Pengusaha yang melakukan penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, wajib melaporkan usahanya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ketentuan ini tidak berlaku bagi pengusaha kecil, yaitu pengusaha yang dalam 1 (satu) tahun pajak menyerahkan BKP/JKP dengan omzet atau penerimaan bruto tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yaitu Rp4,8 miliar. Apabila omzet atau penerimaan bruto melebihi batas tersebut, pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat pada akhir tahun pajak. Tempat Kegiatan Usaha Pengusaha yang akan dikukuhkan sebagai PKP wajib menentukan tempat kegiatan usaha sebagai alamat utama PKP. Tempat kegiatan usaha PKP dapat pula berupa tempat tinggal dan/atau tempat kedudukan PKP di mana kegiatan usaha yang sesungguhnya dilakukan. Selain itu, khusus bagi Pengusaha Badan Usaha, dapat menggunakan Kantor Virtual sebagai tempat kegiatan usaha pada saat dikukuhkan sebagai PKP. Berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-7/PJ/2025 disebutkan bahwa Kantor Virtual adalah kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan jasa penunjang kantor yang disediakan oleh Pengusaha jasa kantor virtual untuk dijadikan tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau surat-menyurat secara bersama-sama oleh 2 (dua) Pengusaha atau lebih yang atas penggunaan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa sewa gedung dan jasa sewa kantor (serviced office). Pengusaha yang menggunakan Kantor Virtual sebagai tempat pengukuhan PKP harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yaitu pertama, berdomisili di Kantor Virtual dan hanya memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha di Kantor Virtual tersebut; dan kedua, berdomisili di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Untuk kriteria pertama, harus memenuhi persyaratan memiliki klasifikasi bidang usaha utama di sektor jasa yang kegiatan usahanya dapat dilakukan di Kantor Virtual, memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis dengan jangka waktu kontrak penggunaan Kantor Virtual paling singkat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengajuan permohonan PKP, dan tidak menggunakan Kantor Virtual semata-mata sebagai alamat korespondensi. Kemudian untuk kriteria kedua, harus memenuhi persyaratan tidak memiliki tempat kegiatan usaha lain di luar kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis dengan jangka waktu kontrak penggunaan Kantor Virtual paling singkat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan PKP, dan tempat kegiatan usaha yang berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas tersebut telah teruji dan terbukti benar-benar memiliki kegiatan usaha. Pengawasan Administrasi PKP Pengusaha Kena Pajak (PKP) sesungguhnya telah dilakukan pengawasan sejak mengajukan permohonan untuk dikukuhkan sebagai PKP, yaitu melalui penelitian kantor. Dimana penelitian kantor ini dilakukan dengan cara meneliti data dan/atau dokumen yang dilampirkan Wajib Pajak pada permohonan pengukuhan PKP dengan data dan informasi yang tersedia dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Setelah dikukuhkan sebagai PKP melalui penerbitan dokumen SPPKP (Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak), dalam rangka administrasi PKP, selanjutnya Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan terhadap PKP dengan menguji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP. Pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan di alamat tempat usaha PKP untuk menguji dan membuktikan data dan dokumen yang disampaikan PKP mengenai lokasi usaha dan kegiatan […]
Pengajuan SKTD PPN Belum Tersedia Melalui Coretax, Wajib Pajak Bisa Gunakan DJP Online
Pengajuan Surat Keterangan Tidak Bayar (SKTD) PPN belum dapat dilakukan melalui Coretax DJP. Menu aplikasi SKTD PPN di Coretax DJP saat ini masih dalam tahap pengembangan sehingga belum dapat digunakan. Pengajuan SKTD PPN 2025 masih dapat dilakukan melalui DJP Online. Persyaratan wajib pajak penerima SKTD dan tata cara pengajuan dapat dilihat pada PMK41/PMK.03/2020. Ketentuan mengenai Surat Keterangan Tidak Diwarna (SKTD) yang diatur dalam PMK 41/2020 merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 50/2019. Merujuk pada Pasal 1 angka 3 PMK 41/2020, Surat Keterangan Tidak Diwarna (SKTD) adalah: Surat keterangan yang menyatakan bahwa wajib pajak telah menerima fasilitas pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan alat angkut tertentu, serta perolehan dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak yang berkaitan dengan alat angkut tertentu. Secara ringkas, alat angkut tertentu yang impornya dibebaskan dari PPN dibagi menjadi tujuh kelompok alat angkut. Selanjutnya, alat angkut tertentu yang penyerahannya dibebaskan dari PPN terdiri dari enam kelompok alat angkut. Kelompok alat angkut khusus ini meliputi alat angkut darat, air, dan udara. Sementara itu, jasa terkait alat angkut tertentu yang dibebaskan dari PPN dibagi menjadi dua kelompok: jasa yang diserahkan di dalam daerah pabean dan jasa yang diserahkan di luar daerah pabean. Rincian jenis angkutan dan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu yang dapat memperoleh fasilitas pembebasan PPN tercantum dalam PMK 41/2020. Pada dasarnya, SKTD digunakan untuk memberikan fasilitas pembebasan PPN atas impor atau penyerahan alat angkut tertentu dan penyerahan JKP terkait alat angkut tertentu.
Dividen dan Penghasilan Luar Negeri Lainnya Bebas Pajak, Berikut Persyaratan dan Cara Melaporkannya melalui Coretax
Pemerintah telah membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen dan penghasilan luar negeri lainnya mulai 1 Januari 2025. Namun, wajib pajak harus memenuhi persyaratan dan melaporkannya melalui Coretax. Apa saja persyaratannya dan bagaimana cara melaporkannya? Simak ulasan berikut yang dihimpun Pajak.com dari keterangan resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Persyaratan Dividen Bebas Pajak Persyaratan dividen dan penghasilan luar negeri lainnya bebas pajak diatur dalam Pasal 370, 371, dan 374 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024). Berikut detailnya: Wajib diinvestasikan pada: Saham; Reksa Dana; Emas batangan; Rekening tabungan; dan Penyertaan modal, surat berharga, dan sektor riil; Batas waktu investasi paling lambat 31 Maret tahun berikutnya, dan investasi tersebut harus dimiliki minimal 3 tahun. Serahkan laporan realisasi investasi. Cara Melaporkan Realisasi Investasi Dividen dan Penghasilan Luar Negeri Bebas Pajak Lainnya melalui Coretax Berikut cara melaporkan realisasi investasi dividen dan penghasilan luar negeri bebas pajak lainnya melalui Coretax: Masuk ke coretaxdjp.pajak.go.id; Buka “Layanan Wajib Pajak”, pilih “Layanan Administrasi”, lalu “Buat Permintaan Layanan Administrasi”; Pada menu “Jenis Layanan Wajib Pajak” di sebelah kiri, klik “Pelaporan Elektronik AS.39”, lalu pilih “AS.39-01 LA”; Klik submenu “Alur Kasus”; Isi semua yang bertanda bintang; Klik “Tambah Data” untuk melengkapi formulir “Laporan Dividen atau Penghasilan Lain” yang telah diterima dan akan dilaporkan. Isi periode pelaporan dengan angka: 1 untuk pelaporan dividen lain yang diterima pada tahun 2024; 2 untuk pelaporan dividen lain yang diterima pada tahun 2023; dan 3 untuk pelaporan dividen lain yang diterima pada tahun 2022. Pilih “Jenis Penghasilan”, yang mencakup dividen dari dalam atau luar negeri, penghasilan setelah pajak dari bentuk usaha tetap (BUT), dan penghasilan dari luar negeri tanpa bentuk usaha tetap (BUT). Isi data sesuai dengan “Jenis Penghasilan” yang dipilih, termasuk dividen dalam negeri dan luar negeri. Klik “Simpan” jika semua informasi dalam laporan dividen atau penghasilan lain sudah benar. Klik “Tambah Data” untuk melengkapi laporan investasi sesuai dengan persyaratan jenis investasi. Pilih tanggal investasi dilakukan. Pilih jenis investasi. Pilih mata uang investasi dividen atau penghasilan lain, masukkan jumlah investasi, dan klik “Simpan”; Pastikan status wajib pajak aktif. Jika belum, silakan klik tombol “Perbarui Pemenuhan Kewajiban Pajak”; Klik “Buat PDF”, pilih klasifikasi huruf, lalu klik “Simpan”; Klik “Tanda Tangan” untuk menandatangani laporan secara elektronik; Pilih penyedia tanda tangan Anda, masukkan frasa sandi, klik “Simpan”, lalu klik “Kirim”; dan Laporan realisasi investasi selesai ketika muncul notifikasi “Perkara Selesai”. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan kita bahwa laporan investasi wajib disampaikan secara berkala paling lambat akhir bulan ketiga (Maret) bagi wajib pajak orang pribadi, atau akhir bulan keempat (April) bagi wajib pajak badan setelah akhir tahun pajak. Laporan realisasi wajib disampaikan paling lambat tahun ketiga tahun penerimaan atau perolehan dividen atau penghasilan.
Berbagai Insentif Pajak Mendorong Industri untuk Memproduksi Alat Kesehatan di Dalam Negeri
Kementerian Perindustrian mendorong para pelaku industri untuk memproduksi berbagai alat kesehatan di dalam negeri. Solehan, Direktur Industri Mesin dan Peralatan Pertanian Kementerian Perindustrian, menyatakan bahwa Kementerian terus mendorong pengembangan industri alat kesehatan dalam negeri. Selain itu, pemerintah telah memberikan berbagai insentif perpajakan seperti pembebasan pajak (tax holiday), keringanan pajak (tax allowance), dan supertax deduction. “Mari kita manfaatkan momentum ini untuk mendorong lebih banyak investasi langsung asing (FDI) yang berfokus pada transfer teknologi dan pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan vokasional yang relevan dengan Industri 4.0, seperti otomatisasi dan AI pada alat kesehatan,” ujarnya, seperti dikutip pada Kamis (11 September 2025). Solehan menyatakan bahwa Kementerian Perindustrian terus mendukung pengembangan industri alat kesehatan berteknologi tinggi, seperti ventilator dan mesin anestesi, melalui berbagai strategi yang komprehensif dan berkelanjutan. Salah satu fokus utamanya adalah pengembangan sumber daya manusia melalui program pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan industri alat kesehatan, termasuk dalam pengembangan desain, proses produksi, analisis material, pengujian, dan transformasi Industri 4.0. Lebih lanjut, Kementerian Perindustrian mendorong penguatan pasar domestik dengan mendorong pembelian produk dalam negeri melalui program Pemanfaatan Produk Dalam Negeri (P3DN), serta memperkuat rantai pasok industri dalam negeri dengan membina industri komponen dan bahan baku untuk menciptakan ekosistem industri yang terintegrasi. Menurutnya, Kementerian Perindustrian juga mendorong pelaku industri untuk memanfaatkan peluang substitusi impor dan meningkatkan upaya ekspor produk melalui produksi ventilator dan mesin anestesi dalam negeri. “Kolaborasi dengan mitra strategis merupakan salah satu kunci percepatan inovasi. Melalui kolaborasi riset, transfer teknologi, dan pengembangan kapasitas produksi, industri kita akan mampu menghasilkan produk alat kesehatan modern yang memenuhi kebutuhan pasar,” ujarnya. Pemerintah telah menyediakan berbagai skema insentif pajak bagi pelaku usaha, termasuk di sektor alat kesehatan. Misalnya, pembebasan pajak (tax holiday) diberikan kepada industri pionir. Pembebasan pajak ini didasarkan pada beberapa ketentuan, terutama terkait nilai modal yang ditanamkan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69/2024, pemerintah resmi memperpanjang masa pembebasan pajak berdasarkan PMK 130/2020 hingga 31 Desember 2025. Selain itu, terdapat insentif keringanan pajak yang diberikan kepada wajib pajak yang berinvestasi dan memenuhi kriteria memiliki nilai investasi tinggi atau untuk ekspor, memiliki tenaga kerja yang besar, atau memiliki kandungan lokal yang tinggi. Melalui fasilitas ini, wajib pajak akan menikmati pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah investasi dalam bentuk aset tetap berwujud, termasuk tanah, yang dikenakan pajak selama enam tahun dengan tarif 5% per tahun. Selain itu, terdapat insentif pengurangan pajak super bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan vokasi serta penelitian dan pengembangan. Dengan pengurangan pajak super vokasi, wajib pajak menerima pengurangan penghasilan bruto maksimum sebesar 200% dari biaya penyediaan pengalaman kerja, pemagangan, atau pembelajaran. Sementara itu, untuk pengurangan pajak super R&D, wajib pajak menerima pengurangan pendapatan bruto maksimum 300% dari biaya R&D tertentu di Indonesia.
Akankah Pajak Minimum Global Berdampak pada Insentif? Berikut Tanggapan Pemerintah
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyatakan bahwa pemerintah masih menyelesaikan penerapan pajak minimum global (GMT). Susiwijono menyatakan bahwa regulasi yang mengatur pajak minimum global telah diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan 136/2024. Namun, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kembali mengundang Kementerian Keuangan untuk membahas waktu penerapannya. “Terkait GMT, saat ini kami sedang membahasnya dengan Kementerian Keuangan, karena Menteri Keuangan sudah memiliki regulasinya. Namun, seperti halnya negara lain, kami masih mengkaji implementasinya,” ujarnya, Selasa (9 September 2025). Susiwijono mengatakan bahwa penerapan pajak minimum global akan memengaruhi insentif perpajakan yang ada. Hal ini dikarenakan Indonesia, sebagai negara berkembang, juga mengandalkan insentif perpajakan untuk menarik investasi. Dengan keengganan Amerika Serikat untuk mengadopsi dan menerapkan pajak minimum global, banyak negara bersiap untuk mengikutinya. Beberapa negara dilaporkan telah menunda penerapan pajak minimum global. Menurutnya, posisi Indonesia serupa dengan negara-negara lain yang belum menerapkan kebijakan pajak minimum global. “Negara-negara lain juga belum [menerapkan GMT],” kata Susiwijono. Ketentuan pajak minimum global dirancang untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional besar membayar pajak pada tingkat minimum di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mengurangi pengalihan keuntungan dan membatasi persaingan yang menawarkan tarif pajak rendah (perlombaan menuju dasar). Pajak minimum global berlaku untuk grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal €750 juta dalam setidaknya dua dari empat tahun pajak sebelum tahun pajak di mana pajak minimum global diberlakukan. Jika entitas konstituen dari grup perusahaan multinasional membayar pajak dengan tarif efektif kurang dari 15%, entitas tersebut akan dikenakan pajak tambahan sebesar selisih antara tarif efektif dan tarif minimum 15%. Indonesia telah mengadopsi dan menerapkan pajak minimum global sesuai dengan ketentuan GloBE melalui penerbitan PMK 136/2024. Dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini, Indonesia akan menerapkan aturan pencantuman pendapatan (IIR) dan pajak tambahan domestik yang memenuhi syarat (QDMTT) mulai tahun 2025, sementara aturan pembayaran pajak yang kurang dibayar (UTPR) baru akan diterapkan tahun depan. Penerapan pajak minimum global dikhawatirkan akan berdampak pada daya saing investasi, terutama di kawasan ekonomi khusus (KEK). Untuk menarik investasi ke KEK, pemerintah telah menawarkan berbagai insentif, termasuk pembebasan pajak (tax holiday) dan keringanan pajak (tax allowance). Namun, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto baru-baru ini menyatakan bahwa pemerintah juga sedang menyiapkan tiga skema insentif baru sejalan dengan penerapan pajak minimum global. Ketiga insentif tersebut adalah subsidi tunai untuk investasi di sektor strategis; kredit pajak yang dapat dikembalikan (refundable tax credits); dan kredit pajak yang tidak dapat dikembalikan (nonrefundable tax credits).
Badan Usaha yang Membeli Batubara dan Mineral Logam, Apakah Wajib Memotong PPh Pasal 22?
Berdasarkan pada Pasal 217 PMK 81/2024, badan usaha yang membeli batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan usaha atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan dikenakan PPh Pasal 22. Selama transaksi tersebut memenuhi ketentuan Pasal 217 ayat (1) huruf h PMK 81/2024, pembeli wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 22 dan melampirkan bukti pemotongan/pemungutan terpadu. Selain menerbitkan bukti pungut, pembeli juga wajib menyetorkan pembayaran PPh Pasal 22 paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (2) huruf d PMK 81/2024. Perlu diketahui, tarif PPh Pasal 22 atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan usaha atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha adalah sebesar 1,5% dari harga pembelian, belum termasuk PPN. Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) huruf h adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara, bunyi Pasal 271 ayat (5). Sebagai informasi, PMK 81/2024 turut mengatur Pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Merujuk pada pasal 271, PMK tersebut memerinci kriteria pemungut PPh Pasal 22, yaitu: 1. Bank Devisa dan Ditjen Bea dan Cukai atas: – impor barang; dan – ekspor komoditas tambang batu bara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh wajib pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya. 2. Instansi pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan atau mekanisme pembayaran langsung; 3. Badan usaha tertentu meliputi: – BUMN; – Badan usaha dan BUMN yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada BUMN lainnya; dan – Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Indonesia Tbk, sehubungan dengan pembayaran pembelian barang dan/atau bahan untuk kegiatan usahanya; 4. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi, untuk penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri; 5. Agen tunggal, agen merek, dan importir umum kendaraan bermotor, untuk penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri; 6. Produsen atau importir Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan Pelumas, untuk penjualan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan Pelumas; 7. Badan usaha industri atau eksportir yang membeli bahan berupa hasil hutan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses produksi industri, untuk keperluan industri atau ekspor; dan 8. Badan usaha yang membeli batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari […]
Cukai Minuman Manis Hanya untuk Produk Pabrikan
Pemerintah saat ini sedang menggodok penerapan cukai minuman manis dalam kemasan (MBDK). Hal ini berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa proses penyusunan kebijakan cukai MBDK masih membutuhkan proses yang panjang, mulai dari pembahasan lintas kementerian hingga penetapan target penerimaan. “Jadi undang-undang itu nanti kan harus ada penyusunan peraturan pemerintah (PP) Karena penyusunan PP itu kan berarti harus ada inisiatif dan kemudian nanti ada panitia antar kementerian. Jadi semua yang terkait dengan MBDK akan diajak ngomong semua,” ujar Nirwala dalam media briefing, Kamis (4/9/2025). Nantinya, pemerintah akan menghitung mekanisme pemungutan agar sesuai dengan tujuan fiskal maupun kesehatan. Nirwala pun menjelaskan bahwa nantinya, cukai MBDK hanya akan diterapkan untuk minuman berpemanis yang diproduksi melalui pabrik. Seperti minuman manis alam kemasan, sirup, hingga minuman manis berbentuk bubuk. “Termasuk konsentrat sirup kan konsentrat tetap ukurannya adalah kandungan gula dalam mililiter air kalo konsentrat pocari sweat saset, nutrisari itu kena kadarnya nanti kalau di encerkan sesuai takaran berapa,” ujar Nirwala. Sebelumnya keputusan penerapan cukai MBDK telah disepakati dalam Rapat Kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang membahas rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. “Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan objek cukai baru berupa MBDK untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” ujar Ketua Komisi XI, Mukhammad Misbakhun dalam rapat kerja, Jumat (22/8/2025). Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Djaka Budhi menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pengenaan cukai tersebut akan dibahas kembali dengan DPR. Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhammad Misbakhun pun menjelaskan bahwa pengenaan cukai minuman berpemanis dilakukan demi melindungi konsumen dari penyakit diabetes. Penyakit yang diakibatkan diabetes diketahui menjadi beban berat anggaran kesehatan negara. Misbakhun juga menyebut besaran tarif cukai akan ditentukan dengan seksama demi menjaga sektor usaha. “Nanti dikonsultasikan. Jangan sampai memberikan tekanan terhadap sektor industri, sektor riilnya,” ujarnya.
Rumor Pedagang Kecil Jadi Sasaran Pengawasan Pajak: Begini Penjelasannya
Pemerintah berencana mengintensifkan pengawasan terhadap empat sektor ekonomi dengan tingkat aktivitas ekonomi bayangan yang tinggi tahun depan. Sektor-sektor tersebut meliputi perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, dan perikanan. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa otoritas tersebut tidak menargetkan pedagang kecil untuk dikenakan pajak, melainkan memperluas basis pajak dengan mengatur ekonomi bayangan. Pengaturan ekonomi bayangan tentu saja tidak dimaksudkan untuk memberatkan pedagang kecil, melainkan untuk mewujudkan keadilan dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa ekonomi bayangan merupakan kegiatan ekonomi berskala besar yang belum terintegrasi ke dalam sistem perpajakan resmi. Menurut DJP, kegiatan ini berbeda dengan kegiatan ekonomi yang umum dikenal masyarakat, seperti usaha kecil. DJP mencontohkan ekonomi bayangan sebagai usaha dengan omzet tahunan melebihi Rp500 juta, tetapi belum terdaftar di otoritas pajak. Contoh lainnya adalah perdagangan bernilai tinggi yang tidak dilaporkan ke otoritas pajak. Lebih lanjut, terdapat pula sektor-sektor ekonomi besar yang belum terintegrasi ke dalam sistem administrasi perpajakan. DJP menyatakan bahwa sektor-sektor ini harus diatur untuk menjamin keadilan bagi wajib pajak dan negara. Dengan peraturan ini, beban pajak tidak hanya dirasakan oleh wajib pajak yang patuh, tetapi juga terdapat tambahan penerimaan yang dapat dialokasikan untuk program pembangunan. Lebih lanjut, pelaku usaha dapat memperoleh akses pembiayaan dan perlindungan hukum. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyimpulkan bahwa pengaturan ekonomi bayangan tidak dimaksudkan untuk membebani pedagang kecil. DJP menjamin bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan tetap terlindungi. DJP menekankan bahwa peraturan ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan pembangunan berkelanjutan. Yang coba diatur pemerintah adalah ekonomi bayangan, yaitu kegiatan ekonomi berskala besar yang belum masuk sistem resmi.
DJP Luncurkan e-PBK 3.0
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuka kembali layanan pemindahbukuan elektronik (e-PBK) di platform DJP Online pada akhir Agustus 2025. Layanan versi 3.0 ini menggunakan skema permohonan fully-automatic. e-PBK versi 3.0 memproses aplikasi secara otomatis. Wajib pajak menerima produk pengalihan hak milik setelah sistem menyelesaikan validasi data aplikasi. Sistem tidak lagi memerlukan verifikasi manual oleh petugas pajak untuk menerbitkan aplikasi produk hak milik. Layanan e-PBK yang telah dibuka kembali hanya menangani perincian pembayaran PPh final untuk penjualan tanah dan bangunan dengan Kode Rekening Pajak (KAP) 411128 dan Kode Jenis Pembayaran (KJS) 402. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka kembali layanan ini bagi pengembang yang memerlukan perincian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saat menyampaikan Surat Keterangan Validasi (SSP) PPh Khusus. DJP menetapkan empat ketentuan transaksi yang dapat diajukan melalui e-PBK versi 3.0. Pembayaran atas kode billing terbit sebelum 1 Januari 2025 dengan KAP 411128 dan KJS 402. Identitas pemohon dan identitas tujuan pemindahbukuan menggunakan NPWP yang sama. Masa pajak dan tahun pajak harus sama antara sumber dan tujuan pemindahbukuan. KAP dan KJS asal dan tujuan harus menggunakan kode yang sama. Wajib pajak mengajukan permohonan melalui platform DJP Online. Sistem melakukan validasi berdasarkan empat ketentuan yang telah ditetapkan. Jika data valid, sistem mengeluarkan produk hukum pemindahbukuan tanpa proses manual tambahan. Tiga Channel Pembuatan Kode Billing Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan tiga metode untuk menghasilkan kode billing Pajak Penghasilan Final atas Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan (PPH Final) menggunakan KAP-KJS 411128-402. Pertama, wajib pajak penjual mengirimkan kode billing ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat. Kedua, wajib pajak penjual mengirimkan kode billing secara mandiri secara daring melalui CoretaxDJP. Ketiga, wajib pajak penjual atau notaris mengirimkan kode billing melalui Authorized Billing Channel, yang mencakup 16 lembaga. Bank yang terdaftar antara lain Bank Jabar Banten, BCA, Bank Mandiri, BPD Lampung, Bank OCBC, BPD Sumsel Babel, BNP Paribas, Bank of America, BRI, Bank CIMB Niaga, dan Bank Panin. PT Achilles Advanced Systems, PT Garda Bina Utama, Mitra Pajakku, Fintek Integrasi Digital, dan Jurnal Consulting Indonesia juga tersedia sebagai Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Kode billing yang dihasilkan di akun CoretaxDJP notaris hanya dapat digunakan oleh notaris tersebut. Notaris maupun Wajib Pajak tetap dapat membuat kode tagihan atas nama orang lain melalui kanal pembuatan kode tagihan yang dimiliki oleh Bank/Lembaga Persepsi.
Wajib Pajak dengan Peredaran Tertentu Memilih untuk Dikenakan Tarif PPh Umum
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) tertentu sebagaimana diatur dalam PMK 164/2023 tetapi memilih untuk dikenakan tarif umum wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kring Pajak menjelaskan bahwa wajib pajak yang memilih untuk dikenakan tarif PPh umum wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis. Selanjutnya, pengenaan tarif umum tersebut berlaku mulai tahun pajak berikutnya. “Misalnya, jika pemberitahuan pemilihan tarif PPh umum disampaikan pada tahun 2025, maka wajib pajak akan menggunakan tarif umum mulai tahun 2026 dan seterusnya,” demikian pernyataan Kring Pajak di media sosial, Senin (8 September 2025). Merujuk pada Pasal 5 ayat (1) PMK 164/2023, wajib pajak wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada DJP melalui kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar. Pemberitahuan ini dapat dilakukan: secara langsung; melalui pos, oleh perusahaan pelayaran, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman; atau secara elektronik. Penyampaian ini harus dilakukan paling lambat pada akhir tahun pajak. Wajib pajak yang menyampaikan pemberitahuan ini akan dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum perpajakan mulai tahun pajak berikutnya. Wajib pajak yang baru terdaftar dibebaskan dari kewajiban pemberitahuan dan dapat dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum perpajakan mulai tahun pajak terdaftarnya dengan menyampaikan pemberitahuan pada saat pendaftaran. Wajib pajak yang memilih untuk dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum perpajakan dapat menyampaikan pemberitahuan sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam lampiran PMK 164/2023. Selain wajib pajak yang memilih untuk dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum pajak penghasilan, terdapat kriteria wajib pajak lain yang tidak dapat menggunakan tarif pajak penghasilan final 0,5%. Berikut ini adalah beberapa wajib pajak yang dimaksud: Wajib Pajak badan yang berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi dengan keahlian khusus yang memberikan jasa serupa dengan pekerjaan lepas. Wajib Pajak badan menerima fasilitas pajak penghasilan berdasarkan: – Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; – Peraturan Pemerintah 94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, beserta perubahan atau penggantinya; atau – Pasal 75 dan Pasal 78 Peraturan Pemerintah 40/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, beserta perubahan atau penggantinya; dan Wajib Pajak yang berbentuk bentuk usaha tetap.
