Diperiksa DJP, WP Harus Penuhi Permintaan Dokumen dalam Waktu 1 Bulan

Sebagaimana diatur dalam PMK 15/2025, wajib pajak yang diperiksa harus memenuhi surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan/atau dokumen yang disampaikan oleh pemeriksa pajak dalam waktu 1 bulan. Bila buku, catatan, dan/atau dokumen yang diminta pemeriksa pajak berdasarkan surat permintaan disampaikan oleh wajib pajak setelah jangka waktu 1 bulan maka buku, catatan, dan/atau dokumen tersebut dianggap tidak diberikan pada saat pemeriksaan. Namun demikian, ketentuan jangka waktu tersebut dikecualikan dalam hal buku, catatan, dan/atau dokumen yang diminta oleh pemeriksa berdasarkan surat permintaan belum diperoleh wajib pajak dari pihak ketiga. Dalam pasal 12 ayat (11) telah diatur bahwa buku, catatan, dan/atau dokumen yang belum diperoleh dari pihak ketiga bisa disampaikan paling lambat sebelum berita acara pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) ditandatangani. Nanti, wajib pajak dapat memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen dari pihak ketiga pada saat pembahasan temuan sementara. Pembahasan temuan sementara diselenggarakan sebulan sebelum tanggal penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP). Pembahasan temuan sementara adalah pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa atas temuan sementara pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta sesuai dengan peraturan perpajakan.

Sri Mulyani Sederhanakan Tarif Bea Masuk untuk Kosmetik Hingga Tas

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan perubahan kebijakan terkait tarif bea masuk terhadap sejumlah komoditas tertentu yang sebelumnya dikenakan tarif Most Favored Nation (MFN). Perubahan ini bertujuan untuk menyederhanakan sistem tarif bea masuk menjadi lebih efisien dan transparan. Adapun penyederhanaan tarif ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4 Tahun 2025 yang mulai berlaku 5 Maret 2025. Dalam PMK terbaru ini, delapan kelompok komoditas yang sebelumnya dikenakan tarif MFN kini dibagi menjadi tiga kelompok tarif yang lebih sederhana. Pertama, tarif 0%: diberlakukan untuk barang kiriman berupa buku ilmu pengetahuan. Kedua, tarif 15%: diberlakukan untuk barang kiriman seperti jam tangan, kosmetik, dan besi/baja. Dalam PMK sebelumnya yakni PMK 96/2023 Jo. PMK 111/2023, barang-barang tersebut dikenakan tarif dari kisaran 0% hingga 20%. Ketiga, tarif 25%: dikenakan pada barang kiriman berupa tas, produk tekstil, alas kaki, dan sepeda. Dalam PMK yang lama, barang-barang tersebut dikenakan tarif dengan range 5% hingga 40%. Selain perubahan tarif bea masuk, pemerintah juga menetapkan delapan kelompok komoditas tersebut tidak akan dikenakan Bea Masuk Tambahan (BMT). Namun, tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Sekarang ini dengan PMK yang baru, dikecualikan untuk tambahan bea masuk. Alasannya untuk kemudahan dalam layanan dan percepatan dalam layanan,” ujar Subdirektorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu Chotibul Umam dalam Media Briefing di Jakarta, Selasa (25/2). Sementara itu, Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan tarif sebesar 5%, kecuali untuk buku ilmu pengetahuan yang mendapatkan pengecualian dari PPh.   Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-sederhanakan-tarif-bea-masuk-untuk-kosmetik-hingga-tas

Pekan Panutan Pajak Kota Tangerang, Ada Diskon 25% PBB dan BPHTB

Jakarta – Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) menggelar Pekan Panutan Pajak 2025. Acara ini berlangsung di Plaza Puspem Kota Tangerang selama 3 hari hingga 26 Februari 2025 mendatang. Para wajib pajak dapat memanfaatkan Pekan Panutan Pajak 2025, yang bisa dijangkau secara online maupun offline. Di mana, di momen ini juga masih diberlakukan diskon 25 persen untuk PBB dan BPHTB hingga 31 Maret. Kepala Bapenda Kota Tangerang Kiki Wibhawa menjelaskan Pekan Panutan Pajak bertujuan untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam memenuhi kewajibannya membayar dan melaporkan pajak kepada negara. Terlebih para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sejatinya menjadi pelopor dan panutan masyarakat dalam hal membayar pajak. “Berlangsung tiga hari ke depan di Plaza Puspem Kota Tangerang dengan target sasaran pegawai dan 13 kecamatan serta 104 kelurahan dengan target masyarakat umum,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (24/2/2025). Diketahui, kepatuhan wajib pajak di triwulan I tahun 2025 meningkat cukup baik dibanding triwulan I di tahun 2024 lalu. Tercatat, PBB tahun 2025 memiliki target Rp 610 miliar sedangkan BPHTB memiliki target Rp650 miliar. Sedangkan target triwulan I PBB di angka Rp 91 miliar dan BPHTB di angka Rp 65 miliar. “Hingga hari ini, capaian triwulan I pada PBB telah mencapai 63 persen dan BPHTB di angka 91 persen. Artinya dengan Pekan Panutan Pajak ini dapat mendorong percepatan terkait penerimaan pendapatan, baik PBB maupun BPHTB,” katanya. Sebagai informasi, diskon PBB-P2 di antaranya ialah bebas sanksi administrasi sampai tahun 2024, diskon 25 persen untuk ketetapan PBB-P2 tahun 1994-2014, diskon 20 persen untuk ketetapan Buku I dengan nominal SPPT Rp 0 hingga Rp 100.000. Diskon 10 persen untuk ketetapan Buku II dengan nominal SPPT Rp 100.001 hingga Rp 500 ribu. Diskon enam persen untuk ketetapan Buku III dengan nominal Rp 500.001 hingga Rp 2 juta. Diskon empat persen untuk ketetapan Buku IV dengan nominal Rp 2.000.001 hingga Rp 5 juta dan diskon tiga persen untuk ketetapan Buku V dengan nominal lebih dari Rp 5 juta. Sedangkan untuk BPHTB sertifikat program pemerintah seperti Prona, PTSL atau PTKL mendapatkan diskon mencapai 25 persen. Sementara itu, Wakil Wali Kota Tangerang Maryono mengimbau wajib pajak agar tidak melewatkan kesempatan ini. “Diimbau para wajib pajak sebagai objek pajak untuk sama-sama bekerja sama dalam urusan pembayaran retribusi hingga pendapatan pajak di awal tahun. Silakan nikmati diskon yang diberikan Pemkot Tangerang baik itu di gerai offline atau pun pembayaran online,” katanya. Sumber: https://news.detik.com/berita/d-7793466/pekan-panutan-pajak-kota-tangerang-ada-diskon-25-pbb-dan-bphtb.

Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Pajak Kini Paling Lama 30 Hari

Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) dan pelaporannya kini dipangkas menjadi maksimal 30 hari.  Merujuk pada PMK 15/2025 Pasal 6 ayat (3), PAHP merupakan tahap pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan. Hasil PAHP tersebut kemudian dituangkan dalam berita acara PAHP yang berisi koreksi pokok pajak terutang dan perhitungan sanksi dan/atau denda administratif. Jangka waktu PAHP dan pelaporan tersebut lebih singkat ketimbang peraturan terdahulu. Pada PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021, jangka waktu PAHP dan pelaporan maksimal 2 bulan sejak tanggal SPHP disampaikan hingga tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Dengan demikian, total jangka waktu pemeriksaan berdasarkan PMK 15/2025 menjadi lebih singkat. Perlu diingat, jangka waktu pemeriksaan terbagi menjadi 2, yaitu jangka waktu pengujian dan jangka waktu PAHP serta pelaporan. Berdasarkan PMK 15/2025, jangka waktu pengujian untuk pemeriksaan lengkap maksimal 5 bulan sejak surat pemberitahuan pemeriksaan (SP2) disampaikan hingga tanggal SPHP disampaikan. Jika ditambah dengan jangka waktu PAHP maka pemeriksaan lengkap idealnya dilakukan 6 bulan. Lalu, jangka waktu pengujian atas pemeriksaan terfokus maksimal 3 bulan sejak surat pemberitahuan pemeriksaan (SP2) disampaikan hingga tanggal SPHP disampaikan. Bila ditambahkan dengan jangka waktu PAHP maka pemeriksaan terfokus idealnya dilakukan 4 bulan. Jangka waktu pengujian untuk pemeriksaan spesifik maksimal 1 bulan sejak surat pemberitahuan pemeriksaan (SP2) disampaikan hingga tanggal SPHP disampaikan. Jika ditambahkan dengan jangka waktu PAHP maka pemeriksaan spesifik idealnya dilakukan 2 bulan. Namun, ketentuan jangka waktu pengujian tersebut dikecualikan untuk pemeriksaan spesifik terkait dengan kriteria pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan atas data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.  Untuk pemeriksaan dikarenakan adanya data konkret, jangka waktu pengujiannya maksimal 10 hari kerja. Adapun jangka waktu PAHP dan pelaporannya maksimal 10 hari kerja.

Bertahun-tahun Malas Lapor SPT Pajak Bisa Dipenjara!

Setiap warga negara yang sudah memiliki penghasilan atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) wajib lapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak setiap tahun. Hal ini berlaku baik untuk wajib pajak (WP) orang pribadi maupun wajib pajak badan. Wajib pajak orang pribadi dapat melakukan pelaporan SPT Tahunan sebelum tanggal 31 Maret, dan sementara Wajib Pajak Badan dapat melakukan pelaporan SPT Tahunan sebelum 30 April pada tiap tahunnya. Berdasarkan situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan terakhir kali diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Lantas apa konsekuensi jika tak pernah lapor SPT? Jika wajib pajak melaporkan SPT Tahunannya melewati batas pelaporan yang telah ditentukan, menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang terakhir diubah dengan UU Ciptaker, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana. Untuk sanksi administrasi, yang bersangkutan dapat dikenakan denda sebesar Rp 100.000 untuk wajib pajak orang pribadi. Sedangkan untuk wajib pajak badan dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp 1.000.000. “Denda tersebut akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak dan wajib pajak harus membayar sanksi berupa denda tersebut sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan di dalam Surat Tagihan Pajak,” tulis DJP dalam situs resminya. Dengan terus menunda untuk melaporkan SPT Tahunan, maka sanksi administrasi atau denda yang didapatkan juga akan semakin besar. Hal ini diatur dalam UU KUP jo. UU Ciptaker, wajib pajak yang terlambat atau tidak melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan sanksi administratif denda, sanksi pidana, dan denda pada sanksi pidana. Bahkan apabila wajib pajak dengan sengaja tidak melaporkan SPT Tahunannya, dapat dikenakan sanksi berupa sanksi pidana dalam bentuk kurungan penjara maksimal enam bulan hingga enam tahun serta dapat dikenakan denda pada sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU KUP jo. UU Ciptaker. Karena itu melaporkan SPT Tahunan tepat waktu adalah langkah preventif yang dapat menghindari risiko terkena sanksi pidana yang dapat berdampak serius, baik secara finansial, reputasi, maupun hukum bagi wajib pajak. “Oleh karena itu, selain sebagai kewajiban hukum, pelaporan SPT Tahunan tepat waktu juga merupakan tindakan bijak untuk menghindari konsekuensi yang lebih besar di masa depan,” imbau DJP. Sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7789034/bertahun-tahun-malas-lapor-spt-pajak-bisa-dipenjara

DJP Tambah Fitur MFA untuk “Login” di Layanan DJPOnline

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam meningkatkan keamanan layanan digital bagi Wajib Pajak. Kini, DJP menambahkan fitur Multi-Factor Authentication (MFA) menggunakan Mobile Authenticator pada sistem DJP online. Dengan adanya fitur ini, proses login menjadi lebih aman dan terhindar dari potensi penyalahgunaan kredensial. Penambahan fitur ini tertuang dalam Pengumuman Nomor PENG-15/PJ.09/2025 yang disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti. Dalam pengumuman tersebut, DJP menjelaskan bahwa MFA berbasis mobile authenticator mengadopsi konsep Time-based One Time Password (TOTP), sehingga Wajib Pajak mendapatkan kode verifikasi sekali pakai yang selalu berubah dalam jangka waktu tertentu. “Wajib Pajak yang baru pertama kali menggunakan metode verifikasi berupa MFA dengan mobile authenticator perlu melakukan registrasi atau aktivasi mobile authenticator,” kata Dwi dalam keterangan resminya, dikutip Pajak.com pada Senin (24/2/2025). Empat Metode Verifikasi “Login” Dengan hadirnya fitur baru ini, DJP online kini memiliki empat metode verifikasi login yang bisa dipilih oleh Wajib Pajak, yaitu: 1.Email 2.SMS 3.Akun M-Pajak (khusus Wajib Pajak Orang Pribadi) 4.Mobile authenticator Mengenal “Mobile Authenticator” Mobile authenticator adalah aplikasi yang dapat menghasilkan kode verifikasi satu kali pakai untuk meningkatkan keamanan login di DJP online. Beberapa aplikasi yang bisa digunakan sebagai mobile authenticator antara lain: Google Authenticator Authy Microsoft Authenticator Duo Mobile Last Pass Authenticator Aplikasi-aplikasi ini dapat diunduh secara gratis melalui Google Play Store atau App Store. Bagi Wajib Pajak yang ingin menggunakan metode MFA dengan mobile authenticator untuk pertama kalinya, perlu melakukan registrasi atau aktivasi terlebih dahulu. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-tambah-fitur-mfa-untuk-login-di-layanan-djponline/

DJP: PPh 0% Buat Pekerja Padat Karya Tak Ganggu Setoran Pajak

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menjelaskan insentif pajak yang diberikan dalam Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (DTP) atau PPh 21 DTP tidak akan mengganggu penerimaan pajak. Dia mengatakan bahwa skema PPh DTP dirancang untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Pasalnya, pajak yang biasanya dipotong dari gaji karyawan kini ditanggung pemerintah, sehingga penghasilan bersih yang diterima pekerja menjadi lebih besar. Dengan meningkatnya pendapatan yang dapat dibelanjakan, konsumsi masyarakat juga diharapkan meningkat, yang pada gilirannya akan menggerakkan roda perekonomian. “Karena yang kita harapkan nanti adalah multiplier effect-nya. Tadi bagaimana sudah saya sampaikan bahwa PPh 21 yang ditanggung oleh pemerintah kepada pemberi kerja itu harus dibayarkan di bulan yang bersangkutan,” ujar Dwi Astuti dalam acara Squawk Box CNBC TV, Senin (24/2/2025). Dwi pun menjelaskan dengan adanya peningkatan konsumsi, aktivitas ekonomi akan meningkat, menciptakan perputaran uang yang lebih besar dalam perekonomian. “Sehingga kalau sudah ada multiplier effect seperti ini, kemudian ada pergerakan ekonomi karena ini digunakan untuk konsumsi yang pada akhirnya ini akan memberikan dampak positif bagi penerimaan negara,” ujarnya. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (DTP) dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025. PMK Nomor 10 Tahun 2025 tersebut ditetapkan dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Februari 2025. Latar belakang penerbitan PMK ini adalah sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian nasional. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu.

Air Tanah Kena Pajak? Ini Penjelasannya

Pajak Air Tanah (PAT) mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang. Namun, bagi mereka yang mengambil dan memanfaatkan air tanah, pajak ini wajib diperhitungkan. Lalu, apa sebenarnya PAT, siapa yang wajib membayarnya, dan bagaimana cara menghitungnya? Simak penjelasannya berikut ini. Sesuai dengan namanya, pajak air tanah adalah pajak yang dikenakan atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air tanah sendiri adalah air yang tersimpan dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Artinya, setiap orang atau badan yang mengambil dan memanfaatkan air tanah akan dikenakan pajak. Objek pajak air tanah mencakup seluruh kegiatan yang melibatkan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Namun, ada beberapa pengecualian yang tidak dikenakan pajak, yaitu: Keperluan dasar rumah tangga Pengairan pertanian rakyat Perikanan rakyat Peternakan rakyat Keperluan ibadah atau keagamaan Pemadaman kebakaran Keperluan pemerintah. Jadi, jika kamu menggunakan air tanah untuk mandi, mencuci, atau kebutuhan rumah tangga lainnya, kamu tidak perlu khawatir terkena pajak ini. Ada dua istilah penting dalam pajak air tanah: Subjek Pajak: Orang pribadi atau badan yang mengambil atau memanfaatkan air tanah. Wajib Pajak: Orang pribadi atau badan yang harus membayar pajaknya. Singkatnya, jika kamu atau perusahaanmu menggunakan air tanah untuk keperluan usaha, maka kamu termasuk Wajib Pajak yang harus membayar pajak air tanah. Bagaimana Cara Menghitung Pajaknya? Dasar perhitungan pajak air tanah adalah nilai perolehan air tanah, yang dihitung berdasarkan beberapa faktor, yaitu: Harga air baku: Berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian air tanah. Bobot air tanah: Ditentukan dari berbagai aspek seperti sumber air, lokasi, tujuan pemanfaatan, volume, kualitas, serta dampak terhadap lingkungan. Tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20 persen dari nilai perolehan air tanah. Artinya, semakin besar nilai perolehan air tanah, maka semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Pajak ini mulai terutang sejak air tanah diambil atau dimanfaatkan. Jadi, jika kamu menggunakan air tanah untuk usaha, sejak saat itu juga kewajiban pajak ini berlaku. Wilayah pemungutan pajak air tanah adalah Provinsi DKI Jakarta. Artinya, pajak ini berlaku bagi siapa saja yang mengambil dan/atau memanfaatkan air tanah di wilayah Jakarta. Singkatnya, pajak air tanah adalah pajak yang dikenakan bagi siapa saja yang mengambil dan memanfaatkan air tanah, kecuali untuk keperluan tertentu seperti rumah tangga, pertanian rakyat, dan kegiatan sosial lainnya. Tarifnya 20 persen dari nilai perolehan air tanah dan wajib dibayar sejak air tanah mulai digunakan. Dengan membayar pajak air tanah, kita turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya air tanah agar tetap bermanfaat bagi semua.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/air-tanah-kena-pajak-ini-penjelasannya/

Solusi Untuk Faktur Pajak Berstatus ‘Waiting for Amendment’

Notifikasi status waiting for amendment muncul jika PKP penjual membuat faktur pajak pengganti atas faktur pajak yang telah dikreditkan oleh PKP pembeli. Untuk mengatasi ini, pembeli harus menyetujui faktur pajak pengganti yang telah dibuat. Selanjutnya, pembeli mengakses menu Pajak Masukan. Kemudian, cari faktur pajak yang telah dibuat pengganti dengan status waiting for amendment. Setelah itu, klik Edit dan gulir layar ke bawah. Lalu, klik Setujui Penggantian. Selain itu, wajib pajak juga dapat mencoba melakukan beberapa langkah sebelum mengakses Coretax. Pertama, memastikan kembali koneksi internet lancar dan stabil. Kedua, silakan clear cache dan cookies pada browser yang digunakan. Ketiga, buka laman Coretax DJP melalui private browser atau incognito window. Keempat, wajib pajak juga bisa menggunakan browser atau perangkat lain.

DJP Tegaskan 5 Hal Soal Pengkreditan Pajak Masukan Pasca Coretax

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan perihal pengkreditan pajak masukan dalam masa pajak tidak sama pasca-implementasi Coretax. Ada lima poin yang disampaikan DJP dalam keterangan tertulis, Jumat (21/2/2025). Pertama, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama. Selain itu, di dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN diatur juga bahwa pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang tidak sama (berbeda) paling lama 3 (tiga) masa pajak berikutnya sepanjang belum dibebankan sebagai biaya. Kedua, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK-81/2024) mengatur bahwa pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, namun tidak mengatur ketentuan terkait pengkreditan pajak masukan pada masa pajak yang berbeda, kecuali untuk dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak. “Ketiga adalah ketentuan pengkreditan pajak masukan pada masa pajak yang sama bertujuan agar faktur pajak yang dibuat melalui Coretax DJP bisa langsung ter-prepopulated ke SPT Masa PPN pada masa pajak yang sama dilakukannya transaksi,” tulis DJP, Jumat (21/2/2025). Lebih lanjut, keempat, PMK-81/2024 tidak mengatur secara eksplisit bahwa pajak masukan dalam e-Faktur hanya dapat dikreditkan pada Masa Pajak yang sama, ataupun melarang pengkreditan pajak masukan dalam e-Faktur pada masa pajak berikutnya paling lama tiga masa pajak. ” Oleh karena itu, dalam rangka mengakomodasi adanya kebutuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), aplikasi Coretax DJP telah dilakukan pembaruan sehingga pajak masukan pada e-Faktur dapat dikreditkan dengan pajak keluaran paling lama tiga masa pajak berikutnya,” tulis DJP. Kelima, DJP mengungkapkan, mengingat bahwa dalam UU PPN mengatur pengkreditan pajak masukan dalam masa pajak yang sama atau dapat dikreditkan pada 3 (tiga) masa pajak berikutnya dan dalam PMK-81/2024 tidak terdapat norma pengaturan yang secara eksplisit mengatur bahwa pajak masukan yang tercantum dalam e-Faktur hanya dapat dikreditkan pada masa pajak yang sama atau melarang pengkreditan pajak masukan pada tiga masa pajak berikutnya, maka pembaruan aplikasi Coretax DJP sebagaimana disampaikan sebelumnya, saat ini belum memerlukan perubahan PMK-81/2024. “Kami mengimbau kepada Wajib Pajak agar terus mengikuti pengumuman resmi yang dikeluarkan DJP. Beberapa guidance atau panduan terkait langkah-langkah penggunaan aplikasi Coretax DJP dapat diakses pada laman landas Direktorat Jenderal Pajak dengan tautan https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/. Apabila wajib pajak menemui kendala, silakan menghubungi kantor pajak setempat atau Kring Pajak 1500 200,” papar DJP.   Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250221112806-4-612509/djp-tegaskan-5-hal-soal-pengkreditan-pajak-masukan-pasca-coretax