Sri Mulyani Buka Suara Soal Coretax

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan banyak pihak yang mengeluh soal layanan sistem pajak terbaru, Coretax System. Ia menegaskan pihaknya akan terus meningkatkan kemampuan sistem teranyar itu. “Saya tahu beberapa dari Anda masih mengeluh tentang Cortax. Kami akan terus memperbaikinya,” ujar Sri Mulyani dalam Mandiri Investment Forum, Selasa (11/2/2025). Ia pun mengatakan untuk membangun sistem serumit Coretax dengan lebih dari 8 miliar transaksi tidaklah mudah. “Tapi ini bukanlah alasan. Saya hanya sampaikan saja bahwa kami akan terus berbenah agar Indonesia memiliki sistem pemungutan pajak yang terdigitalisasi,lebih handal dalam pencatatannya dan juga memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk mematuhi peraturan perundang-undangan.” ujar Sri Mulyani. Ia pun mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo menginstruksikan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi pajak. “Terutama dalam mengatasi persoalan kebocoran, penghindaran pajak, penghindaran pajak,” ujarnya. Penerapan sistem administrasi perpajakan atau Coretax membuat banyak pengusaha khawatir akan sistemnya yang eror belakangan ini. Padahal, jatuh tempo atau tenggat pembayaran pajak tinggal sedikit lagi yakni 15 Februari 2025. Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Penguasaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa Coretax sejatinya sudah cukup bagus, tetapi proses penerapannya sangat cepat, sehingga banyak pengusaha yang belum siap. “Sebenarnya Coretax bagus banget, cuman prosesnya kemarin itu kan agak cepat ya jadi banyak pelaku yang tidak siap dan juga banyak yang tidak bisa mengeluarkan faktur pajak dan mempengaruhi dari segi operasional perusahaan,” kata Shinta. Shinta menambahkan bahwa pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Apindo saat ini tengah membenahi masalah tersebut. “Kami dan pemerintah bersama-sama tengah membenahi permasalahan ini, dan Ditjen Pajak juga mau sistem ini bisa jalan gitu, jadi makanya kita lagi sama-sama coba untuk membenahinya,” tambah Shinta. Shinta juga mengatakan bahwa permasalahan Coretax saat ini tidak akan mempengaruhi penerimaan negara. “Semoga tidak, saya hanya bisa jawab, semoga tidak,” ujar Shinta.   Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250211144136-4-609761/sri-mulyani-buka-suara-soal-coretax-kami-akan-perbaiki

PMK Omnibus: Tarif PPN Mobil Bekas Tetap 1,1%

Tarif PPN besaran tertentu yang berlaku atas penyerahan kendaraan bermotor bekas tetap sebesar 1,1%, tidak naik menjadi sebesar 1,2% sesuai berlaku dan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 11/2025 tentang PPN atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas. Tarif sebesar 1,1% atas penyerahan kendaraan bermotor bekas diperoleh dengan cara memasukkan 11/12 ke dalam formula PPN besaran tertentu. Tanpa formula tersebut, tarif PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas bakal naik dari 1,1% menjadi 1,2%. PMK 11/2025 diterbitkan dalam rangka mengatur ulang formula penghitungan DPP nilai lain, sehingga tarif umum PPN masih tetap sama dengan tahun sebelumnya.

Coretax Bermasalah, Lalu Setoran Pajak Awal Tahun Gimana?

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan, dampak bermasalahnya sistem coretax terhadap penerimaan pajak akan terlihat pada akhir bulan nanti. Ia mengaku masih memperhitungkan keseluruhan pelaporan pajak, misalnya pelaporan SPT masa PPN yang masih harus dilaporkan paling lambat tanggal 15 Februari, demikian juga penyetoran pajak masa lainnya yang jatuh tempo pada tanggal 15 bulan berikutnya, seperti PPh Pasal 4,15, 21, 22, 23, 25, 26, pajak penjualan, PPN kms, bea meterai yang dipungut, sampai pajak karbon yang dipungut. “Karena yang Januari lapornya di bulan Februari kan, seperti PPh, PPN kan lapornya di Januari. Nanti kita lihat ya, tanggal 15, tanggal akhir bulan Februari nanti kami coba lihat ya kira-kira pergerakannya,” kata Suryo seusai rapat dengar pendapat tentang coretax dengan Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (10/2/2025). Komisi XI DPR dan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebelumnya telah menyelesaikan rapat dengar pendapat terkait permasalahan sistem coretax yang kerap muncul sejak diimplementasikan ke publik sejak 1 Januari 2025. Hasil dari rapat selama 4 jam itu menghasilkan desakan dari para anggota Komisi XI DPR supaya sistem coretax ditunda implementasinya sampai perbaikan sistemnya selesai, selain itu supaya sistem yang lama, yakni DJP Online bisa digunakan untuk keperluan administrasi pajak para wajib pajak. “Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama, sebagai antisipasi dalam mitigasi implementasi Coretax yang masih terus disempurnakan agar tidak mengganggu kolektivitas penerimaan pajak,” kata Ketua Komisi XI DPR Misbakhun seusai rapat yang digelar sejak pukul 10.25 WIB sampai 14.50, Senin (10/2/2025). Misbakhun mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak dalam rapat itu juga telah diminta para anggota dewan untuk menyiapkan roadmap implementasi coretax berbasis resiko yang paling rendah dan mempermudah Pelayanan terhadap Wajib Pajak. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan juga telah diminta untuk tidak mengenakan sanksi terhadap Wajib Pajak yang diakibatkan oleh gangguan penerapan sistem Coretax pada tahun 2025. “Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dalam rangka penyempurnaan sistem Coretax wajib memperkuat Cyber Security,” tuturnya. Misbakhun menekankan, pihaknya dalam rapat itu juga telah meminta Direktorat Jenderal Pajak melaporkan perkembangan sistem Coretax kepada Komisi XI DPR RI secara berkala. “Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan dan tanggapan Pimpinan dan Anggota Komisi XI DPR RI paling lama tujuh hari kerja,” ungkap Misbakhun.   Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250210172318-4-609511/coretax-bermasalah-nasib-setoran-pajak-awal-tahun-gimana

DJP Bakal Gunakan “Core Tax” dan Sistem Lama Secara Paralel untuk Jaga Penerimaan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Komisi XI DPR meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk tetap memanfaatkan sistem perpajakan lama sebagai langkah mitigasi dalam penerapan core tax yang dilaporkan mengalami hambatan. Langkah ini diambil guna memastikan bahwa proses administrasi perpajakan tetap berjalan lancar dan tidak mengganggu penerimaan negara. Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan antara Komisi XI DPR dan DJP dalam rapat dengar pendapat pada Senin (10/2/2025) kemarin, di mana core tax akan digunakan secara bertahap dan paralel dengan sistem informasi DJP/SIDJP. “Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama, sebagai antisipasi dalam mitigasi implementasi core tax,” kata Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun dalam konferensi pers, dikutip Pajak.com pada Selasa (11/2/2025). Menurut Misbakhun, DJP juga memastikan bahwa penerapan sistem teknologi informasi (TI) apa pun tidak akan berdampak negatif terhadap kolektivitas penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025. Selain itu, DPR juga memastikan bahwa DJP tidak mengenakan sanksi bagi Wajib Pajak jika terjadi gangguan akibat penerapan sistem core tax pada tahun 2025. Langkah ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan kenyamanan bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. “Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan tidak mengenakan sanksi terhadap Wajib Pajak yang diakibatkan oleh gangguan penerapan sistem core tax pada tahun 2025,” imbuhnya. Sebagai bagian dari transparansi dan pengawasan, DPR meminta DJP untuk melaporkan perkembangan implementasi core tax kepada Komisi XI secara berkala. Dengan demikian, DPR dapat memastikan bahwa sistem ini benar-benar siap sebelum sepenuhnya menggantikan sistem lama. Kesepakatan ini menjadi langkah strategis dalam reformasi administrasi perpajakan di Indonesia. Dengan penggunaan sistem baru dan lama secara paralel, diharapkan proses transisi berjalan lebih lancar tanpa menghambat kinerja penerimaan pajak nasional. Sebelumnya, Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky menilai, perbaikan sistem perpajakan seperti core tax sangat penting dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Menurutnya, langkah ini dapat meningkatkan efisiensi administrasi pajak serta memperkuat kepatuhan Wajib Pajak. Pernyataan tersebut disampaikan Riefky untuk merespons berbagai kendala teknis dalam implementasi core tax yang mulai diterapkan DJP sejak 1 Januari 2025 ini. Sejumlah Wajib Pajak mengeluhkan gangguan sistem, waktu respons yang lambat, serta ketidaksesuaian data akibat transisi dari sistem lama ke core tax. Masalah ini berdampak pada kelancaran pelaporan pajak dan menimbulkan frustrasi di kalangan pengguna, terutama menjelang tenggat waktu pelaporan. Padahal, lanjut Riefky, jika core tax dapat berjalan optimal, sistem ini diproyeksikan mampu meningkatkan rasio pajak Indonesia hingga dua poin persentase dari 10,31 persen pada 2023, angka yang masih tergolong rendah dibandingkan negara lain di kawasan. Ia memperkirakan, peningkatan ini berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan sebesar Rp1.500 triliun dalam lima tahun ke depan. “Integrasi ini bertujuan mengurangi beban administrasi, menekan biaya kepatuhan, serta meningkatkan interaksi antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Dengan sistem yang lebih efisien, pemerintah berharap kepatuhan pajak dapat meningkat,” ujar Riefky dalam keterangan resminya, Rabu (5/2). Namun, ia menegaskan bahwa peningkatan penerimaan negara melalui digitalisasi perpajakan harus diimbangi dengan kebijakan lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-bakal-gunakan-core-tax-dan-sistem-lama-secara-paralel-untuk-jaga-penerimaan-pajak/

Peraturan Baru Terbit, Tarif PPN Emas Perhiasan Tetap 1,1% dan 1,65%

Tarif PPN besaran tertentu yang berlaku pada tahun ini atas penyerahan emas perhiasan oleh pengusaha kena pajak (PKP) pabrikan emas perhiasan dan PKP pedagang emas perhiasan tetap sama dengan yang berlaku pada tahun sebelumnya  yaitu sebesar 1,1% dan 1,65% melalui PMK 11/2025. Tarif PPN tetap 1,1% dan 1,65% dengan cara memasukkan 11/12 ke dalam formula PPN besaran tertentu atas penyerahan emas perhiasan. Secara terperinci, PPN besaran tertentu sebesar 10% dikali 11/12 dari tarif PPN dikenakan dalam hal PKP pabrikan emas perhiasan melakukan penyerahan emas perhiasan hasil produksi sendiri kepada pabrikan lainnya atau pedagang emas perhiasan. PPN besaran tertentu sebesar 15% dikali 11/12 dari tarif PPN tersebut berlaku apabila PKP pabrikan emas perhiasan melakukan penyerahan emas perhiasan hasil produksi sendiri kepada konsumen akhir. Lebih lanjut, penyerahan emas perhiasan oleh PKP pedagang emas perhiasan kepada pedagang lainnya atau konsumen akhir dikenai PPN besaran tertentu sebesar 10% dikali 11/12 dari tarif PPN bila PKP pedagang emas perhiasan memiliki faktur pajak atas perolehan atau dokumen tertentu atas impor emas perhiasan dimaksud. Jika PKP pedagang emas perhiasan tidak memiliki faktur pajak atas perolehan atau dokumen tertentu atas impor emas perhiasan dimaksud, penyerahan emas perhiasan kepada pedagang lainnya atau konsumen akhir dikenai PPN besaran tertentu sebesar 15% dikali 11/12 dari tarif PPN. Selanjutnya, dalam hal PKP pedagang emas perhiasan melakukan penyerahan emas perhiasan kepada pabrikan emas perhiasan, PPN besaran tertentu yang berlaku adalah sebesar 0% dikali 11/12 dari tarif PPN.

Sri Mulyani Resmi Berikan Insentif PPN DTP untuk Rumah Tapak dan Rusun, Ini Ketentuannya!

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun (rusun) di tahun 2025. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025, yang ditetapkan pada Selasa, 4 Februari 2025. Dalam PMK Nomor 13/2025, disebutkan bahwa untuk menjaga keberlangsungan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui stimulasi daya beli masyarakat di sektor perumahan, pemerintah telah menerapkan kebijakan insentif PPN DTP atas penyerahan rumah tapak dan rusun pada tahun 2023 dan 2024. Agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga, pemerintah kembali memberikan paket kebijakan ekonomi berupa insentif PPN DTP atas penyerahan rumah tapak dan rusun untuk tahun anggaran 2025. “Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2025,” bunyi pertimbangan sebagaimana tertuang dalam peraturan tersebut, dikutip Pajak.com pada Jumat (7/2/2025). Berdasarkan Pasal 2 PMK Nomor 13/2025, insentif PPN DTP berlaku untuk rumah tapak, termasuk rumah tinggal atau rumah deret baik bertingkat maupun tidak bertingkat, serta satuan rumah susun yang berfungsi sebagai tempat hunian. Untuk mendapatkan insentif ini, transaksi harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 3, yaitu akta jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli lunas harus ditandatangani di hadapan notaris dalam periode 1 Januari 2025 hingga 31 Desember 2025. Selain itu, penyerahan hak rumah harus dibuktikan dengan berita acara serah terima yang dilakukan dalam periode yang sama. Berita acara serah terima ini harus mencantumkan identitas lengkap penjual dan pembeli, tanggal serah terima, kode identitas rumah, serta pernyataan bermeterai bahwa rumah sudah diserahkan. Pemerintah menetapkan batas harga rumah yang dapat memperoleh insentif PPN DTP, yakni maksimal Rp5 miliar. Besaran insentif berbeda tergantung waktu serah terima. Jika serah terima dilakukan pada 1 Januari hingga 30 Juni 2025, insentif yang diberikan sebesar 100 persen dari PPN terutang untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar. Sementara itu, jika serah terima dilakukan pada 1 Juli hingga 31 Desember 2025, insentif yang diberikan sebesar 50 persen dari PPN terutang untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar. Dengan demikian, semakin cepat transaksi dilakukan, semakin besar manfaat insentif yang diperoleh. Agar memenuhi syarat insentif, rumah harus baru dan siap huni, memiliki kode identitas rumah, serta merupakan penjualan pertama dari pengembang atau Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pembayaran uang muka atau cicilan pertama harus dimulai sejak 1 Januari 2025 agar bisa mendapatkan fasilitas ini. Insentif ini hanya dapat dimanfaatkan oleh satu orang untuk satu unit rumah atau rusun, baik oleh Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Namun, jika seseorang sebelumnya sudah mendapatkan insentif PPN DTP dari kebijakan sebelumnya, ia tetap bisa memanfaatkan fasilitas ini untuk pembelian rumah yang lain. Sebaliknya, jika transaksi rumah dilakukan sebelum 1 Januari 2025 lalu dibatalkan, pembeli tidak dapat menggunakan insentif ini untuk unit yang sama. Rumah atau rusun yang sudah mendapatkan fasilitas pembebasan PPN lain dari peraturan perpajakan tidak bisa memperoleh insentif PPN DTP ini. Selain itu, pemerintah […]

Upload Bukti Potong Harus Melalui PIC Coretax, Tidak Bisa Langsung dari Akun WP Badan

Penerbitan bukti potong melalui Coretax DJP hanya bisa dilakukan melalui skema impersonate dari akun penanggung jawab (person in charge/PIC), tak bisa lewat akun wajib pajak badan secara langsung. Perlu diketahui, untuk penginputan itu hanya dapat menyimpan konsep/save draf. Terkait dengan tombol terbitkan/upload bukti potong, silakan melakukan impersonate dengan akun PIC atau signer ke akun coretax badan. PIC dalam Coretax DJP merupakan wajib pajak orang pribadi yang ditunjuk oleh wajib pajak badan untuk mewakilinya dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan. PIC sebagai penanggung jawab juga dapat memberikan tambahan role akses (jika dibutuhkan) kepada pegawai lainnya untuk membuat draf dan penandatanganan SPT. Seorang yang menjadi PIC perusahaan atau yang diberi role akses tambahan dari perusahaannya akan masuk ke Coretax DJP dari akun wajib pajak orang pribadinya melalui impersonate wajib pajak badan, bukan dari akun wajib pajak badan. Dengan PIC (impersonate) dan penambahan role akses, wajib pajak badan akan mendapat kejelasan terkait dengan siapa orang pribadinya ataupun pihak yang diberi peran untuk menandatangani ataupun melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan badan/perusahaan. Hal ini juga untuk menghindari fraud dan sesuai dengan Pasal 52 huruf b PP 71/2019 yang menyebut bahwa tanda tangan elektronik melekat pada orang pribadi atau orang perseorangan, baik dalam kedudukannya sebagai diri sendiri atau mewakili badan usaha atau instansi. Selain bahasan mengenai coretax, ada pula beberapa topik lain yang diangkat oleh media massa pada hari ini. Di antaranya, penetapan tersangka salah satu pejabat Kementerian Keuangan, efek pemangkasan anggaran, siasat DJP untuk mengingatkan wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, hingga kewaspadaan RI terhadap perang dagang.

Ini yang Perlu Dilakukan Saat Terima Surat Teguran dari Coretax

Penerbitan Surat Teguran Coretax dilakukan secara otomatis dan dikirim ke wajib pajak melalui aplikasi. Tak perlu khawatir, ini yang perlu Anda lakukan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerien Keuangan (Kemenkeu) memastikan bahwa Surat Teguran terhadap wajib pajak terbit sesuai dengan data yang ada di dalam aplikasi Coretax. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, mengatakan bahwa proses penerbitan ini didasarkan pada data administrasi perpajakan yang dimiliki DJP. “Perlu kami sampaikan bahwa penerbitan surat teguran pada aplikasi Coretax DJP dilakukan secara otomatis berdasarkan data administrasi perpajakan DJP,” kata Dwi dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan hari Selasa (4/2). Apa yang Perlu Dilakukan Jika Menerima Surat Teguran? Pihak DJP mengingatkan bahwa Surat Teguran Coretax bisa muncul jika wajib pajak memiliki tunggakan yang sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Jika menerima surat teguran ini, Anda sebagai wajib pajak tentu harus segera melakukan pemeriksaan data pajak melalui aplikasi Coretax. Apabila ada ketidakcocokan data atau surat teguran terus datang secara berulang, Anda harus segera melapor ke helpdesk DJP atau menghubungi Kring Pajak di call center 1 500 200. Jangan lupa juga untuk menyiapkan dokumen pendukung sehingga pihak DJP bisa langsung mengonfirmasi jika ada kesalahan dalam sistem. Sumber: https://regional.kontan.co.id/news/tak-perlu-khawatir-ini-yang-perlu-dilakukan-saat-terima-surat-teguran-dari-coretax

DJP Bisa Menagih PPN Atas Mobil Listrik yang Berstatus DTP

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 12/2025 mengatur sejumlah persyaratan dan kriteria pemberian insentif PPN DTP atas penyerahan mobil dan bus listrik. Dirjen pajak dapat menagih PPN yang terutang apabila pemberian insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas mobil listrik dan bus listrik tidak sesuai dengan ketentuan, sperti: apabila diperoleh data/informasi yang menunjukkan mobil atau bus listrik yang diserahkan bukan mobil atau bus listrik baru, diperoleh data/informasi yang menunjukkan mobil atau bus listrik yang diserahkan tidak memenuhi kriteria nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang ditetapkan (kriteria nilai TKDN untuk mobil listrik adalah paling rendah 40%; bus listrik paling rendah 40%; dan bus listrik paling rendah 20% sampai dengan kurang dari 40%), diperoleh data/informasi yang menunjukkan mobil atau bus listrik yang diserahkan tidak termasuk mobil dan bus listrik yang ditetapkan memenuhi kriteria nilai TKDN untuk mendapatkan PPN DTP oleh menteri perindustrian, diperoleh data/informasi yang menunjukkan masa pajak tidak sesuai dengan masa pajak Januari hingga Desember 2025. DJP juga dapat menagih PPnBM yang terutang jika diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan PKP bukan perusahaan mobil hybrid yang ditetapkan menteri perindustrian, mobil hybrid tidak ditetapkan sebagai kendaraan beremisi karbon rendah, masa penyerahan tidak sesuai, PKP tidak membuat faktur pajak, serta PKP tidak melaksanakan kewajiban pelaporan realisasi PPnBM DTP.

Kriteria Karyawan Gaji Rp10 Juta yang Dibebaskan Pajak

Pemerintah memberikan insentif pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) 21 bagi pekerja di sektor padat karya dengan gaji hingga Rp 10 juta. Insentif PPh pasal 21 DTP ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025. Jangka waktu pemberian insentif ini diberikan untuk masa pajak Januari-Desember 2025. Adapun pekerja sektor padat karya yang menerima insentif tersebut adalah industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, dan kulit dan barang dari kulit. Aturan ini juga berlaku untuk pekerja dengan kode klasifikasi lapangan usaha tertentu yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. “Pegawai tertentu yang dimaksud adalah pegawai tetap tertentu dan pegawai tidak tetap tertentu,” bunyi pasal 4 PMK Nomor 10 Tahun 2025 dikutip Senin (10/2/2025). Selain itu, insentif pajak hanya diberikan oleh pekerja dengan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur tidak lebih dari Rp 10 juta dan pekerja tidak tetap dengan penghasilan tidak lebih dari Rp 500 ribu per hari. Kebijakan ini merupakan salah satu paket stimulus ekonomi yang sudah diumumkan pemerintah sebagai upaya menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat. Pemerintah pun menegaskan kebijakan ini dirilis menjaga keberlangsungan daya beli masyarakat dan menjalankan fungsi stabilisasi ekonomi dan sosial, telah ditetapkan paket stimulus ekonomi sebagai upaya pemerintah dalam menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain dengan pemberian fasilitas fiskal berupa pajak ditanggung pemerintah. “Telah ditetapkan paket stimulus ekonomi sebagai upaya pemerintah dalam menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain dengan pemberian fasilitas fiskal berupa pajak ditanggung pemerintah,” tulis PMK Nomor 10 Tahun 2025.   Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250210063742-4-609261/cek-kriteria-karyawan-gaji-rp10-juta-yang-dibebaskan-pajak

Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu? :)