelaskan 2 alasan yang membuat PKP baru tidak bisa memanfaatkan e-faktur client desktop yaitu: 1. PKP tersebut tidak memiliki akun dalam aplikasi e-faktur client desktop dan e-nofa. 2. PKP tersebut tidak memiliki sertifikat elektronik. Padahal, akun e-nofa diperlukan untuk mengajukan nomor seri faktur pajak (NSFP) yang menjadi komponen penting dalam pembuatan faktur pajak. Sementara itu, sertifikat elektronik diperlukan untuk bisa mengakses e-faktur dan e-nofa. Selain PKP baru, PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan PPN terutang juga tidak bisa membuat faktur pajak melalui aplikasi e-faktur client desktop. Kemudian, faktur pajak dengan kode transaksi 06 dan 07 juga tidak bisa dibuat melalui e-faktur client desktop. e-Faktur Cuma untuk Buat dan Ganti FP, Lapor SPT Masa Tetap Coretax. Sementara itu, bagi PKP yang bisa menggunakan e-faktur client desktop maka tidak perlu melakukan update eplikasi. Sebab, tidak ada update aplikasi e-faktur client desktop khusus pasca berlakunya KEP-54/PJ/2025. Namun, PKP perlu memastikan bahwa versi e-faktur client desktop yang digunakan adalah versi 4.0.0.0 rilis patch 11082024. Selain itu, PKP juga perlu memperhatikan ketentuan yang berlaku, termasuk menyesuaikan pengisian kolom dasar pengenaan pajak (DPP) dengan ketentuan PMK 131/2024 dan PMK 11/2025.
DJP: Lapor SPT PPN Masa Tetap Melalui ”Core Tax”!
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka akses aplikasi e-Faktur (e-Faktur Client Desktop dan e-Faktur Host-to Host) mulai 12 Februari 2025. Meski demikian, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masa tetap dilakukan melalui core tax. Hal tersebut ditegaskan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti, kepada Pajak.com, melalui pesan singkat (14/2). ”Data faktur pajak yang dibuat dari saluran aplikasi e-Faktur Client Desktop akan tersedia secara periodik di core tax paling lambat H+2 setelah penerbitan faktur pajak. Selanjutnya, pelaporan SPT Masa PPN dilakukan melalui core tax,” jelas Dwi. Adapun pelaporan SPT Masa PPN wajib disampaikan bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) paling lama pada akhir bulan berikutnya. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-lapor-spt-ppn-masa-tetap-melalui-core-tax/
Tak Hanya Pakai Coretax, Penerbitan Faktur Pajak Bisa Pakai Aplikasi Lama
Direktorat Jenderal Pajak atau DJP memperluas layanan penerbitan faktur pajak, dari yang beberapa pekan terakhir bermasalah melalui sistem coretax atau sistem inti administrasi pajak. Sistem itu baru diimplementasikan oleh Ditjen Pajak sejak 1 Januari 2025. Melalui keterangan tertulis Nomor KT-06/2025, Ditjen Pajak mengumumkan bahwa layanan penerbitan faktur pajak kini dapat dilakukan melalui tiga saluran. Selain aplikasi Coretax DJP, juga bisa melalui aplikasi e-Faktur Client Desktop dan aplikasi e-Faktur Host-to-Host yang disediakan Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan atau PJAP. “Penerbitan Faktur Pajak saat ini dapat dilakukan pada tiga saluran utama,” dikutip dari keterangan tertulis yang terbit pada Kamis (13/2/2025). Mulai kemarin, 12 Februari 2025, seluruh pengusaha kena pajak atau PKP sudah bisa menggunakan aplikasi e-Faktur Client Desktop dalam pembuatan faktur pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Ketentuan tersebut diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-54/PJ/2025 tanggal 12 Februari 2025 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Tertentu. Data faktur pajak yang dibuat dari saluran aplikasi e-Faktur Client Desktop akan tersedia secara periodik di Coretax DJP paling lambat H+2 setelah penerbitan faktur pajak. Penerbitan faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur Client Desktop dapat dilakukan untuk seluruh jenis faktur pajak, kecuali: a. Faktur pajak dengan kode transaksi 06 (penyerahan BKP kepada turis asing yang memberitahukan dan menunjukkan paspor luar negeri kepada PKP toko retail yang berpartisipasi dalam skema pengembalian PPN kepada turis asing). b. Faktur pajak dengan kode transaksi 07 (penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP)). c. Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan PPN terutang. d. Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang dikukuhkan setelah tanggal 1 Januari 2025. Sebagai informasi, sampai dengan 13 Februari 2025 pukul 04.29 WIB, Ditjen Pajak mencatat, wajib pajak yang telah berhasil memperoleh sertifikat digital atau sertifikat elektronik untuk keperluan penandatanganan faktur pajak dan bukti potong PPh berjumlah 689.650. Sementara itu, jumlah wajib pajak yang telah menerbitkan faktur pajak yaitu sebesar 251.038. Jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan yaitu sebesar 52.506.836 untuk masa Januari 2025 dan 6.914.991 untuk masa Februari 2025 dengan jumlah faktur pajak telah divalidasi atau disetujui sebesar 46.964.875 untuk masa Januari 2025 dan 6.201.671 untuk masa Februari 2025. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250213115709-4-610323/tak-cuma-coretax-penerbitan-faktur-pajak-bisa-pakai-aplikasi-lama
