Meluasnya penggunaan setoran pajak oleh wajib pajak telah mendorong lonjakan penerimaan pajak lainnya. Pada semester I 2025, penerimaan pajak lainnya tumbuh 1.550,6%, dengan nilai realisasi mencapai Rp61,3 triliun. Yon Arsal, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, menyatakan lonjakan setoran pajak tidak mengganggu struktur penerimaan, mengingat setiap wajib pajak yang menggunakan setoran pajak telah menyampaikan rencana penggunaannya. “Saat saya menyetor, terindikasi saya [wajib pajak] akan menggunakannya untuk membayar PPh Pasal 21, PPh Pasal 25, dan PPN,” jelas Yon, seperti dikutip Sabtu (2 Agustus 2025). Tingginya pemanfaatan setoran pajak juga tidak mengganggu analisis dan penyajian struktur penerimaan, berkat keterbukaan informasi mengenai rencana penggunaan setoran oleh wajib pajak. “Jadi, untuk keperluan analisis, tidak ada masalah. Kita bisa realokasikan ke masing-masing jenis pajak. Dalam diskon Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sudah kita distribusikan ke semua jenis pajak, jadi tidak ada yang terpengaruh,” ujar Yon. Sebagai informasi, setoran pajak adalah pembayaran pajak yang belum mengacu pada kewajiban perpajakan tertentu. Setoran pajak merupakan fitur baru yang semakin diminati wajib pajak sejak penerapan Sistem Administrasi Coretax. Wajib pajak dapat menyetor pajak dengan tiga cara: melalui sistem penerimaan negara elektronik, melalui transfer, atau dengan meminta sisa kelebihan pembayaran pajak setelah dikurangi kewajiban pajak. Dengan menggunakan setoran pajak, wajib pajak dapat terhindar dari denda bunga yang timbul akibat keterlambatan pembayaran, karena tanggal penyetoran dianggap sebagai tanggal pembayaran pajak.
Penjualan Kripto Kini Dipungut PPh Pasal 22 Dengan Tarif 0,21%
Pemerintah Indonesia terus menyesuaikan regulasi perpajakan di sektor aset kripto. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 (PMK 50/2025) memberikan ketentuan yang lebih spesifik terkait PPN dan PPh atas transaksi aset kripto. Dalam peraturan ini, tarif PPh Pasal 22 final bagi penjual aset kripto telah meningkat menjadi 0,21%. Sebelumnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024) menetapkan bahwa penghasilan dari penjualan aset kripto akan dikenakan tarif sebesar 0,1% dari nilai transaksi melalui Penyelenggara Perdagangan Sistem Elektronik (PPMSE) yang merupakan Pedagang Aset Kripto Fisik (PFAK). Tarif 0,2% berlaku jika transaksi dilakukan melalui PMSE yang bukan merupakan PFAK. Mulai 1 Agustus 2025, PMK 50/2025 menetapkan tarif PPh Pasal 22 final yang lebih tinggi. Tarif untuk penjual aset kripto dalam negeri akan menjadi 0,21% dari nilai transaksi. Pajak ini akan dipungut oleh PPMSE. Jika PPMSE tidak ditunjuk sebagai pemungut pajak, pajak penghasilan wajib dibayarkan oleh penjual aset kripto sendiri. Lebih lanjut, PMK 50/2025 juga memperkenalkan tarif Pajak Penghasilan Pasal 2 sebesar 1% untuk transaksi aset kripto yang difasilitasi oleh PPMSE yang berdomisili di luar negeri. Pajak ini bersifat final dan tidak dapat dikreditkan. Lebih lanjut, perlakuan pajak penghasilan bagi penambang aset kripto juga telah berubah. Sebelumnya, penghasilan penambang kripto (seperti imbalan blok atau biaya transaksi) dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat final sebesar 0,1% dari penghasilan yang diterima atau diperoleh, dan wajib dilaporkan sendiri. Mulai tahun pajak 2026, sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) PMK 50/2025, penambang aset kripto akan dikenakan pajak penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. Artinya, penghasilan ini akan dilaporkan dan dihitung dalam SPT Tahunan penambang kripto. Sementara itu, perlakuan pajak penghasilan bagi PPMSE tetap sama dengan PMK 81/2024. Penghasilan yang diterima dari penyediaan sarana elektronik (seperti komisi atau biaya jasa) tetap dikenakan pajak penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dilaporkan oleh PPMSE.
Membeli Perangkat Lunak dari Luar Negeri, Wajib Memungut Pajak Royalti?
Pusat Kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, menyatakan bahwa pembelian perangkat lunak tanpa lisensi (termasuk royalti) dari luar negeri tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 26. Pernyataan ini disampaikan Kring Pajak menanggapi twit seorang netizen yang menanyakan ketentuan PPh atas pembelian perangkat lunak dari luar negeri. Namun, jika lisensi diberikan, maka akan dikenakan PPh. Selama pembelian perangkat lunak tanpa lisensi (termasuk royalti), tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 26. Sebagai informasi, PPN terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean wajib dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tersebut. Perlu diketahui, royalti merupakan salah satu objek pajak penghasilan. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan, royalti adalah sejumlah uang yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas: Penggunaan atau hak untuk menggunakan hak cipta di bidang sastra, seni, atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, rumus atau proses yang dirahasiakan, merek dagang, atau bentuk lain dari hak kekayaan intelektual/industri atau hak yang sejenis. Penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan/perlengkapan industri, komersial, atau ilmiah. Penyediaan pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknis, industri, atau komersial. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak untuk melaksanakan hak-hak yang disebutkan pada bagian pertama, kedua, dan ketiga, berupa: menerima atau hak untuk menerima rekaman gambar atau rekaman suara, atau keduanya, yang didistribusikan kepada publik melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi serupa; penggunaan atau hak untuk menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara, atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/ditransmisikan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi serupa; penggunaan atau hak untuk menggunakan sebagian atau seluruh spektrum komunikasi radio. Penggunaan atau hak untuk menggunakan film gambar bergerak, film, atau kaset video untuk siaran televisi, atau kaset suara untuk siaran radio. Pelepasan seluruh atau sebagian hak yang berkaitan dengan penggunaan atau pemberian hak atas kekayaan intelektual/industri atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Aturan Pajak Kripto Baru
Pemerintah telah resmi menerbitkan peraturan baru terkait perlakuan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto. Topik ini telah menjadi perbincangan hangat selama sepekan terakhir. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 50/2025, pemerintah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan, dan kesederhanaan dalam administrasi perpajakan aset kripto. PPH Aset Kripto Terkait perlakuan PPh atas penghasilan terkait aset kripto, Pasal 10 PMK 50/2025 mengatur bahwa penghasilan yang diterima oleh penjual aset kripto, PPMSE, atau penambang aset kripto dikenakan PPh. Penjualan aset kripto dikenakan PPh Pasal 22 final sebesar 0,21%, lebih tinggi dari tarif sebelumnya sebesar 0,1%. Perlu diketahui bahwa penghasilan penyelenggara perdagangan secara elektronik (PPMSE) yang memfasilitasi transaksi aset kripto dan penghasilan penambang aset kripto dikenakan pajak dengan tarif umum sesuai dengan Undang-Undang PPh. Penghasilan yang diterima oleh PPMSE dan penambang aset kripto wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) mereka. PPN Aset Kripto Terkait perlakuan PPN atas transfer aset kripto, Pasal 2 PMK 50/2025 menetapkan bahwa transfer aset kripto yang dipersamakan dengan surat berharga tidak dikenakan PPN. Namun, perlu dicatat bahwa penyediaan Jasa Kena Pajak (JKP) berupa jasa fasilitasi transaksi aset kripto oleh PPMSE dan JKP berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang aset kripto dikenakan PPN. PPN atas jasa fasilitasi transaksi aset kripto wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh PPMSE yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN terutang dihitung menggunakan nilai lain dari DPP sebesar 1 1/12 dari penempatan, sebagaimana diatur dalam PMK 131/2024. Sementara itu, PMK 50/2025 juga mengatur bahwa PPN atas jasa verifikasi transaksi aset kripto wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh penambang aset kripto yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN tersebut dipungut dan disetorkan dengan tarif tertentu, yaitu 20% dikalikan 1 1/12 dari tarif yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN. Dengan demikian, tarif PPN efektif yang berlaku atas jasa verifikasi aset kripto oleh penambang adalah 2,2%. PMK 50/2025 diundangkan pada tanggal 28 Juli 2025 dan dinyatakan berlaku efektif pada tanggal 1 Agustus 2025. Terkait pengenaan PPh dengan tarif umum atas penghasilan yang diterima oleh penambang aset kripto, ketentuan ini dinyatakan baru berlaku efektif mulai tahun pajak 2026.
Perlakuan PPN atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi
Perlakuan PPN atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Pasal 1 angka 3 PMK 66/2022, pupuk bersubsidi merupakan barang terkendali yang pengadaan dan penyalurannya disubsidi oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan petani di sektor pertanian. Pasal 2 PMK 66/2022 menetapkan bahwa penyerahan pupuk bersubsidi oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikenakan PPN. Ketentuan berikut berlaku untuk pemungutan PPN atas pupuk bersubsidi: atas bagian harga yang mendapatkan subsidi, PPN dibayar oleh pemerintah; dan atas bagian harga yang tidak mendapatkan subsidi, PPN dibayar oleh pembeli. Sesuai Pasal 7 PMK 66/2022, PPN atas penyerahan pupuk bersubsidi dipungut satu kali oleh produsen pada saat penyerahan kepada distributor. Sementara itu, atas penyerahan pupuk bersubsidi dari distributor ke pengecer atau dari pengecer ke kelompok tani dan/atau petani, distributor atau pengecer tidak memungut atau menyetorkan PPN. Pasal 7 ayat (5) PMK 66/2022 juga menjelaskan dalam hal distributor atau pengecer: juga menyerahkan BKP lainnya dan/atau JKP; dan memiliki jumlah penyerahan pupuk bersubsidi dan penyerahan BKP lainnya dan/atau JKP yang melebihi batasan pengusaha kecil, Distributor atau pengecer wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP lainnya. Penyerahan pupuk bersubsidi dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada kolom penyerahan yang tidak dikenakan PPN. Lebih lanjut, jika usaha distributor atau pengecer hanya menyalurkan pupuk bersubsidi, wajib pajak tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan Faktur Pajak atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi Mengacu pada Pasal 6 PMK 66/2022, dalam hal PPN yang terutang atas penyerahan pupuk bersubsidi dibuat faktur pajak pada saat: produsen mengajukan permintaan pembayaran subsidi pupuk bersubsidi kepada KPA; dan produsen menyerahkan pupuk bersubsidi kepada distributor atau pada saat pembayaran dalam hal pembayaran dilakukan mendahului penyerahan. Adapun produsen membuat dua faktur pajak, yaitu: ketika produsen mengajukan permintaan pembayaran subsidi pupuk bersubsidi kepada KPA dengan kode faktur pajak 02, dan ketika produsen menyerahkan pupuk bersubsidi kepada distributor dengan kode faktur pajak 04. Lebih lanjut, ketentuan ini juga menjelaskan bahwa Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean sehubungan dengan penyerahan pupuk bersubsidi oleh produsen, dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan kredit Pajak Masukan. Sementara itu, Pajak Masukan atas penyerahan pupuk bersubsidi oleh distributor dan pengecer tidak dapat dikreditkan.
Sertifikat Elektronik Coretax Memiliki Tanggal Kedaluwarsa
Pusat Kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, mengingatkan wajib pajak bahwa sertifikat elektronik di era sistem administrasi Coretax masih memiliki masa berlaku dua tahun. Mengacu pada PER-7/PJ/2025, sertifikat elektronik adalah sertifikat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status hukum para pihak dalam transaksi elektronik, yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik dalam Coretax memiliki masa berlaku dua tahun. Anda dapat memeriksa status sertifikat elektronik Anda melalui Coretax DJP. Pertama, masuk ke akun Coretax DJP Anda. Masukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK/NPWP), kata sandi, dan kode captcha. Kemudian, klik Masuk. Anda akan diarahkan ke dasbor Coretax DJP. Setelah itu, klik menu Profil dan pilih Periksa Nomor Identifikasi Eksternal. Kemudian, pilih tab Sertifikat Digital. Selanjutnya, geser ke kanan pada kolom Tanggal Kedaluwarsa. Anda akan melihat tanggal kedaluwarsa sertifikat elektronik Anda. Setelah masa berlakunya habis, wajib pajak dapat meminta Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik baru melalui Coretax. Sebagai informasi, Coretax adalah sistem administrasi layanan DJP yang memberikan kemudahan bagi pengguna. Coretax merupakan bagian dari Proyek Pemutakhiran Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden 40/2018. PSIAP merupakan proyek untuk mendesain ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pengembangan sistem informasi berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS), disertai dengan penyempurnaan basis data perpajakan. Tujuan utama Coretax adalah memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada. Coretax mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak dan pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak.
Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Catatan Sipil (Dukcapil) Sepakati Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk Pelayanan dan Pengawasan Perpajakan
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto bersama Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Teguh Setyabudi menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) di Gedung Cakti, Kantor Pusat DJP, Jakarta (30 Juli 2025). Kedua belah pihak sepakat penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk mendukung pelayanan dan pengawasan perpajakan. Wijayanto menjelaskan bahwa penandatanganan PKS ini merupakan bagian dari komitmen pelaksanaan reformasi perpajakan, penguatan tata kelola administrasi perpajakan, dan peningkatan efektivitas pelayanan publik. Wijayanto memastikan DJP terus memperkuat fondasi sistem administrasi perpajakan melalui pengembangan Coretax. Bimo menjelaskan bahwa kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Catatan Sipil (Dukcapil) meliputi validasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK), pemutakhiran data kependudukan, dan penyediaan layanan pengenalan wajah untuk mendukung administrasi dan pengawasan perpajakan. Ia juga menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Direktorat Jenderal Catatan Sipil (Dukcapil) dan tim DJP atas sinergi dan kolaborasi yang telah terjalin. Bimo menyampaikan apresiasi atas dukungan mereka dalam mewujudkan Perjanjian Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan dalam Layanan DJP di Kementerian Keuangan. Teguh menyatakan bahwa DJP siap mendukung pemberian hak akses dan pemanfaatan data kependudukan bagi DJP. Ia menegaskan bahwa, sesuai ketentuan, data kependudukan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, serta penegakan hukum dan pencegahan kejahatan. Sejatinya, PKS antara Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Catatan Sipil (Dukcapil) telah disepakati pada 2018, dengan addendum kedua berlanjut pada 19 Mei 2022. Ditjen Pajak menegaskan, penggunaan NIK sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan bentuk pemenuhan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik.
Syarat dan Ketentuan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak
Kriteria Permohonan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif berdasarkan permohonan wajib pajak. Pasal 23 ayat (1) PMK 118/2024 menyatakan bahwa sanksi administratif yang dapat dikurangi atau dihapuskan adalah sanksi administratif yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP). Namun, pengurangan atau penghapusan ini terbatas pada sanksi administratif yang timbul karena kesalahan wajib pajak atau bukan karena kesalahan wajib pajak. Pasal 27 ayat (3) PMK 118/2024 menjelaskan, kekhilafan atau bukan kesalahan wajib pajak yaitu: sanksi merupakan yang diterbitkan pertama kali kepada wajib pajak; penerapan ketentuan perpajakan dalam jangka waktu 6 bulan setelah berlakunya ketentuan yang dimaksud; kesalahan Direktorat Jenderal Pajak; akibat pihak ketiga dan bukan karena kesalahan wajib pajak; kendala pada jaringan sistem elektronik yang mengganggu pelaksanaan hak dan kewajiban wajib pajak; sanksi akibat kesepakatan harga transfer; atau wajib pajak kesulitan keuangan dengan kriteria: wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/wajib pajak badan yang melakukan pembukuan mengalami kerugian komersial dan kesulitan likuiditas dalam 2 tahun berturut-turut; wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, yang melakukan pencatatan dan kesulitan dalam memenuhi biaya hidup dari penghasilan yang diperoleh dalam 2 tahun berturut-turut; atau wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas mengalami kesulitan dalam memenuhi biaya hidup dari penghasilan yang diperoleh dalam tahun pajak. Syarat Pengajuan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Pajak Untuk sanksi administrasi yang tercantum dalam SKP dan STP, penghapusan/pengurangan sanksi dapat diajukan dalam hal: SKP tidak diajukan keberatan; SKP diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh wajib pajak dan Dirjen Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan; SKP diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan; SKP/STP tidak diajukan permohonan pengurangan/pembatalan SKP/STP yang tidak benar atau diajukan tetapi dicabut/tidak dipertimbangkan; atau SKPT/STP tidak sedang diajukan permohonan pembatalan SKP/STP hasil pemeriksaan atau diajukan tetapi dicabut/ditolak. Permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi dapat diajukan maksimal dua kali. Permohonan diajukan untuk satu Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Ketetapan Pajak (STP) dan harus diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia. Permohonan tersebut harus mencantumkan besarnya sanksi administrasi menurut wajib pajak, disertai alasannya. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 23 ayat (5) huruf a, permohonan dapat diajukan jika wajib pajak telah melunasi jumlah pajak yang kurang/kurang dibayar yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi. Permohonan kedua diajukan paling lambat tiga bulan setelah surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pertama dikirimkan, kecuali terdapat hal-hal di luar kekuasaan wajib pajak. Permohonan diajukan untuk Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Ketetapan Pajak (STP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tanggapan atas permohonan pertama. Keputusan Dirjen Pajak Setelah permohonan diterima secara lengkap, Direktur Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan. Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, dan/atau informasi dari wajib pajak, yang harus diberikan dalam waktu 15 hari. Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan yang dapat mengabulkan permohonan wajib pajak sebagian atau seluruhnya, atau menolaknya dalam waktu enam bulan. Apabila jangka waktu tersebut terlampaui, permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan dianggap dikabulkan.
Peraturan Baru Diterbitkan! PMK 81/2024 tentang Coretax Direvisi
Kebijakan yang akan berlaku efektif pada 1 Agustus 2025 ini dikeluarkan untuk menyelaraskan ketentuan PMK 81/2024 dengan perubahan ketentuan perpajakan atas kegiatan usaha emas batangan dan impor emas batangan, serta transaksi perdagangan aset kripto. Pada dasarnya, PMK 54/2025 menghapus pasal-pasal dalam PMK 81/2024 yang berkaitan dengan kegiatan usaha emas batangan dan impor emas batangan, serta transaksi perdagangan aset kripto. Penghapusan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan peraturan perpajakan terbaru. Lebih spesifik lagi, PMK 54/2025 menghapus Bab VI Bagian Kelima PMK 81/2024. Bab VI Bagian Kelima PMK 81/2024 terdiri dari sembilan pasal, yaitu Pasal 217 sampai dengan Pasal 225. PMK 54/2025 menghapus sembilan pasal ini. Pasal-pasal ini awalnya mengatur ketentuan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lainnya. Kemudian, PMK 54/2025 menghapus Bab VI Bagian Dua Puluh dari PMK 81/2024, yang terdiri dari 39 pasal: Pasal 340–342, Pasal 344–353, dan Pasal 356–369. Pasal-pasal ini awalnya mengatur ketentuan PPN dan PPh untuk transaksi perdagangan aset kripto. Pasal 343 dan 354 PMK 81/2024 dihapus melalui penerbitan PMK 53/2025. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ketentuan PPN dan PPh untuk transaksi perdagangan aset kripto direorganisasi melalui PMK 50/2025. Sehubungan dengan perubahan ini, pemerintah juga menghapus sejumlah ketentuan terkait transaksi kripto melalui PMK 53/2025. Kementerian Keuangan Memperbarui Peraturan Perpajakan Aset Kripto, Tarif PPh Naik Menjadi 0,21%. Lebih lanjut, PMK 54/2025 menghapus Pasal 465 huruf w dari PMK 81/2024. Pasal ini awalnya dimaksudkan untuk mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan impor melalui Peraturan Direktorat Jenderal. Selanjutnya, PMK 54/2025 menghapus Pasal 467 PMK 81/2024. Pasal ini dimaksudkan untuk mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Selanjutnya, PMK 54/2025 menghapus Pasal 471 PMK 81/2024. Pasal ini seharusnya menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai barang tertentu, barang tertentu lainnya, dan komoditas tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 tercantum dalam Lampiran EEE PMK 81/2024. Sehubungan dengan penghapusan Pasal 469 huruf l dan Pasal 471 PMK 81/2024, PMK 54/2025 juga menghapus lampiran OOO dan EEE dari PMK 81/2024.
Ketentuan Baru Tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan Emas Batangan Dalam PMK 51/2025
Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51 Tahun 2025 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lainnya (PMK 51/2025). Peraturan ini mulai berlaku pada 1 Agustus 2025 dan memperbarui ketentuan sebelumnya mengenai pemungutan pajak atas impor, ekspor, dan pembelian barang oleh badan usaha dan instansi pemerintah. Peraturan yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 Juli 2025 ini menekankan pentingnya penyesuaian ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 demi kepastian hukum dan efisiensi administrasi. “Untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan administrasi dalam pengenaan pajak penghasilan dari kegiatan usaha bulion dan impor emas batangan, perlu dilakukan penyesuaian,” demikian tertulis dalam pertimbangan huruf a PMK tersebut. Pemungut dan Tarif PPh 22 Diatur Ulang PMK 51/2025 mengatur secara rinci pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh 22. Selain Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk kegiatan impor dan ekspor, pemungut lainnya meliputi instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bank emas batangan, dan pelaku industri tertentu. Sementara itu, tarif PPh Pasal 22 sangat bergantung pada jenis transaksi. Misalnya: Impor emas batangan: tarif sebesar 0,25 persen dari nilai impor; Ekspor komoditas tambang: tarif 1,5 persen dari nilai ekspor FOB; Penjualan kendaraan bermotor: tarif 0,45 persen dari harga jual sebelum PPN; Pembelian emas batangan oleh lembaga jasa keuangan: tarif 0,25 persen. “Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan… barang berupa emas batangan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai impor…,” bunyi Pasal 3 ayat 1 huruf a angka 1 huruf d. Ketentuan Pengecualian PMK ini juga menjabarkan berbagai kondisi yang dibebaskan dari pemungutan PPh 22. Antara lain, impor barang bebas bea masuk, pembelian barang senilai kecil oleh instansi pemerintah, dan pembelian bahan pangan pokok oleh BUMN yang ditugaskan pemerintah. “Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22: a. impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan…,” bunyi Pasal 4 ayat 1 huruf a. Khusus pembelian oleh rekanan pemerintah yang memiliki surat keterangan PPh final UMKM atau bebas pemungutan juga tidak dikenakan pungutan PPh 22. “Pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan salinan surat keterangan yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan…,” bunyi Pasal 4 ayat 1 huruf e angka 1 huruf f. Ketentuan Peralihan PMK 51/2025 juga mengatur masa transisi bagi wajib pajak yang sebelumnya telah mengajukan atau menerima surat keterangan bebas bea masuk impor emas batangan untuk tujuan ekspor. Surat keterangan bebas bea masuk yang masih berlaku dapat tetap digunakan hingga masa berlakunya habis. “Surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor yang telah diperoleh Wajib Pajak, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya surat keterangan bebas…,” bunyi Pasal 14 huruf a. Di sisi lain, permohonan yang diajukan namun belum diproses selama berlakunya PMK ini akan diproses berdasarkan ketentuan PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Sistem Administrasi Perpajakan Inti (Coretax). Hal ini memastikan tidak adanya kekosongan hukum selama masa […]
