Ini 2 Kelompok Wajib Pajak yang Boleh Membayar Pajak dalam Dolar AS

PMK 81/2024 mengizinkan wajib pajak tertentu untuk membayar dan menyetor pajak menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Sesuai Pasal 106 ayat (1) PMK 81/2024, pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dalam rupiah. Oleh karena itu, wajib pajak wajib menggunakan rupiah untuk pembayaran dan penyetoran pajaknya. “Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 wajib dilakukan dalam rupiah,” bunyi Pasal 106 ayat (1) PMK 81/2024, dikutip pada Kamis (21 Agustus 2025). Namun, ada dua kelompok wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban ini. Pertama, wajib pajak yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan Dolar AS melalui permohonan atau pemberitahuan tertulis. Simak Wajib Pajak Ini: Mereka Bisa Membukukan dalam Bahasa Inggris dan Dolar AS Setelah mendapatkan izin, wajib pajak wajib membayar pajaknya dalam dolar AS. Khususnya, dolar AS wajib digunakan untuk pembayaran: 1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25; 2. Pajak Penghasilan Pasal 29; 3. Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPKBT), berbagai keputusan Dirjen Pajak, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali yang mengakibatkan peningkatan jumlah pajak yang masih terutang, yang diterbitkan dalam dolar AS; dan 4. Setoran pajak. Kedua, wajib pajak yang ditetapkan sebagai pihak lain yang: (i) berdomisili atau berkedudukan di luar daerah pabean; dan (ii) memilih untuk memenuhi kewajiban pembayaran dan pelaporan PPN PMSE dalam dolar AS. Sesuai pilihannya, wajib menyetorkan PPN PMSE yang dipungut dalam dolar AS. Sementara itu, pembayaran pajak dalam dolar AS ke kas negara dilakukan melalui bank persepsi devisa atau lembaga persepsi devisa lainnya.

Aspek Perpajakan Influencer di Indonesia

Objek Pajak Penghasilan Secara umum, influencer memperoleh penghasilan dari dua sumber: melalui platform dan dari sumber di luar platform. Penghasilan berbasis platform meliputi AdSense, donasi/hadiah dari pengikut, dan konten eksklusif berbayar. Sementara itu, penghasilan di luar platform meliputi dukungan, komisi afiliasi, penjualan merchandise, dan bertindak sebagai duta merek. Dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh) Indonesia, segala bentuk penghasilan dikenakan pajak, sepanjang tidak dikecualikan dari peraturan perpajakan. Oleh karena itu, berbagai jenis penghasilan influencer juga dikenakan PPh. Dalam profesinya, influencer dapat beroperasi secara mandiri sebagai wajib pajak orang pribadi atau bergabung dengan suatu agensi. Beberapa influencer juga dapat mendirikan perusahaan atau badan hukum lainnya. Ketentuan Pajak Penghasilan untuk Penghasilan Influencer Penghasilan Bruto dalam Satu Tahun di Bawah Rp4,8 Miliar Dalam konteks pajak penghasilan, influencer umumnya termasuk dalam kategori pekerja lepas. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan No. 168/2023, pekerjaan lepas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan keahlian khusus untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat hubungan kerja. Sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan lepas, influencer dapat menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPPN) untuk menghitung penghasilan netonya. Pada dasarnya, NPPN dimaksudkan untuk menyederhanakan perhitungan penghasilan neto, sehingga tidak perlu lagi perhitungan biaya yang terperinci. Dengan demikian, penghasilan bersih seorang influencer dihitung dengan mengalikan persentase NPPN sebesar 50% dengan omzet kotor influencer pada tahun tertentu. Penghasilan Bruto Tahunan di atas Rp4,8 miliar Apabila influencer memiliki penghasilan bruto melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak atau memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: (i) pembukuan wajib; (ii) pajak penghasilan dihitung dengan mekanisme umum. Pemotongan PPh oleh Pihak Ketiga Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Influencer sebagai Non-Karyawan Jika seorang influencer bekerja sama dengan perusahaan yang bertindak sebagai pemotong pajak, mereka akan dikenakan PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 ini dipungut berdasarkan skema perpajakan untuk wajib pajak orang pribadi non-karyawan. Berdasarkan Pasal 1 angka 12 PMK 168/2023, Wajib Pajak Orang Pribadi Bukan Karyawan adalah orang pribadi selain karyawan tetap atau karyawan tidak tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa bebas yang dilakukan atas perintah atau permintaan pemberi penghasilan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) huruf b PMK 168/2023, Wajib Pajak Orang Pribadi Bukan Karyawan meliputi musisi, presenter, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, model foto, model fesyen, aktor, penari, pematung, pelukis, kreator konten media daring (influencer, selebritas Instagram, blogger, vlogger, dan sejenisnya), dan seniman lainnya. Secara ringkas, PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada bukan pegawai dipotong dengan rumus: tarif Pasal 17 x (50% x Penghasilan Bruto). Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan dalam Bentuk Barang dan/atau Manfaat Saat bekerja sama dengan influencer, merek atau perusahaan terkadang memberikan imbalan dalam bentuk barang. Dalam situasi ini, imbalan dalam bentuk barang tersebut dapat dikategorikan sebagai imbalan dalam bentuk barang. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 ayat (1) PMK 66/2023, yang menyatakan bahwa imbalan atau kompensasi dalam bentuk barang dikenakan Pajak Penghasilan. Imbalan dalam bentuk barang tersebut dikenakan Pajak Penghasilan jika diberikan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa. Perlu diketahui bahwa kompensasi […]

Pemerintah Gunakan Coretax untuk Memetakan Wajib Pajak yang Wajib Ditindak

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menekankan bahwa pemerintah mengandalkan Coretax untuk mencapai target penerimaan dan kepatuhan pajak tahun 2026. Berkat Coretax yang telah diimplementasikan sejak 1 Januari 2025, pemerintah telah memetakan daftar wajib pajak yang wajib ditindak. Anggito menyampaikan hal ini dalam acara Bincang-bincang Khusus Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang disiarkan di sebuah stasiun televisi nasional dan dipandu oleh Chairman CT Corp, Chairul Tanjung. “Coretax yang telah kami investasikan selama setahun terakhir akan meningkatkan kepatuhan. Jadi, kami sekarang tahu wajib pajak mana yang bisa kami tindak dan mana yang patuh. Kami sekarang dapat menentukan tingkat kepatuhan mereka,” ujar Anggito. Anggito optimistis Coretax dapat menjadi alat yang dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan berdampak positif pada optimalisasi penerimaan pajak. Pada kesempatan terpisah, Robert Pakpahan, salah satu arsitek pengembangan Coretax, Direktur Jenderal Pajak periode 2017-2019 dan Penasihat Senior TaxPrime, juga menyatakan bahwa sistem manajemen utama yang sedang dikembangkan untuk menjadi tulang punggung Coretax adalah Manajemen Risiko Kepatuhan (CRM). Sistem ini akan memanfaatkan semua informasi yang tersedia dan mengkategorikan wajib pajak ke dalam risiko tinggi, sedang, dan rendah, sehingga menciptakan keadilan yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan. “Coretax mengidentifikasi wajib pajak yang tidak patuh. Dengan proses bisnis yang saling terhubung, semua data terkumpul, dan pemrosesan data menjadi lebih akurat. CRM membantu petugas memilah siapa yang sebenarnya membutuhkan pengawasan lebih spesifik. Intinya, CRM membantu petugas mengidentifikasi wajib pajak dengan informasi yang tersedia, dan berkata, ‘Oh, ini yang perlu diperiksa.’ Jadi, lebih akurat, efisien, dan yang terpenting, mengurangi intervensi manusia,” ujar Robert Pakpahan kepada Pajak.com di Ruang Rapat Utama Kantor TaxPrime, Menara Caraka, kawasan Mega Kuningan, beberapa waktu lalu. Robert juga mengingatkan bahwa Coretax dirancang untuk dapat mengintegrasikan 21 proses bisnis, meliputi pendaftaran, pelayanan, pengawasan atau ekstensifikasi daerah, pengelolaan Surat Pemberitahuan Tahunan/Masa Pajak (SPT), pembayaran, pengelolaan data pihak ketiga, pertukaran informasi (EoI), penagihan, pengelolaan wajib pajak atau pengelolaan akun pajak (TAM), pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, CRM, intelijen bisnis, sistem manajemen dokumen, manajemen mutu data, keberatan dan banding, nonkeberatan, pengawasan, penilaian, layanan edukasi, dan manajemen pengetahuan.

PER-6/PJ/2025 Direvisi Meski Baru Berlaku Tiga Bulan Lihat Perubahannya

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merevisi beberapa ketentuan terkait pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (restitusi dipercepat) dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-6/PJ/2025, meskipun belum berlaku selama tiga bulan. Hal ini menjadi sorotan media nasional hari ini, Kamis (21 Agustus 2025). Revisi PER-6/PJ/2025 tersebut diimplementasikan melalui PER-16/PJ/2025 yang mulai berlaku pada 13 Agustus 2025. Revisi ini dilakukan untuk mengakomodasi penyesuaian ketentuan restitusi dipercepat yang belum tercantum dalam PER-6/PJ/2025. Bahwa… PER-6/PJ/2025… belum mengakomodasi kebutuhan penyesuaian… dan oleh karena itu perlu diubah,” demikian bunyi pertimbangan dalam PER-16/PJ/2025. Salah satu poin yang direvisi adalah ketentuan rinci tentang Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak. Revisi ini dilakukan melalui penambahan Pasal 6 ayat (2a) PER-16/PJ/2025 dan Pasal 7 ayat (4a) PER-16/PJ/2025. Mengacu pada kedua pasal baru ini, Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan tercantum dalam: 1. Faktur pajak yang: (i) telah diunggah ke dalam sistem administrasi DJP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan faktur pajak; (ii) telah mendapat persetujuan dari DJP; dan (iii) telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) PKP yang menerbitkan faktur pajak; 2. Dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak yang: (i) telah diterbitkan oleh PKP sesuai ketentuan; (ii) telah divalidasi dalam sistem administrasi DJP; dan (iii) telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) PKP yang menerbitkan dokumen tertentu; 3. Dokumen pemberitahuan pabean impor untuk impor, dengan ketentuan telah dipertukarkan secara elektronik dengan DJP; 4. Dokumen pemberitahuan pabean impor yang diunggah oleh Wajib Pajak pemohon, dengan ketentuan mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN); 5. Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak (SPPBMCP) yang berkaitan dengan impor barang, dengan ketentuan: (i) memuat NTPN; (ii) terdapat dalam sistem informasi pelayanan DJBC; (iii) dipertukarkan secara elektronik dengan DJBC; dan (iv) dibayar oleh wajib pajak pemohon melalui penyelenggara pos. Perlu diketahui bahwa Pajak Masukan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ini adalah Pajak Masukan yang dikreditkan oleh: (i) Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu; (ii) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu; (iii) Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah; dan Perusahaan Perseroan (Persero) Perseroan Terbatas (Persero) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) sebagai PKP berisiko rendah.

Coretax dan CEISA akan Terintegrasi di 2026

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.692,0 triliun, meningkat 12,8 persen. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah akan mengintegrasikan Coretax dan CEISA sebagai strategi utama dalam mencapai target pajak tersebut. Ia menekankan bahwa transaksi perpajakan dan kepabeanan harus diselaraskan untuk memastikan kepatuhan baik wajib pajak maupun wajib pajak. Seperti diketahui, Coretax merupakan sistem administrasi perpajakan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan diimplementasikan mulai 1 Januari 2025. Sementara itu, Sistem Informasi Kepabeanan-Cukai (CEISA) merupakan sistem administrasi kepabeanan dan cukai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sejak sekitar tahun 2018. Selain berfungsi sebagai sistem administrasi, Coretax dan CEISA juga digunakan sebagai sistem pemantauan perpajakan. “Kita tahun depan tidak menaikan tarif pajak. Kita sekarang sedang mulai memikirkan bagaimana menyinergikan antara penerimaan pajak dan kepabeanan. Transaksi pajak setiap hari itu jutaan, transaksi kepabeanan juga tiap hari jutaan. Itu harus klop. Dengan adanya Coretax dan sistem BC [DJBC] ada CEISA ini akan lebih cepat kita connect-kan, untuk kita pastikan kepatuhan-kepatuhan mereka,” ungkap Suahasil dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun televisi nasional Dengan mengintegrasikan Coretax dan CEISA, Suahasil optimistis DJP dan DJBC mampu mengidentifikasi pelaku usaha yang belum mematuhi aturan perpajakan karena selama ini masih berada di luar sistem. Dengan begitu, pemerintah dapat memperluas basis perpajakan untuk meningkatkan tax ratio. “Istilahnya, mereka yang masih di luar kelas, kita masukan ke dalam kelas. Jadi, yang perlu digarisbawahi, kita tidak menaikkan tarif [di 2026]. Saya mengetahui di satu – dua hari ke belakang banyak yang mengusulkan kenaikan tarif pajak ini, mengenakan pajak itu. Makanya, pendekatan kita adalah memudahkan Wajib Pajak dan Wajib Bayar dalam mengakses sistem administrasi pajak maupun kepabeanan,” jelas Suahasil. Ia pun menegaskan, strategi pemerintah dalam mengejar target penerimaan perpajakan dilakukan demi membiayai berbagai program prioritas untuk masyarakat. Suahasil mengingatkan pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2026 dan Nota Keuangan, yang menegaskan bahwa anggaran negara harus menjadi instrumen utama untuk memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan layanan publik terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia. Prabowo menjabarkan delapan agenda prioritas yang akan didanai oleh APBN 2026, meliputi Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), subsidi dan kompensasi energi, serta revitalisasi sekolah dan rumah sakit. “Penerima manfaat dari APBN, baik itu belanja pusat maupun transfer ke daerah, ada di seluruh Indonesia. Jadi, APBN ini bekerja dan menyelenggarakan pembangunan di seluruh Indonesia,” ujar Suahasil. APBN yang dikelola pemerintah pusat maupun daerah diarahkan untuk pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Suahasil menyebut, APBN 2026 memberikan manfaat nyata untuk menciptakan lapangan kerja, memperkuat daya beli, dan meningkatkan kualitas layanan publik. “Kita membangun bangsa ini bersama-sama, masyarakat, dunia usaha, pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan seluruh elemen masyarakat,” pungkas Suahasil.

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Imbau Wajib Pajak Segera Pindahkan Setoran ke Coretax

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga (KPP Pratama) mengimbau Badan Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Banjarnegara untuk segera memindahkan dana tersebut. Imbauan ini disampaikan oleh Muhammad Shodiq, Kepala Seksi Pengawasan II Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga, saat berkunjung ke kantor BPPKAD pada 9 Juli 2025. Dalam kunjungan tersebut, petugas pajak bertemu dengan Kepala BPPKAD Kabupaten Banjarnegara, Aditya Agus Satria. “Kunjungan ini dilakukan terkait dengan imbauan untuk memindahkan setoran ke Kode Rekening Pajak (KAP)/Kode Jenis Setoran (KJS),” jelas Shodiq, seperti dikutip dari situs web DJP, Selasa (19/8/2025). Terkait pembayaran pajak yang belum dipindahbukukan, lanjut Shodiq, BPPKAD sebagai instansi pemerintah diimbau untuk segera memindahkan setoran tersebut dengan menyampaikan draft SPT. “Kami siap membantu bendahara pencairan jika diperlukan, memberikan pendampingan terhadap hak dan kewajiban perpajakan BPPKAD dan instansi pemerintah di bawahnya,” ujarnya. Sementara itu, Aditya menegaskan bahwa ia dan jajarannya berkomitmen untuk terus bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) Purbalingga. Ia juga siap memenuhi hak dan kewajiban perpajakan mereka sesuai ketentuan yang berlaku. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga telah mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan pembayaran pajak melalui penyetoran pajak ke SPT. DJP mewajibkan agar pembayaran pajak melalui penyetoran tidak menggugurkan kewajiban SPT. Jika wajib pajak telah menyetor pajak tetapi tidak menyampaikan SPT, wajib pajak dapat dikenakan sanksi mulai dari denda hingga peringatan. “Wajib pajak masih dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda keterlambatan pelaporan, penerbitan surat teguran, dan tindakan administratif lainnya sebagai bagian dari upaya pengawasan kepatuhan perpajakan,” tulis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam pengumuman tersebut. Selanjutnya, pembayaran pajak melalui setoran juga harus ditransfer ke Kode Rekening Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang sesuai. Sebagai informasi, setoran pajak merupakan fitur baru yang dapat dimanfaatkan wajib pajak dengan penerapan sistem Coretax. Menurut PMK 81/2024, setoran pajak adalah pembayaran pajak yang belum mengacu pada suatu kewajiban perpajakan tertentu. Wajib pajak dapat melakukan penyetoran pajak dengan tiga cara: melalui Sistem Penerimaan Negara Elektronik (SPN), melalui transfer, atau dengan meminta sisa kelebihan pembayaran pajak setelah dikurangi utang pajak. Dengan menggunakan setoran pajak, wajib pajak dapat terhindar dari denda bunga yang timbul akibat keterlambatan pembayaran, karena tanggal penyetoran dianggap sebagai tanggal pembayaran pajak.

Ketentuan Tarif dan Karakteristik Barang Kena Cukai

Peraturan terkait cukai diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU Cukai). Cukai merupakan salah satu jenis consumption tax yaitu pajak kenikmatan atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu yang merupakan pungutan pajak atas eksternalitas negatif dan beban pungutan pajaknya merupakan bentuk kompensasi (earmarking). Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU Cukai. Adapun karakteristik barang tertentu menurut UU Cukai meliputi: konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat/lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Mengacu pada penjelasan atas “pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan” yaitu pungutan cukai dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan sebagai barang mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok, sehingga tetap terjaga keseimbangan pembebanan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Lebih lanjut, barang-barang yang memenuhi sifat/karakteristik tersebut dikenal sebagai Barang Kena Cukai. Saat ini, Indonesia memiliki tiga jenis komoditas yang dikenakan pungutan cukai, antara lain: cukai atas etil alkohol atau etanol; cukai atas minuman mengandung etil alkohol (MMEA) termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol, dan cukai hasi tembakau meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Ketentuan Tarif Barang Kena Cukai Ketentuan tarif cukai dibagi menjadi dua jenis yaitu tarif ad valorem atau tarif spesifik. Adapun yang dimaksud sebagai tarif ad valorem adalah tarif yang ditetapkan atas pungutan yang dikenakan berdasarkan pada persentase tertentu dari harga dasar barang. Sementara itu, tarif spesifik adalah tarif yang ditetapkan atas setiap satuan barang kena cukai dalam jumlah rupiah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Cukai, tarif cukai yang berlaku yakni tarif ad valorem. Adapun tarif BKC berupa hasil tembakau dikenai cukai dengan tarif paling tinggi yakni: untuk yang dibuat di Indonesia: 275% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau 57% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. untuk yang diimpor: 275% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau 57% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. Sementara itu, ketentuan BKC lainnya dapat dikenakan cukai dengan tarif paling tinggi sebesar: untuk yang dibuat di Indonesia: 1150% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau 80% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. untuk yang diimpor: 1150% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau 80% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. Lebih lanjut, tarif cukai dapat diubah dari tarif ad valorem menjadi spesifik ataupun sebaliknya. Perubahan tarif ini ditujukan untuk kepentingan penerimaan negara dan pembatasan konsumsi BKC serta memudahkan pemungutan atau pengawasan BKC.

Layanan Transfer di DJP Online Kembali Dibuka Dibuka Kembali, Fitur Terbatas

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memutuskan untuk membuka kembali layanan pembukuan elektronik (e PBK) DJP Online. Hal ini menjadi sorotan media hari ini, Rabu (20 Agustus 2025). Meskipun telah dibuka kembali, fitur dan layanan yang tersedia pada e-PBK DJP Online masih terbatas. Layanan e-PBK DJP Online hanya melayani pemisahan pembayaran PPh final atas penjualan tanah dan bangunan (Kode Rekening Pajak/KAP 411128 dan Kode Jenis Pembayaran/KJS 402). Data pembayaran yang dapat diajukan untuk transfer melalui kanal e-PBK hanya untuk KAP411128 dan KJS-402, demikian informasi yang tertera pada jendela pop-up fitur e-PBK di DJP Online. Secara rinci, transfer yang dapat diajukan melalui e-PBK DJP Online adalah transaksi yang memenuhi empat persyaratan. Pertama, pembayaran (NTPN atau Pbk) untuk kode billing yang diterbitkan sebelum 1 Januari 2025, yaitu KAP-411128 dan KJS-402. Kedua, identitas pemohon dan penerima harus sama dengan NPWP yang sama. Ketiga, masa dan tahun pajak harus sama. Keempat, KAP-KJS asal dan tujuan harus sama, yaitu KAP 41128 dan KJS 402. Pembukaan kembali layanan e-PBK ini ditujukan bagi pengembang yang perlu melakukan pemisahan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Umumnya, pemisahan NOP dilakukan sebelum pengembang mengajukan permohonan surat keterangan pengesahan SSP PPhTB. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga telah memperbarui fitur e-Pbk di DJP Online ke versi 3.0. Pada versi 3.0, layanan ini telah mengubah proses aplikasinya menjadi otomatis penuh. Proses otomatis ini memungkinkan wajib pajak untuk segera mendapatkan produk hukum untuk aplikasi pembukuan setelah proses validasi data aplikasi selesai. DJP juga telah mengubah tampilan fitur e-Pbk agar sesuai dengan proses aplikasi yang baru. Fitur e-Pbk DJP Online kini hanya terdiri dari dua menu: Dasbor dan Aplikasi. Menu Pemantauan telah dihapus karena keputusan aplikasi pembukuan dalam konteks ini dibuat secara otomatis. Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memindahkan kanal pengajuan transfer ke coretax. Selain perubahan kanal, ketentuan transfer juga mengalami perubahan signifikan. Salah satu perubahan ini berkaitan dengan cakupan alasan yang dapat diajukan untuk transfer. Perubahan alasan ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan 81/2024. Selain informasi mengenai layanan e-PBK DJP Online, beberapa topik lain juga diliput oleh media nasional hari ini. Topik-topik tersebut antara lain kontroversi yang masih berlangsung seputar kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di beberapa daerah, fokus pemerintah dalam menangani ekonomi bayangan, dan desakan penerapan pajak karbon.

Lapor Pajak Tahunan Wajib Memiliki Sertifikat Digital

Untuk mendukung digitalisasi layanan perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengembangkan sistem administrasi berbasis teknologi yang disebut Sistem Administrasi Coretax (CTAS), atau yang lebih dikenal dengan Coretax. Salah satu elemen kunci dari sistem ini adalah Sertifikat Digital, yang digunakan untuk menjamin keamanan dan validitas transaksi perpajakan daring. Mulai tahun 2026, penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) hanya dapat dilakukan melalui sistem Coretax, dan wajib pajak diwajibkan memiliki Sertifikat Digital (kode otorisasi) untuk mengakses dan menyampaikan SPT. Sertifikat Digital atau Kode Otorisasi (KO) adalah dokumen elektronik yang memuat identitas wajib pajak dan digunakan untuk tanda tangan elektronik serta akses ke layanan perpajakan daring, seperti pelaporan SPT dan layanan administrasi perpajakan lainnya. Sertifikat ini diterbitkan oleh DJP melalui Otoritas Sertifikat Digital Perpajakan (OSDP) dan memiliki kekuatan hukum yang diakui secara nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta perubahannya. “Selain sertifikat digital yang diterbitkan oleh DJP (KO DJP), wajib pajak juga dapat mendaftarkan sendiri sertifikat digital pihak ketiga yang dimilikinya melalui portal Coretax, selama memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan.” Hal tersebut disampaikan juga dalam sosialisasi yang dilakukan oleh Kanwil DJP Jakarta Selatan II kepada Pegawai di Lingkungan Poltekkes Jakarta II. Fungsi Sertifikat Digital dalam Sistem Coretax: untuk memverifikasi identitas wajib pajak atau kuasa wajib pajak saat mengakses layanan dalam sistem Coretax. Sertifikat ini memungkinkan pembubuhan tanda tangan elektronik yang sah dan mengikat secara hukum untuk dokumen perpajakan. Menjamin integritas, otentikasi, dan kerahasiaan data perpajakan yang dikirimkan melalui sistem online. Menghilangkan kebutuhan tanda tangan basah dan pengiriman dokumen fisik, sehingga mempercepat dan menyederhanakan proses pelaporan. Langkah-Langkah Mendapatkan Sertifikat Digital DJP: Login ke sistem Coretax. Buka menu “Portal Saya” dan pilih “Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik”. Verifikasi identitas (NIK, NPWP, email aktif, dan nomor handphone). Pilih jenis sertifikat digital yang akan digunakan. Klik “Simpan”, dan sistem akan secara otomatis mendaftarkan sertifikat elektronik. Kewajiban memiliki sertifikat digital berlaku bagi: Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan administrasi perpajakan sendiri. Wajib Pajak Badan, melalui pengurus atau pihak yang diberi kuasa. Kuasa Wajib Pajak, seperti konsultan atau pihak yang melakukan tindakan administratif atas nama wajib pajak (impersonate). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau wajib pajak untuk segera mendaftarkan sertifikat digitalnya. Sistem Coretax telah diterapkan secara luas sejak awal tahun 2025, dan sertifikat digital merupakan syarat mutlak pelaporan pajak tahun 2025 yang akan disampaikan pada tahun 2026. Transformasi digital perpajakan melalui sistem Coretax membutuhkan kesiapan dan partisipasi aktif dari seluruh wajib pajak. Kewajiban memiliki sertifikat digital mulai tahun 2026 bukan sekadar perubahan teknis, melainkan langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan transparansi administrasi perpajakan di Indonesia. Wajib pajak diimbau untuk segera mendaftarkan sertifikat digitalnya sebelum akhir tahun 2025, agar proses pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dapat terlaksana dengan lancar, cepat, dan sesuai ketentuan yang berlaku.

Tarif PPN 12% Tetap Berlaku untuk Barang Mewah pada 2026

Tarif PPN 12% akan tetap berlaku untuk penyerahan barang mewah tahun depan. Untuk barang non-mewah, tarifnya tetap 11% karena menggunakan basis pajak yang berbeda. Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa tidak akan ada perubahan kebijakan tarif PPN tahun depan. Dengan demikian, ketentuan PPN 12% untuk barang mewah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 131/2024 tetap berlaku. “Kebijakan yang diumumkan sebelumnya [untuk 2026] menyatakan tidak akan ada perubahan kebijakan [PPN],” ujarnya, seperti dikutip Minggu (17 Agustus 2025). Sebagai catatan, kenaikan tarif PPN menjadi 12% diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa tarif tersebut akan berlaku paling lambat tahun 2025. Namun, tarif 12% tampaknya hanya berlaku untuk penyerahan barang mewah. Berdasarkan PMK 131/2024, barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atau yang tergolong barang mewah dikenakan tarif sebesar 12% dari harga jual atau nilai impor. Sementara itu, barang mewah meliputi kendaraan bermotor seperti mobil, sepeda motor, dan kendaraan listrik. Barang mewah juga mencakup hunian mewah, balon udara, senjata api, pesawat terbang, dan kapal pesiar. Lebih lanjut, barang atau jasa non-mewah dikenakan tarif sebesar 12% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau nilai lain yang setara dengan 1 1/12 dari harga jual, nilai penggantian, atau nilai impor. Dengan demikian, tarif PPN tetap sebesar 11%. Seluruh ketentuan mengenai tarif PPN dalam PMK 131/2024 berlaku efektif per 1 Januari 2025. Oleh karena itu, kebijakan ini akan tetap berlaku hingga ada perubahan peraturan lebih lanjut.