Coretax Kerap Bermasalah, Sri Mulyani: Kepada Seluruh Wajib Pajak, Saya Mengucapkan Maaf

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta maaf kepada masyarakat atas kendala-kendala yang terjadi pada sistem Coretax sejak dioperasikan pada 1 Januari 2025. Sistem Coretax merupakan sistem baru di Indonesia yang bertugas melayani seluruh administrasi perpajakan. Oleh karena itu, sebut dia, wajar jika ada beberapa kendala yang terjadi saat awal pengoperasian. Ini menjadi bagian dari perjalanan membangun sistem perpajakan yang lebih terintegrasi, efisien, dan akuntabel. Kendati demikian, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan terus berupaya melakukan perbaikan dengan prinsip praktis dan pragmatis sehingga kendala yang dihadapi dapat segera teratasi. Berdasarkan keterangan tertulis, DJP telah melakukan langkah-langkah perbaikan sistem Coretax, yaitu meliputi perbaikan modul registrasi untuk impersonate dan passphrase, serta penambahan server database. Kemudian juga telah dilakukan perbaikan validasi data skema impor faktur pajak dengan format *.xml, penambahan kanal e-faktur melalui desktop untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan faktur pajak di atas 10.000 dokumen per bulan, serta perbaikan skema penandatanganan digital dalam penerbitan dokumen faktur. Sumber: https://money.kompas.com/read/2025/01/24/113901526/coretax-kerap-bermasalah-sri-mulyani-kepada-seluruh-wajib-pajak-saya

Sistem Coretax Belum Bisa Menghitung DPP Nilai Lain secara Otomatis

Sistem Coretax belum mampu memfasilitasi penghitungan PPN menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual secara otomatis karena skema penggunaan DPP nilai lain tersebut baru diputuskan pada penghujung 2024. Maka, PKP perlu melakukan penghitungan secara manual di luar coretax, lalu meng-input hasil hitungan ke dalam coretax saat pembuatan faktur pajak. Mengingat formula penghitungan PPN menggunakan DPP nilai lain sangat bervariasi, sehingga DJP tidak bisa langsung mengotomatiskan penghitungan PPN menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.

Pemerintah Godok Aturan Baru Terkait PPN Besaran Tertentu di Era Tarif 12%

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) untuk mengatur penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) besaran tertentu dalam era kebijakan tarif 12%. Penyuluh Pajak Ahli Madya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yudha Wijaya mengatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan berbagai aspek agar kebijakan ini tetap selaras dengan aturan sebelumnya dan arahan Presiden Prabowo Subianto. Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) untuk mengatur penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) besaran tertentu dalam era kebijakan tarif 12%. Penyuluh Pajak Ahli Madya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yudha Wijaya mengatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan berbagai aspek agar kebijakan ini tetap selaras dengan aturan sebelumnya dan arahan Presiden Prabowo Subianto. Ia mencontohkan, seperti pengenaan PPN Kegiatan Membangun Sendiri (KMS), di mana berlaku sebesar 20% dari tarif PPN yang berlaku umum. Dengan pemberlakuan tarif menjadi 12%, pemerintah mempertimbangkan apakah aturan ini akan disesuaikan atau tetap berlaku. “Itu nanti apakah 12%? Atau nanti akan ada katalis lain, karena ketika dia menggunakan tarif 12% di sini ada gesekan dengan kebijakan bapak Presiden bahwa tarif 12% hanya berlaku untuk penyerahan barang kena pajak yang berkategori mewah,” ujar Yudha dalam Webinar Bijak yang digelar MUC Consulting, Senin (20/1). Saat dikonfirmasi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti menambahkan bahwa pembahasan mengenai RPMK tersebut sedang dilakukan pembahasan. “Dapat kami sampaikan bahwa pembahasan mengenai RPMK atas peraturan perpajakan berkaitan dengan barang dan jasa tertentu sedang dilakukan,” kata Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (21/1). Sementara itu, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai bahwa pemerintah memang perlu segera menerbitkan regulasi baru yang mengatur PPN besaran tertentu dan nilai lain, yang sejauh ini belum tercakup dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Wahyu menjelaskan, transaksi terkait PPN besaran tertentu dan nilai lain memang sudah memiliki peraturan khusus yang terpisah. “Jadi, tidak masuk ke pengaturan PMK 131/2024. Artinya, tidak menggunakan DPP 11/12. Sehingga, secara general memang tarif efektifnya naik, mengikuti kenaikan tarif umumnya, sebesar 12%,” kata Wahyu. Ia berharap agar aturan teknis dalam bentuk PMK ini bisa segera terbit sehingga memberikan kepastian hukum yang jelas. “Semoga PMK-nya segera terbit, untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya,” imbuhnya. Sebagai informasi, Pasal 2 PMK 131/2024 menyatakan tarif PPN sebesar 12% langsung dihitung dari harga jual atau nilai impor untuk barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah. Kemudian, Pasal 3 PMK 131 Tahun 2024, PPN untuk BKP non-mewah dan jasa kena pajak (JKP) dihitung dengan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian, sehingga menghasilkan tarif efektif PPN sebesar 11%. Hanya saja, pada Pasal 4 beleid yang sama, ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tidak berlaku untuk PPN yang terutang atas BKP/dan atau JKP dengan DPP berupa nilai lain dan besaran tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan terpisah. Dengan begitu, tarif pengalinya meningkat dari 11% menjadi 12, sehingga menyebabkan kenaikan pada objek PPN besaran tertentu, salah satunya adalah Kegiatan Membangun Sendiri (KMS).   Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-godok-aturan-baru-terkait-ppn-besaran-tertentu-di-era-tarif-12

DJP Rilis Pengumuman Soal Lapor SPT PPh Tahun 2024, Ini Penjelasannya!

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara resmi mengumumkan panduan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2024. Pengumuman tersebut disampaikan melalui Pengumuman Nomor PENG-9/PJ.09/2025 yang ditandatangani oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, di Jakarta pada 21 Januari 2025. Dalam pengumuman tersebut, DJP mengingatkan bahwa pelaporan SPT tahunan PPh tahun pajak 2024 dapat dilakukan melalui kanal resmi yang telah disediakan. Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan dapat melapor menggunakan aplikasi DJP online di https://djponline.pajak.go.id. Selain itu, pelaporan juga dapat dilakukan melalui aplikasi Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Daftar lengkap PJAP yang telah ditunjuk DJP dapat diakses melalui situs https://pajak.go.id/index-pjap, yang memuat informasi terkini mengenai penyedia layanan tersebut. Mulai tahun pajak 2025, DJP akan menggunakan sistem baru bernama aplikasi core tax DJP. Sistem ini dirancang untuk mempermudah pelaporan pajak dan dapat diakses melalui laman https://coretax.pajak.go.id, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelaporan pajak. DJP menegaskan pentingnya pelaporan SPT sesuai batas waktu yang telah ditentukan dalam ketentuan perpajakan. Wajib Pajak orang pribadi diwajibkan melaporkan SPT paling lambat tiga bulan setelah akhir tahun pajak. Sementara itu, Wajib Pajak badan diberikan batas waktu hingga empat bulan setelah akhir tahun pajak. Apabila Wajib Pajak membutuhkan bantuan atau informasi lebih lanjut, DJP menyediakan sejumlah saluran komunikasi resmi. Bantuan dapat diperoleh melalui kantor pajak terdekat, Kring Pajak 1500200, akun X resmi DJP @kring_pajak, fitur live chat di https://pajak.go.id, atau dengan menghubungi Relawan Pajak. Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo melaporkan bahwa DJP telah menerima 45.554 Wajib Pajak yang sudah lapor SPT tahunan hingga minggu pertama Januari tahun 2025. “Yang menarik, teman-teman wartawan, dalam durasi 6 hari ini, SPT tahunan (masa pajak) tahun 2024 yang dimasukkan di tahun 2025, itu sudah terkumpul sebanyak 45.554 SPT. Jumlah ini terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi sebanyak 43.126 SPT dan Wajib Pajak badan atau perusahaan ada 2.428 SPT,” ungkap Suryo dalam Konferensi Pers APBN 2024. Sementara itu, realisasi penyampaian SPT tahunan masa pajak 2023 hingga 31 Desember 2024 mencapai 16.529.427. Realisasi tersebut mencapai 103,05 persen dari target sebanyak 16.040.339 SPT tahunan.

Faktur Pajak “Signing In Progress” Berakhir Jadi “Save Invalid”?

Pasca implementasi Coretax, sebagian wajib pajak masih kesulitan dalam pembuatan faktur pajak. Salah satu kendala yang dialami adalah proses penandatanganan yang lama, dan faktur pajak berakhir tidak dapat tersimpan. Saat ditandatangani, faktur pajak yang diunggah akan berubah status menjadi Signing in Progress. Apabila telah selesai, faktur pajak akan berstatus Approved. Namun, banyak wajib pajak yang mengeluhkan proses pembubuhan tanda tangan memakan waktu relatif lama, mulai dari hitungan jam hingga beberapa hari. Banyak juga wajib pajak yang telah menunggu dalam waktu lama, faktur pajak tersebut gagal disimpan dan berstatus Saved Invalid. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui unggahan akun X @kring_pajak menyampaikan bahwa proses signing ke Approve seharusnya tidak berlangsung lama. Dari pantauan tim Redaksi Ortax, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala ini. Reset Passphrase Signing in Progress yang lama menandakan proses signing faktur pajak gagal. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melakukan reset passphrase. Reset passphrase dilakukan untuk wajib pajak yang menandatangani faktur pajak dengan kode otorisasi. Untuk mengatur ulang passphrase, ajukan kembali kode otorisasi. Pada saat membuat passphrase, pastikan tidak ada karakter yang tidak disarankan untuk digunakan( `, /, dan +). Selain itu, pastikan data benar dan lakukan validasi wajah saat aktivasi. Selanjutnya, coba tandatangani kembali faktur pajak yang berstatus Saved Invalid dengan kode otorisasi yang baru. Ganti Pihak yang Menandatangani Faktur Pajak DJP juga menyarankan untuk melakukan penandatangan oleh pihak lain. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: refresh halaman faktur pajak berstatus Signing in Progress hingga status menjadi Saved Invalid; tambahkan user lain yang sudah memiliki kode otorisasi sebagai wakil wajib pajak (melalui menu pihak terkait) dan berikan role penandatangan Bupot atau Faktur; login menggunakan role user yang sudah menjadi wakil tersebut dan impersonate; dan upload ulang faktur yang berstatus Saved Invalid.   Sumber: https://ortax.org/faktur-pajak-signing-in-progress-berakhir-jadi-save-invalid-coba-cara-ini

Membuat Faktur Pajak Pelunasan atas Transaksi Tahun 2024 di Sistem Coretax

Mulai 1 Januari 2025, pengusaha yang dikenakan pajak (PKP) akan mengelola pembuatan faktur pajak menggunakan aplikasi Coretax. Aplikasi e-Faktur masih akan digunakan untuk merancang faktur pajak hingga periode pajak Desember 2024. Pertanyaannya adalah, apa yang terjadi jika PKP membuat faktur pajak pelunasan untuk transaksi yang faktur pajaknya telah diterbitkan di aplikasi e-Faktur? Faktur Pajak Pelunasan Menggunakan Aplikasi Coretax Dalam praktik bisnis, pembayaran secara bertahap atau dengan uang muka adalah hal yang umum. PKP akan menerbitkan faktur pajak untuk uang muka saat pembayaran awal dilakukan. Ketika pelunasan dilakukan, PKP akan menghasilkan faktur pajak pelunasan. Untuk membuat faktur pajak pelunasan di Coretax, PKP perlu mengakses menu e-Faktur, memilih Pajak Keluaran, dan kemudian mengklik tombol Buat Faktur. Selanjutnya, PKP harus mengisi informasi Dokumen Transaksi. Pada bagian ini, centang opsi Pelunasan, dan masukkan Nomor Faktur. Faktur Pajak Pelunasan Untuk Transaksi Sebelum Januari 2025 Dengan adanya perubahan aplikasi, ada kemungkinan faktur dibuat menggunakan aplikasi yang berbeda. Faktur pajak uang muka diterbitkan melalui e-Faktur karena transaksi dilakukan sebelum Januari 2025, sedangkan faktur pelunasan dibuat di Coretax karena pelunasan terjadi di bulan Januari 2025. Untuk membuat faktur pajak pelunasan, diperlukan nomor faktur pajak uang muka. Namun, jika memasukkan nomor faktur pajak uang muka yang sebelumnya dibuat di e-Faktur, Coretax akan memunculkan pesan error (” … FormFaktur … tidak ditemukan”). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui salah satu unggahannya pada akun X @kring_pajak menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena data pada e-Faktur tidak terpanggil ke aplikasi Coretax. DJP menjelaskan bahwa faktur pajak pelunasan di Coretax sebaiknya dibuat seperti faktur pajak biasa. PKP tidak perlu mencentang kolom Pelunasan. Pada rincian transaksi, pengisian data BKP/JKP dilakukan berdasarkan total nilai transaksi. Selanjutnya, kolom DPP diisi sebesar 11/12 dari jumlah pelunasan yang diterima. Sumber: https://ortax.org/membuat-faktur-pajak-pelunasan-atas-transaksi-tahun-2024-di-coretax

E-Faktur Desktop Kembali Dibuka DJP

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali membuka e-Faktur Desktop mulai hari ini (16 Januari 2025). Kepada Pajak.com, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Iwan Juniardi menjelaskan bahwa e-Faktur Desktop dapat digunakan bagi Wajib Pajak yang menerbitkan faktur pajak dalam jumlah yang banyak. Keputusan ini merupakan solusi di tengah berbagai kendala pembuatan faktur pajak melalui core tax. ”Iya, (e-Faktur Desktop) sudah bisa (digunakan hari ini). Intinya itu adalah channel tambahan untuk Wajib Pajak yang menerbitkan faktur pajak cukup banyak setiap bulannya,” jelas Iwan melalui pesan singkat, (16/1). Meskipun aplikasi e-Faktur Desktop dibuka kembali, Iwan memastikan, pembuatan faktur pajak melalui core tax tetap bisa dilakukan oleh Wajib Pajak. Selain itu, ia pun menegaskan bahwa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap dilaporkan melalui core tax.  “Iya, pelaporan tetap di core tax,” imbuh Iwan. Adapun konfirmasi ini menindaklanjuti acara Pengarahan Implementasi e-Faktur yang digelar DJP secara daring, pada (15/1). Dalam acara itu, Kepala Seksi Peraturan PPN Perdagangan II DJP Gideon Yulianto juga menyebut bahwa penggunaan e-Faktur Desktop hanya untuk Wajib Pajak tertentu, yaitu Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan faktur pajak lebih dari 10.000 faktur pajak dalam 1 bulan. “Kami memberikan solusi dengan memberikan saluran tambahan pembuatan faktur pajak, e-Faktur Desktop. Itu nanti akan ditetapkan oleh KEP Dirjen (Keputusan Dirjen Pajak). KEP Dirjen itu akan memuat daftar penetapan kriteria tertentu, juga daftar Wajib Pajak yang dapat menggunakan saluran tambahan ini,” ungkap Gideon. Selain itu, DJP akan menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak (PER) yang mencakup 7 pokok utama. Pertama, pembuatan faktur pajak melalui modul dalam Portal Wajib Pajak dilakukan oleh PKP tertentu yang membuat faktur pajak dengan jumlah tertentu. Kedua, PKP tertentu dan jumlah tertentu akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Ketiga, permintaan Nomor Seri faktur pajak (NFSP) oleh PKP tertentu yang menggunakan e-Faktur Desktop dilaksanakan sesuai PER-03/PJ/2022 s.t.d.t.d PER-11/PJ/2022. Keempat, penggunaan sertifikat elektronik serta akun PKP oleh PKP tertentu dilaksanakan sesuai PER-04/PJ/2022. Kelima, pencantuman keterangan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan PPN yang dipungut dalam faktur pajak mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 dan perlu dilakukan penyesuaian pada e-Faktur Desktop. Keenam, struktur kode dan nomor seri faktur pajak yang dibuat dengan modul dalam Portal Wajib Pajak dilakukan penyesuaian oleh DJP. Ketujuh, faktur pajak dilaporkan dalam SPT Masa PPN melalui Portal Wajib Pajak. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/mulai-hari-ini-e-faktur-desktop-kembali-dibuka-djp/

Aturan Baru! Pemerintah Terbitkan PMK 181/2024 tentang Pengajuan Keberatan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah terbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 181 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pembetulan, Keberatan, Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan di Bidang Perpajakan. Regulasi yang memiliki 9 bab dan 64 pasal ini berlaku mulai 1 Januari 2025. ”Bahwa untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, meningkatkan efektivitas, efisiensi, serta untuk simplifikasi regulasi, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai tata cara pembetulan, keberatan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan di bidang perpajakan,” tulis salah satu pertimbangan dalam PMK Nomor 181 Tahun 2024 itu, dikutip Pajak.com, (21/1). Pengajuan Keberatan Pajak dalam PMK 181/2024 Pengajuan keberatan pajak diatur dalam Bab III PMK 181 Tahun 2024. Regulasi ini mempertegas bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Terutang; atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SKP PBB). Sumber: https://www.pajak.com/pajak/aturan-baru-pemerintah-terbitkan-pmk-181-2024-tentang-pengajuan-keberatan-pajak/

Coretax Masih Dibanjiri Keluhan Oleh Wajib Pajak

Sejak peluncurannya di awal tahun 2025, sistem Coretax yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memfasilitasi pelaporan pajak secara elektronik terus mendapatkan perhatian dari Wajib Pajak. Alih-alih memberikan kemudahan, banyak Wajib Pajak melaporkan berbagai kendala teknis yang mereka alami. Sampai saat ini, 21 hari setelah Coretax diperkenalkan, platform media sosial X (dulu Twitter) masih dipenuhi dengan keluhan berkaitan dengan sistem ini. Salah satu pengguna, @a**g, mengungkapkan bahwa status faktur pajaknya tidak berubah meski sudah mencoba menyegarkan halaman berulang kali. “@kring_pajak, bagaimana supaya faktur di Coretax berubah sudah di refresh dan ditunggu lama, gak berubah juga,” tulisnya. Menurut penelusuran KONTAN, permasalahan yang serupa juga dilaporkan oleh banyak pengguna lain, yang mengklaim tidak dapat menyelesaikan proses pembuatan faktur. Selain itu, seorang pengguna lainnya membagikan tangkapan layar yang menunjukkan pesan kesalahan saat melakukan input retur pajak. Pesan tersebut menyatakan bahwa hanya faktur pajak dengan status tertentu yang dapat diproses. “Faktur Pajak Masukan Desember sudah saya kreditkan di efaktur, tapi waktu mau input nomor faktur di Coretax gak bisa,” tulis pengguna X dengan akun @D**07. Pengguna dengan nama akun @p**in turut mengeluhkan bahwa masalah di Coretax menyebabkan keterlambatan operasional di bulan Januari. Meski demikian, ada beberapa pengguna yang mencoba memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Akun @i**07 mencatat bahwa Coretax menunjukkan beberapa perbaikan. “Coretax sudah mulai bagus, cuman untuk upload/approve faktur secara massal masih belum bisa. Harus satu-satu, dan itu memakan waktu lama,” katanya. Di tengah kekacauan ini, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, turut angkat bicara. Ia menyatakan bahwa pemerintah terlalu terburu-buru dalam meluncurkan Coretax meski sistemnya belum siap sepenuhnya. “Tidak ada tes secara proper yang dilakukan oleh konsultan, baik quality assessment maupun programmer-nya,” ujar Huda kepada Kontan.co.id, Minggu (19/1). Huda menambahkan, pemerintah seharusnya bertanggung jawab lebih dari sekadar pernyataan maaf. Ia bahkan menyarankan agar Dirjen Pajak mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral. Meskipun masyarakat dipastikan tidak didenda, namun secara kerugian negara ada dampaknya ketika aplikasi yang sudah dibangun tidak dapat dimaksimalkan oleh masyarakat. Tak hanya itu, Huda juga menilai perlunya evaluasi terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. “Dirjen pajak sudah sepatutnya juga mundur apabila masih memiliki rasa malu dan bertanggung jawab terhadap problem (masalah) ini,” katanya. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/hampir-3-minggu-beroperasi-coretax-masih-dibanjiri-keluhan-wajib-pajak

Waspada Penipuan Yang Mengatasnamakan Direktorat Jendral Pajak (DJP)

Kantor Pajak (KPP) mengingatkan publik untuk berhati-hati terhadap penipuan yang dilakukan secara online yang menggunakan nama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tipe penipuan ini mencakup phising, pharming, sniffing, money mule, dan rekayasa sosial. Dalam berbagai situasi, pelaku mengambil keuntungan dari pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan Coretax DJP guna melaksanakan tindakan yang tidak etis. Strategi penipuan digital terus mengalami perubahan, termasuk phising, pharming, sniffing, money mule, dan teknik rekayasa sosial. Phising dilakukan melalui surat elektronik, SMS, atau telepon palsu yang mirip dengan komunikasi dari lembaga resmi untuk mengumpulkan informasi pribadi. Pharming membawa korban ke situs yang tidak benar untuk mencuri data atau menginstal perangkat lunak berbahaya. Sniffing memungkinkan penyerang untuk mengakses informasi dari perangkat korban. Money mule melibatkan korban dalam mentransfer uang secara ilegal. Sementara itu, rekayasa sosial memakai manipulasi psikologis untuk memperoleh informasi pribadi. Tanda-tanda penipuan ini meliputi penggunaan bahasa yang menarik atau menakutkan, tawaran imbalan yang tidak nyata, permintaan data pribadi, serta keberadaan situs web atau email yang tidak sah. Untuk mencegah penipuan, sangat penting untuk tidak mengunduh lampiran yang mencurigakan, memeriksa keaslian situs web atau email, serta selalu menggunakan perangkat lunak keamanan yang terbaru. Selain itu, penting untuk melaporkan aktivitas penipuan kepada pihak berwenang guna melindungi orang lain. Masyarakat diingatkan untuk tidak menanggapi permintaan yang tidak sesuai dengan prosedur standar operasional perpajakan, seperti telepon atau pesan WhatsApp dari orang yang mengklaim sebagai petugas DJP, permintaan untuk mengunduh aplikasi yang tidak benar, serta permintaan untuk melakukan pembayaran. Sumber: https://ambon.antaranews.com/berita/249710/waspadai-penipuan-mengatasnamakan-dirjen-pajak-ini-modusnya