Ada Kesalahan, Apakah SPT Status Menunggu Pembayaran Bisa Diedit?

Coretax mengubah proses bisnis pembayaran atas SPT berstatus kurang bayar. SPT yang telah dibuat kode billing-nya akan berstatus SPT Menunggu Pembayaran. SPT tersebut tidak dapat dilakukan perubahan. Perubahan hanya dapat dilakukan sampai kode billing expired atau melalui pembetulan SPT. SPT Menunggu Pembayaran Tidak Bisa Diubah Namun, jika terdapat kesalahan, wajib pajak tidak bisa mengubah SPT dengan status Menunggu Pembayaran tersebut. “Apabila status SPT sudah menjadi SPT Menunggu Pembayaran, maka tidak dapat lagi dilakukan edit/ubah,” tulis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui salah satu unggahan pada akun X @kring_pajak. Jika terdapat kesalahan, DJP menyampaikan terdapat dua alternatif yang dapat dilakukan oleh wajib pajak. Wajib paja dapat: menunggu kode billing expired (7 hari sejak billing dibuat), maka SPT menunggu pembayaran tersebut akan berubah kembali menjadi draft SPT. Wajib pajak kemudian dapat kembali mengedit atau membetulkan SPT tersebut; atau melakukan pembayaran kode billing yang sudah terbentuk dan kemudian membuat pembetulan SPT. Di aplikasi Coretax, kode billing untuk pembayaran SPT hanya dapat dibuat ketika wajib pajak telah selesai membuat draft SPT. Pada bagian akhir SPT, wajib pajak mengklik tombol Bayar dan Lapor, kemudian memilih opsi Buat Kode Billing. Sistem akan membuat kode billing, kemudian SPT akan berstatus sebagai SPT Menunggu Pembayaran. Menggunakan Deposit Pajak untuk Mencegah Keterlambatan Pembayaran Kondisi di atas tentu dapat menimbulkan risiko keterlambatan pembayaran. Misalnya, draft SPT dibuat 5 hari sebelum batas waktu penyetoran pajak. Jika terjadi kesalahan dalam SPT, kemudian wajib pajak memilih untuk menunggu SPT berubah kembali menjadi draft selama 7 hari, wajib pajak akan terlambat melakukan penyetoran pajak. Dalam hal terjadi kesalahan pada SPT yang telah dibuatkan kode billing, dan wajib pajak tidak ingin melakukan pembetulan SPT, wajib pajak dapat melakukan pembayaran pajak dengan deposit pajak untuk mencegah keterlambatan pembayaran. Yang perlu diperhatikan adalah: pastikan mengisi deposit pajak sejumlah kurang bayar pada SPT yang akan dilaporkan; dan pengisian deposit pajak dilakukan sebelum batas waktu penyetoran pajak. Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, tanggal penyetoran atas suatu jenis pajak yang menggunakan Deposit Pajak mengacu pada tanggal pengisian deposit. Melanjutkan ilustrasi di atas, wajib pajak dapat mengedit/mengubah SPT yang kode billing-nya telah expired tersebut. Setelah disesuaikan, pada saat mengklik Bayar dan Lapor, pilih Deposit Pajak sebagai metode pembayaran. Apabila berhasil, SPT akan secara otomatis terlapor.   Sumber: https://ortax.org/ada-kesalahan-apakah-spt-status-menunggu-pembayaran-bisa-diedit

Begini Cara Mitigasi Risiko Sengketa Pajak Transfer Pricing

Bisnis,com, JAKARTA — Salah satu sengketa pajak yang paling sering terjadi terutama di perusahaan multinasional yakni sengketa transfer pricing. Apakah itu? Bagaimana cara menghindarinya Melansir laman feb.ugm.ac.id, transfer pricing seringkali menjadi sarana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang. Transfer pricing lazim digunakan oleh sejumlah perusahaan multinasional untuk menghindari pembayaran pajak di dalam negeri. Perusahaan dengan sengaja memindahkan catatan keuangan ke negara lain dengan beban pajak yang lebih ringan (tax haven). Modusnya, perusahaan seringkali memiliki anak perusahaan di berbagai negara. Mereka terlibat dalam transaksi lintas batas untuk mengoptimalkan kewajiban pajak, biaya, dan keuntungan. Padahal, secara umum, transfer pricing merujuk pada penetapan harga barang, jasa, dan aset tidak berwujud yang diperdagangkan antara entitas terkait, seperti antar divisi atau anak perusahaan, dalam suatu perusahaan multinasional. Dalam implementasinya, transfer pricing perlu dilakukan dengan mengindahkan prinsip harga wajar. Kewajaran dan kelaziman usaha menjadi aspek yang krusial. Selain itu, transfer pricing harus memperhatikan metode yang digunakan. Metode yang sah antara lain adalah Comparable Uncontrolled Price (CUP), Resale Price Method (RPM), Cost Plus Method (CPM), Profit Spill Method, dan Transactional Net Margin Method (TNMM) atau Comparable Profits Method (CPM). Namun, dalam praktiknya, perusahaan memanfaatkan transfer pricing guna menghindari pajak. Mereka memindahkan keuntungan ke negara dengan pajak rendah atau memindahkan kerugian dengan memindahkan biaya yang dapat dikurangkan ke negara dengan pajak tinggi. Seharusnya, pendapatan yang dikenakan pajak tidak dapat secara artifisial dipindahkan ke yurisdiksi dengan pajak yang rendah. Adapun, salah satu cara utama penyelesaian sengketa transfer pricing melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA), serta panduan optimalisasi insentif fiskal mendukung keberlanjutan bisnis di sektor extractive industry. Seperti diketahui, target penerimaan negara dari pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tercatat sebesar Rp2.189,3 triliun atau meningkat 13,29% dari tahun sebelumnya. Karenanya, pemerintah terus mendorong intensifikasi perpajakan melalui pengawasan dan pemeriksaan, termasuk terhadap transaksi hubungan istimewa yang berdampak signifikan bagi dunia usaha. Managing Partner Transfer Pricing & International Tax TaxPrime Emanuel Dewo Adi Winedhar, menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle – ALP). “Siklus kepatuhan transfer pricing harus dirancang lebih awal sesuai regulasi untuk mencegah sengketa. Prosesnya mencakup desain, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi praktik transfer pricing,” ujar Dewo, dikutip Jumat (28/2/2025). Dia menambahkan bahwa perusahaan harus menerapkan penetapan harga transaksi kepada pihak afiliasi secara ex-ante, menyusun dokumentasi dengan analisis segregasi yang kuat serta mengelola dokumen pendukung secara optimal guna menghadapi asesmen otoritas pajak. Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa transfer pricing melalui jalur domestik kerap memakan waktu lama. Oleh karena itu, Wajib Pajak disarankan tidak hanya memitigai risiko transfer pricing sejak awal, tetapi juga mempertimbangkan penyelesaian melalui MAP yang lebih cepat dan efektif. Selain itu, dia juga menekankan bahwa pendekatan yang lebih proaktif dapat dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme APA. “Pendekatan proaktif dengan memanfaatkan APA dapat menjadi solusi jangka panjang. Dengan menyepakati harga atau laba transaksi afiliasi sejak awal, perusahaan dapat melindungi diri dari risiko fiskal yang signifikan,” jelas Dewo. Senior Transfer Pricing and MAP/APA Analyst DJP Dinar Ayu Adeline, menyoroti cost of compliance yang tinggi dalam sengketa transfer pricing. “Banyak grup usaha […]

Bertahun-tahun Tak Lapor SPT Pajak, Harus Siap Tanggung Ini

Pajak sudah menjadi iuran yang wajib dibayarkan oleh semua masyarakat kepada pemerintah. Untuk itu, pembayaran pajak yang lalai akan dikenakan sanksi termasuk, dalam melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang telat. Secara umum, pelaporan SPT Tahunan Badan dilakukan sejak awal tahun hingga tanggal 30 April, sementara untuk SPT Tahunan Pribadi dibuka sejak awal tahun hingga 31 Maret. Kewajiban melaporkan SPT dikarenakan Indonesia menganut sistem perpajakan self assessment, yakni wajib pajak diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya. Meski bersifat wajib, namun ada saja wajib pajak yang tidak melaporkan pajaknya kepada negara. Perbuatan tersebut tentu tidak akan lepas dari kemungkinan pemberian sanksi. Tidak main-main, WP dapat terkena sanksi bersifat administratif bahkan pidana. Sanksi administratif meliputi kewajiban membayar denda dan sanksi kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar. Sementara itu, WP yang tidak jujur dalam melaporkan SPT juga bisa terkena sanksi pidana. Lebih jauh ketentuan mengenai sanksi ini diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Terkait sanksi administratif, tercantum dalam Pasal 7 ayat 1 UU KUP. Adapun sanksi administrasi yang dikenakan kepada WP yang tidak melakukan pelaporan SPT, yakni 1. Denda sebesar Rp500.000 untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Denda sebesar Rp100.000 untuk SPT Masa lainnya 3. Denda sebesar Rp1.000.000 untuk SPT Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan 4. Denda sebesar Rp100.000 untuk SPT PPh Wajib Pajak Perorangan Sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 39. Pasal tersebut menyatakan setiap orang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dikenakan sanksi pidana. “Sanksinya adalah pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun. Sedangkan dendanya paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar,” dikutip dari situs resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kemenkeu, dikutip Selasa (28/3/2023). Pelaporan SPT Tahunan dapat dilakukan secara tatap muka dengan datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat atau melalui online. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat, jumlah pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) untuk periode 2024 tembus 3,33 juta orang per 12 Februari 2025 pukul 23.59. Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, jumlah pelapor SPT Tahunan PPh itu meningkat sekitar 3,73% dibandingkan catatan pada periode yang sama pada tahun lalu sebanyak 3,21 juta wajib pajak. “Sampai dengan tanggal 12 Februari 2025 pukul 23.59 WIB, terdapat sebanyak 3,33 juta SPT Tahunan PPh yang sudah disampaikan,” dikutip dari keterangan tertulis DJP nomor KT-06/2025, Jumat (21/2/2025). Total pelaporan SPT per 12 Februari 2025 yang sebanyak 3,33 juta SPT Tahunan PPh itu terdiri dari sebanyak 3,23 juta wajib pajak orang pribadi dan 103,03 ribu wajib pajak badan. “Adapun penyampaian SPT Tahunan yang dilaporkan melalui saluran elektronik yaitu sebesar 3,26 juta, sementara yang disampaikan secara manual sebesar 75,77 ribu,” ungkap Ditjen Pajak. Sebagaimana diketahui, mekanisme pelaporan SPT Tahunan untuk periode 2024 yang wajib dilaporkan pada […]

Pemeriksaan Pajak Dijalankan Tanpa SPHP atau PAHP, Maka SKP Bisa Batal

Detail ketentuan yang tertuang dalam PMK 15/2025 masih menjadi salah satu sorotan media nasional pada hari ini, Senin (3/3/2025). Beleid ini juga mengatur bahwa surat ketetapan pajak (SKP) bisa dibatalkan apabila SKP tersebut diterbitkan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP). Kendati begitu, setelah SKP dibatalkan, proses pemeriksaan harus dilanjutkan dengan menyampaikan SPHP atau PAHP sesuai dengan prosedur dalam PMK 15/2025. “Dalam hal dilakukan pembatalan…, proses pemeriksaan harus dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian SPHP dan/atau PAHP sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan menteri ini,” bunyi Pasal 21 ayat (2) PMK 15/2025. Sebagai informasi, SPHP adalah surat yang memuat hasil pengujian pemeriksaan seperti pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang, dan perhitungan sementara dari sanksi dan/atau denda administratif. Sepanjang proses pemeriksaan untuk pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak, wajib pajak berhak menerima daftar temuan hasil pemeriksaan yang dilampirkan dalam SPHP. SPHP dan daftar temuan hasil pemeriksaan wajib ditanggapi oleh wajib pajak dalam waktu maksimal 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP. Setelah ditanggapi, wajib pajak akan menerima undangan untuk menghadiri PAHP dalam waktu maksimal 3 hari kerja terhitung sejak tanggal atas SPHP diterima DJP. “PAHP adalah pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara PAHP yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang dan perhitungan sanksi dan/atau denda administratif,” bunyi Pasal 1 angka 36 PMK 15/2025. Pemeriksa kemudian menindaklanjuti PAHP dengan membuat risalah pembahasan dan ditandatangani oleh pemeriksa dan wajib pajak yang diperiksa. Selain bahasan mengenai SKP, ada pula isu-isu lain yang juga diulas oleh media nasional pada hari ini. Di antaranya, update mengenai penghapusan sanksi administratif pasca-coretax system, kebijakan pemerintah menanggung sebagian PPN atas tiket pesawat, hingga aturan resmi mengenai penyimpanan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di dalam negeri. Masih dalam pengaturan PMK 15/2025, pemeriksa memiliki kewajiban untuk menyampaikan pos-pos dalam SPT, data, atau kewajiban perpajakan tertentu yang diperiksa. Kewajiban pemeriksa pajak untuk menyampaikan pemberitahuan tertulis terkait pos-pos yang diperiksa berlaku dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan dengan tipe pemeriksaan terfokus. Pemberitahuan tertulis mengenai pos-pos SPT, data, atau kewajiban pajak tertentu yang diperiksa harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan.

MFA Buat Login Jadi Panjang, Hindari Lapor SPT Tahunan Jelang Deadline

JAKARTA, DDTCNews – Kini proses login ke DJP Online menjadi lebih panjang. Ditjen Pajak (DJP) mulai menerapkan fitur Multi-Factor Authentication (MFA) yang menambah lapis keamanan saat login DJP Online. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (27/2/2025). Menyadari ini merupakan hal yang sama sekali baru bagi wajib pajak, DJP kini gencar menyosialisasikan skema MFA ini kepada wajib pajak. Agar tersedia waktu yang lebih lega saat login DJP Online, wajib pajak pun diimbau untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan lebih awal. Karenanya, hindari pelaporan SPT Tahunan menjelang batas waktu, yakni akhir Maret bagi orang pribadi dan akhir April bagi wajib pajak badan. “Kalau itu kita lakukan pelaporannya di Februari atau awal Maret, mudah-mudahan tidak akan mengganggu kenyamanan dalam melaporkan SPT,” ujar Kepala Subdirektorat Pelayanan Perpajakan DJP Tirta. Tirta mengatakan fitur MFA bertujuan meningkatkan perlindungan terhadap data wajib pajak. Menurutnya, wajib pajak kini harus memasukkan kode verifikasi sebelum login ke akun DJP Online. “Memang step-nya nambah satu mulai tahun ini. Kawan Pajak jangan bingung, jangan khawatir, memang itu bagian dari proses yang harus kita lewati, sedikit lebih panjang,” katanya. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1809114/mfa-buat-login-jadi-panjang-hindari-lapor-spt-tahunan-jelang-deadline

Prabowo Tetap Akan Dirikan Badan Penerimaan Negara untuk Dongkrak “Tax Ratio” ke 23 Persen PDB

Jakarta – Presiden Prabowo Subianto berkomitmen meningkatkan penerimaan negara dengan mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN). Langkah ini bertujuan mengoptimalkan penerimaan pajak dan pendapatan negara bukan pajak, sehingga rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat mencapai 23 persen. Pembentukan BPN menjadi salah satu prioritas nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Adapun, dalam dokumen tersebut, rasio pajak pada 2025 ditargetkan meningkat menjadi 10,24 persen, dan selanjutnya ditargetkan naik dalam rentang 11,52 persen hingga 15,00 persen pada 2029. “Mendirikan Badan Penerimaan Negara dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB ke 23 persen,” bunyi dokumen RPJMN 2025-2029, dikutip Pajak.com pada Jumat (28/2/2025). Pemerintah juga menargetkan penambahan Wajib Pajak hasil ekstensifikasi mencapai 90 persen pada 2029, serta kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Orang Pribadi mencapai 100 persen. Strategi yang digunakan untuk mencapai target ini adalah ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan. Pemerintah akan menyederhanakan proses bisnis dan kelembagaan, memastikan kebijakan perpajakan lebih efektif, serta meningkatkan transparansi dalam pengelolaan pajak dan pendapatan negara bukan pajak. Sebagai langkah konkret, implementasi core tax menjadi fokus utama. Sistem ini akan terintegrasi dengan berbagai instansi dan stakeholder terkait, memungkinkan pertukaran data secara real-time guna mempermudah pemantauan dan pengawasan kepatuhan pajak. Selain itu, indeks efektivitas kebijakan penerimaan negara ditargetkan mencapai 100 persen pada 2029. Pemerintah juga akan mendorong optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui dividen BUMN, pemanfaatan aset negara, serta pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Kementerian Keuangan menjadi instansi pelaksana utama dalam program ini, dengan cakupan kebijakan berskala nasional. Dengan reformasi ini, pemerintah optimistis penerimaan negara dapat meningkat secara signifikan, menciptakan ruang fiskal yang lebih luas untuk pembangunan nasional, serta mempercepat pencapaian Visi Indonesia Emas 2045. “Dalam rangka mencapai sasaran Visi Indonesia Emas 2045, diperlukan kebijakan fiskal yang adaptif dan ruang fiskal memadai yang dapat memberikan stimulus terhadap perekonomian Indonesia sehingga dapat berkontribusi terhadap sasaran pembangunan yang ditetapkan,” bunyi dokumen tersebut. Untuk diketahui, adik Prabowo sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Sujono Djojohadikusumo mengisyaratkan bahwa Prabowo akan segera membentuk Kementerian Penerimaan Negara. Ia juga menyebut, nama Anggito Abimanyu sebagai menteri kementerian baru itu. “Saya kira dia (Anggito Abimanyu) sebagai Wakil Menteri (Keuangan), itu nanti untuk sementara. Sementara beliau nanti diangkat sebagai Menteri Penerimaan Negara. Jadi, ini untuk menangani pajak, menangani cukai, dan menangani revenue atau perlindungan negara berupa royalti dari pertambangan dan lain-lain,” terang Hashim dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (KADIN) 2024, di Hotel Mulia Jakarta, (1/12). BPN juga disebut dalam Asta Cita Prabowo-Gibran. Dalam dokumen visi dan misi itu dijelaskan bahwa pembangunan ekonomi perlu dibiayai sebagian dari anggaran pemerintah. Saat masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo-Gibran juga telah menyematkan visi untuk membentuk BPN. Landasannya karena pemerintah ingin melaksanakan amanah konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 23A secara taat asas, sehingga dipandang perlu untuk meningkatkan kapasitas lembaga penerimaan negara. BPN diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap upaya mendapatkan sumber pembiayaan pembangunan berkelanjutan.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/prabowo-tetap-akan-dirikan-badan-penerimaan-negara-untuk-dongkrak-tax-ratio-ke-23-persen-pdb/

Pengumuman! DJP Akhirnya Rilis Keputusan Penghapusan Sanksi Coretax

Dirjen Pajak Suryo Utomo akhirnya resmi menerbitkan keputusan penghapusan sanksi administrasi pasca implementasi coretax. Kebijakan tersebut diatur melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP67/PJ/2025. Melalui keputusan tersebut, dirjen pajak menghapus sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak serta keterlambatan penyampaian SPT. Kebijakan ini diambil sebagai respons atas perubahan sistem administrasi yang menyebabkan keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan SPT. Dalam kondisi tersebut, keterlambatan bukan merupakan kesalahan wajib pajak. Secara lebih terperinci, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang dimaksud meliputi sanksi yang dikenakan atas: Keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran: PPh masa tersebut meliputi PPh Pasal 4 ayat (2), selain PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; PPh Pasal 15; PPh Pasal 21; PPh Pasal 22; PPh Pasal 23; PPh Pasal 25; dan PPh Pasal 26, yang terutang untuk masa pajak Januari 2025 yang dibayar dan/atau disetor setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan/atau penyetoran sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; Keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk: masa pajak Desember 2024 yang dibayar dan/atau disetor setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan/atau penyetoran sampai dengan tanggal 31 Januari 2025; dan masa pajak Januari 2025 yang dibayar dan/atau disetor setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan/atau penyetoran sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; Keterlambatan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang untuk masa pajak Januari 2025 yang disetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran sampai dengan tanggal 10 Maret 2025 Keterlambatan penyetoran bea meterai yang dipungut oleh pemungut bea meterai untuk: masa pajak Desember 2024 yang disetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran sampai dengan tanggal 31 Januari 2025; dan masa pajak Januari 2025 yang disetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran sampai dengan tanggal 28 Februari 2025. Sementara itu, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan atau penyampaian SPT yang dimaksud meliputi: 1. Keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan SPT Masa PPh Unifikasi untuk: masa pajak Januari 2025 yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; masa pajak Februari 2025 yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan tanggal 31 Maret 2025; dan masa pajak Maret 2025 yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan tanggal 30 April 2025; 2. Keterlambatan pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk: masa pajak Desember 2024 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 31 Januari 2025; masa pajak Januari 2025 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; masa pajak Februari 2025 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 31 Maret 2025; dan masa pajak Maret 2025 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 30 April 2025. 3. Keterlambatan pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan PPh Pasal 25 untuk: masa pajak […]

Dapat “Doorprize” dari Luar Negeri Tetap Kena Pajak dan Bea Masuk!

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan aturan baru dalam kegiatan impor dan ekspor barang kiriman. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4 Tahun 2025 yang akan mulai berlaku Maret 2025 mendatang. Salah satu hal yang diatur dalam beleid tersebut adalah mengenai pemberian fasilitas fiskal atas barang kiriman hadiah perlombaan/penghargaan internasional. Warga negara Indonesia (WNI) yang menerima hadiah/penghargaan dapat mengirimkan barang berupa satu buah medali, trofi, lencana, dan/atau barang sejenis lainnya; dan/atau satu buah barang hadiah lainnya diberikan fasilitas fiskal. Dalam pengiriman ini dibebaskan dari pungutan bea masuk, tidak dipungut pajak pertambahan nilai (PPN), serta dikecualikan dari bea masuk tambahan (BMT) dan pajak penghasilan (PPh). Namun, Subdirektorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan di Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kemenkeu Chotibul Umam menegaskan bahwa ada beberapa barang yang tidak diberikan fasilitas pembebasan tersebut. Barang tersebut diantaranya kendaraan bermotor, barang kena cukai (BKC), serta hadiah dari undian (dooprize) atau perjudian. Ia menyebut, meskipun doorprize sering kali diberikan dalam acara perlombaan, hadiah ini tidak masuk dalam kategori barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak. Dengan demikian, penerima doorprize tetap akan dikenakan biaya masuk dan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Nah biasanya kan kalau ada lomba misalnya itu ada dooprize-nya. Kalau seandainya dapat doorprize itu tidak termasuk yang dibebaskan,” katanya dalam Media Briefing di Jakarta, Selasa (25/2). Chotibul berharap dengan adanya aturan baru ini, tidak ada lagi kebingungan terkait dengan pengenaan bea masuk dan pajak atas barang kiriman hadiah perlombaan.   Sumber: https://money.kompas.com/read/2025/02/25/172346226/dapat-doorprize-dari-luar-negeri-tetap-kena-pajak-dan-bea-masuk.

Kendala Akses DJP Online? Simak Solusi DJP

Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU KUP, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah paling lama pada 3 bulan setelah tahun pajak berakhir. Artinya, SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2024 paling lambat disampaikan pada tanggal 31 Maret 2025. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan bahwa untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2024 dilakukan lewat aplikasi DJP Online, tidak menggunakan aplikasi Coretax. Bagi wajib pajak yang akan melakukan pelaporan, Tim Redaksi Ortax merangkum beberapa kendala yang mungkin timbul saat mengakses DJP Online beserta solusi yang dapat dilakukan berdasarkan informasi DJP. Gagal Autentikasi Saat ini, DJP telah mengimplementasikan multi-factor authentication (MFA) untuk masuk atau login ke akun DJP Online wajib pajak. Sistem MFA akan mengirimkan token kepada wajib pajak. Token tersebut kemudian digunakan untuk masuk ke akun DJP Online. Saat ini wajib pajak dapat memilih salah satu dari opsi MFA, yakni email, SMS, aplikasi M-Pajak, atau melalui Mobile Authenticator. Kode Verifikasi Tidak Diterima Sebagian besar wajib pajak mengeluhkan kode verifikasi/token yang dikirimkan oleh sistem DJP tidak diterima oleh wajib pajak. Banyak wajib pajak menerima kode verifikasi setelah lebih dari 2 jam sementara kode tersebut hanya berlaku 2 jam. Per Rabu (26/02/2025), DJP melalui akun X @kring_pajak menyampaikan telah dilakukan perbaikan terkait kendala tersebut. Apabila wajib pajak belum menerima kode verifikasi melalui email, DJP mengimbau wajib pajak untuk menggunakan metode verifikasi lain, seperti SMS, m-Pajak, atau mobile authenticator. Error Autentikasi Kendala lain yang timbul pada saat saat login ke akun DJP Online adalah error dengan keterangan “Pesan Kesalahan:SO018: Autentikasi tidak berhasil”. Terkait kendala ini, DJP melalui salah satu unggahannya meminta wajib pajak untuk mencoba kembali secara berkala. Sebelum mencoba kembali, disarankan melakukan clear cache & cookies pada browser, atau gunakan browser lain/mode private/incognito window. Lupa Password DJP Online Jika lupa password atau kata sandi, wajib pajak dapat mengajukan penggantian password dengan mengklik “Lupa Kata Sandi?” pada laman login DJP Online. Kemudian, masukkan NPWP, EFIN, serta kode keamanan. Lalu, klik Submit. Tautan untuk reset password akan dikirimkan ke email terdaftar. Lupa EFIN Saat melakukan permohonan ubah kata sandi, wajib pajak juga diminta untuk memasukkan EFIN. Wajib pajak orang pribadi yang ingin meminta EFIN kembali dapat menghubungi telepon Kring Pajak melalui nomor 1500200 pada hari kerja pukul 08.00–16.00 WIB. Wajib pajak juga dapat meminta EFIN melalui Live Chat pada laman www.pajak.go.id, mengirimkan email ke lupa.efin@pajak.go.id, atau aplikasi M-Pajak. Selain itu, wajib pajak orang pribadi bisa datang langsung ke KPP/KP2KP terdekat pada hari kerja pukul 08.00–16.00 waktu setempat.   Sumber: https://ortax.org/kendala-akses-djp-online-simak-solusi-djp

Gali Pajak Lewat Shadow Economy, Mungkinkah?

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah kembali menegaskan ingin menggali pajak dari shadow economy alias ekonomi bayangan. Kendati demikian, pakar ragu pemerintah bisa mengantongi banyak penerimaan dari shadow economy. Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono mendefinisikan kegiatan ekonomi, baik secara legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, shadow economy bisa dibagi menjadi empat kategori yaitu illegal economy (ekonomi ilegal), unreported economy (ekonomi tak terlapor), unrecorded economy (ekonomi tak terekam), dan informal economy (ekonomi tak resmi). “Ketika didiskusikan shadow economy, harus disepakati dulu apa cakupan dan pengertian dari shadow economy tersebut. Setelah tahu rinciannya, kita bakal paham apakah realistis jika pajaknya digali,” ujar Prianto kepada Bisnis, Kamis (20/2/2025). Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia (UI) ini mencontohkan illegal economy seperti perdagangan narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan, dan penipuan. Oleh sebab itu, sambungnya, pajak tidak dapat dikenakan atas transaksi illegal economy karena aktivitasnya melanggar hukum. Prianto mengatakan aparat penegak hukum harus menindak aktivitas illegal economy terlebih dulu sebelum pajaknya bisa dipungut. Sementara itu, dia mencontohkan unreported economy sebagai transaksi ekonomi yang tidak dilaporkan ke otoritas pajak karena menghindari aturan pajak. Untuk hal ini, pajak dapat dikenakan, meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya. Selanjutnya, lanjut Prianto, wajib pajak yang diperiksa tersebut dapat melakukan perlawanan sehingga timbul sengketa pajak. Kasus demikian mengakibatkan otoritas pajak tidak langsung mendapatkan setoran pajak karena harus menunggu putusan pengadilan yang sudah inkrah. Lalu, dia mencontohkan unrecorded economy sebagai aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dan tidak masuk di dalam data resmi seperti pembayaran upah karyawan dilakukan secara diam-diam, pekerjaan mengasuh anak tidak dilaporkan, hingga transaksi barter tidak melibatkan pertukaran uang tunai. Oleh sebab itu, pajak dapat dikenakan juga meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya. Dalam konteks ini, kasusnya sama dengan unreported economy karena wajib pajak dapat mengajukan ketidaksetujuannya sehingga muncul sengketa pajak. Terakhir, Prianto mencontohkan informal economy sebagai transaksi di pedagang asongan/kaki lima/keliling, warung, toko kelontong, pekerja rumah tangga, tukang ojek, penarik becak, pengemudi bajaj, pemulung sampah, dan sejenisnya. Menurutnya, tidak banyak pajak yang dapat dipungut dari sektor ekonomi informal. Dia pun menyimpulkan berdasarkan empat jenis shadow economy, potensi pajak yang dapat digali hanya di sektor unrecorded dan unreported economy. “Namun demikian, peluang untuk mendapatkan cuan pajak tidak mudah karena akan ada perlawanan pajak. Otoritas pajak tidak bisa secara langsung memungut pajak,” kata Prianto. Di samping itu, direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu menekankan sektor unrecorded dan unreported economy dapat menyumbang pajak apabila wajib pajaknya setuju dengan perhitungan pajak oleh petugas pajak. Kondisi demikian, jelasnya, terjadi selama perhitungan pajak dari kantor pajak didukung oleh bukti yang kuat. Ringkasnya, Prianto menilai target tambahan penerimaan negara sebesar Rp1.464 triliun setiap tahunnya dari shadow economy kurang realistis. Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250220/259/1841344/gali-pajak-lewat-shadow-economy-mungkinkah