PKP yang Gunakan e-Faktur ”Client Desktop”, Harus Ajukan NSFP Lewat e-Nofa

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka kembali akses aplikasi e-Faktur ”Client Desktop” untuk seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) seiring dengan proses penyempurnaan core tax. Bagi yang menggunakannya, penting diketahui bahwa permohonan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) harus diajukan melalui aplikasi e-Nofa. ”Permohonan NSFP diajukan melalui aplikasi e-Nofa (https://efaktur.pajak.go.id. PKP yang belum memiliki NSFP untuk masa pajak Januari 2025 sampai dengan sekarang, hanya dapat membuat faktur pajak dengan tanggal yang sama dengan tanggal permintaan NSFP atau setelahnya,” jelas DJP dalam pengumuman yang dirilis di laman resminya, dikutip Pajak.com, (17/2). PKP juga perlu mengetahui, NSFP pada aplikasi e-Faktur Client Desktop berbeda dengan core tax. Pada core tax, NSFP akan akan terdiri atas 17 digit dengan adanya penambahan angka 9 secara otomatis pada digit ke-5 NSFP yang ada di aplikasi e-Faktur Client Desktop. Adapun sebelum adanya core tax, NSFP terdiri dari 16 digit, meliputi 2 digit kode transaksi, 1 digit kode status, dan 13 digit nomor faktur yang ditetapkan DJP. ”PKP dapat mengunduh file PDF (Portable Document Format) faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur Client Desktop untuk selanjutnya dapat disampaikan kepada lawan transaksi. Data faktur pajak yang dibuat dari aplikasi e-Faktur Client Desktop akan tersedia di core tax paling lambat H+2 penerbitan faktur pajak,” imbuh DJP. Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti menegaskan bahwa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap dibuat melalui core tax.  ”Retur dan pembatalan faktur pajak [juga] tetap dilakukan melalui aplikasi core tax,” tambah Dwi kepada Pajak.com, (14/2). Adapun pelaporan SPT Masa PPN wajib disampaikan bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP paling lama pada akhir bulan berikutnya. Sementara, batas waktu penerbitan faktur pajak adalah tanggal 15. Ketentuan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sedangkan regulasi mengenai NSFP termaktub dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24 Tahun 2012. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/pkp-yang-gunakan-e-faktur-client-desktop-harus-ajukan-nsfp-lewat-e-nofa/

Lengkap! Aturan Bebas Pajak Karyawan Berlaku 2025

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025. PMK itu mengatur mekanisme pemberian insentif pajak penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP) untuk karyawan bergaji Rp 10 juta ke bawah di sektor usaha tertentu. Insentif itu hanya bisa dinikmati karyawan atau pegawai di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit dengan gaji atau penghasilan bruto yang diterima tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau Rp500 ribu per hari. “Dan pemberi kerja harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK ini,” dikutip dari siaran pers Ditjen Pajak Nomor SP-3/2025, Senin (17/1/2025). Insentif PPh 21 DTP sudah bisa diperoleh para pegawai industri sektor padat karya tertentu itu mulai masa pajak Januari 2025 atau masa pajak bulan pertama bekerja pada tahun 2025. Tujuan diberikannya insentif ini ialah untuk membantu daya beli para pegawai atau buruh di sektor industri padat karya itu. Serta untuk membantu konsumsi mereka di tengah kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% per Januari 2025. “Latar belakang penerbitan PMK ini adalah sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian nasional. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu,” sebagaimana tertulis dalam siaran pers Ditjen Pajak itu.   Berikut ini daftar industri atau klasfikasi lapangan usaha yang karyawannya bisa menikmati insentif PPh 21 DTP: 1. Industri Persiapan Serat Tekstil Kelompok ini mencakup usaha persiapan serat tekstil, seperti reeling (pilin/menggulung) dan pencucian serat sutera, degreasasi (penghilangan lemak) dan karbonisasi wol dan pencelupan bulu domba, termasuk proses penyusunan dan penyisiran (carding atau combing) dari serat rambut hewan serat tumbuhan, dan serat buatan (sintetis dan artifisial). 2. Industri Pemintalan Benang Kelompok ini mencakup usaha pemintalan serat menjadi benang, kecuali benang jahit. Termasuk kegiatan penteksturan, penyimpulan, pelipatan dan pencucian benang rajutan filamen sintetis dan benang artifisial (dari bubur kayu). 3. Industri Pemintalan Benang Jahit Kelompok ini mencakup usaha pembuatan benang jahit, baik dengan bahan baku serat maupun benang. Termasuk kegiatan penteksturan, penyimpulan, pelipatan dan pencucian benang jahit 4. Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) Kelompok ini mencakup usaha pertenunan, baik yang dibuat dengan alat gedogan, alat tenun bukan mesin (ATBM), alat tenun mesin (ATM) ataupun alat tenun lainnya, termasuk pembuatan sarung, kecuali industri kain tenun ikat. Usaha pertenunan karung goni dan karung lainnya dimasukkan dalam kelompok 13925, 13926, 13929. 5. Industri Kain Tenun Ikat Kelompok ini mencakup usaha pembuatan kain tenun ikat dan usaha pewarnaan benang dengan cara mengikat terlebih dahulu. 6. Industri Bulu Tiruan Tenunan Kelompok ini mencakup usaha pembuatan bulu tiruan dengan penenunan. 7. Industri Penyempurnaan Benang Kelompok ini mencakup usaha pengelantangan, pencelupan dan penyempurnaan lainnya untuk benang maupun benang jahit. 8. Industri Penyempurnaan Kain Kelompok ini mencakup usaha pengelantangan, pencelupan dan penyempurnaan lainnya untuk kain. 9. Industri Pencetakan Kain Kelompok ini mencakup usaha pencetakan kain dengan media perantara seperti kasa dan sebagainya, termasuk juga pencetakan kain motif […]

Peraturan Pemeriksaan Pajak Dilebur Jadi 1 PMK

Kementerian Keuangan mengatur kembali ketentuan pemeriksaan pajak melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025. Ketentuan perihal pemeriksaan pajak sebelumnya tersebar pada 3 PMK. Pertama, PMK 17/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Kedua, PMK 256/2014 tentang tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga, Pasal 105 PMK 18/2021 tentang tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kini, ketentuan dalam ketiga beleid tersebut diatur kembali dan dilebur menjadi 1 dalam PMK 15/2025. Untuk itu, berlakunya PMK 15/2025 mulai 14 Februari 2025 akan sekaligus mencabut ketiga PMK tersebut. Apabila disandingkan, perubahan yang paling mencolok di antaranya terkait dengan ruang lingkup, tipe pemeriksaan, dan kriteria pemeriksaan. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan kini dilakukan dengan 3 tipe pemeriksaan, yaitu: lengkap, terfokus, dan spesifik. Ketiga tipe pemeriksaan tersebut belum diatur dalam beleid terdahulu. Selain itu, kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain juga mengalami perubahan. Sebelumnya, hanya ada 12 kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain. Kini, PMK 15/2025 memperluas kriteria tindakan yang dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain menjadi 25 jenis. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya dilakukan untuk pengujian fasilitas perpajakan yang telah diberikan. Selain PMK 15/2025, ada pula ulasan mengenai kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan daya beli, termasuk di dalamnya pemberian insentif pajak. Kemudian, ada juga bahasan terkait dengan dampak pajak minimum global bagi Indonesia. Ada Aturan Pembahasan Temuan Sementara dalam Pemeriksaan Pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan peraturan baru, yaitu PMK 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak. Dalam PMK tersebut, salah satu ketentuan yang diatur ialah mengenai pembahasan temuan sementara. Pembahasan temuan sementara merupakan tahapan pemeriksaan yang wajib dilaksanakan pemeriksa pajak saat melakukan pemeriksaan. Namun, kewajiban ini dikecualikan apabila pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan spesifik guna menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.