Perdagangan aset kripto di Indonesia menunjukkan tren yang dinamis dan progresif. Meskipun berfluktuasi, nilai transaksi dan jumlah pengguna terus meningkat. Sebagai perbandingan, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pengguna aset kripto pada tahun 2024 mencapai 22,91 juta, meningkat signifikan dibandingkan dengan 17,4 juta pada tahun 2023. Nilai transaksi juga mencapai Rp650,61 triliun pada tahun 2024, meningkat lebih dari 300% dibandingkan dengan Rp149,25 triliun pada tahun 2023. Nilai transaksi yang substansial ini tentu saja berdampak pada penerimaan pajak. Dalam siaran persnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa penerimaan pajak kripto per Desember 2024 mencapai Rp1,09 triliun. Penerimaan ini berasal dari Rp246,45 miliar pada tahun 2022, Rp220,83 miliar pada tahun 2023, dan Rp620,4 miliar pada tahun 2024. Ketentuan Perpajakan Terbaru Menyusul pergeseran fungsi aset kripto dari komoditas menjadi instrumen keuangan, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 50/2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Dalam peraturan terbaru ini, Aset Kripto didefinisikan sebagai representasi digital dari suatu nilai yang dapat disimpan dan ditransfer menggunakan teknologi yang memungkinkan penggunaan buku besar terdistribusi seperti blockchain untuk memverifikasi transaksi dan memastikan keamanan serta validitas informasi yang tersimpan. Aset kripto tidak dijamin oleh otoritas sentral seperti bank sentral, melainkan diterbitkan oleh pihak swasta. Aset kripto dapat ditransaksikan, disimpan, dan dipindahkan atau dialihkan secara elektronik, dan dapat berupa koin digital, token, atau representasi aset lainnya yang mencakup aset kripto terdukung (backed crypto-asset) dan aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto-asset). Pengenaan Pajaknya pun juga berubah , di Pasal 2 diatur bahwa Atas penyerahan Aset Kripto yang dipersamakan dengan surat berharga tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Namun di pasal yang sama diatur Atas penyerahan Jasa Kena Pajak berupa jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi perdagangan Aset Kripto, oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; dan/atau Jasa Kena Pajak berupa jasa verifikasi transaksi Aset Kripto oleh Penambang Aset Kripto dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Penyerahan aset kripto tidak lagi dikenai PPN namun jasa – jasa yang terkait dengan transaksi asset kripto tetap dikenai PPN. Tarif Pajak terbaru Dalam PMK 50/2025 diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas Jasa Kena Pajak terkait transaksi Aset Kripto dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% (dua belas persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean. Sedangkan untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Penjual Aset Kripto; Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; atau Penambang Aset Kripto, sehubungan dengan Aset Kripto dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif sebesar 0,21% (nol koma dua puluh satu persen) dari nilai transaksi Aset Kripto. Tarif tersebut meningkat jika dibandingkan peraturan sebelumnya yang hanya sebesar 0,1% (nol koma satu persen). Pajak penghasilan Pasal 22 tersebut bersifat final.
Pedagang Curang Soal Omzet, Marketplace Tak Perlu Validasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa penyedia marketplace tidak wajib memverifikasi keaslian omzet pedagang dalam negeri yang berjualan di marketplace. Apabila pedagang dalam negeri menyampaikan surat pernyataan bahwa omzetnya tidak melebihi Rp500 juta, penyedia marketplace tidak wajib memungut PPh Pasal 22 atas omzet bruto pedagang di marketplace. “Marketplace tidak wajib memvalidasi apakah omzetnya benar atau tidak. Jadi, cakupannya hanya sebatas interaksi antara pedagang dan marketplace yang mereka gunakan sebagai tempat berjualan,” ujar Ilmiantio, Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh DJP, dalam diskusi rutin perpajakan (RTD) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dikutip Senin (11 Agustus 2025). Oleh karena itu, kewajiban membayar pajak atas penghasilan yang diterima dari luar marketplace wajib dipenuhi oleh pedagang yang bersangkutan. Misalnya, jika pedagang yang berjualan di pasar swalayan juga berjualan di kios pasar, maka pajak atas penghasilan yang diterima dari penjualan di kios tersebut wajib disetor oleh pedagang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sebagai informasi, pedagang dalam negeri yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP) dapat dibebaskan dari pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh penyelenggara pasar swalayan jika menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan omzetnya tidak melebihi Rp500 juta. Jika omzet pedagang yang merupakan WP Orang Pribadi (WP) melebihi Rp500 juta, pedagang wajib menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan omzetnya telah melebihi Rp500 juta. Surat pernyataan ini wajib disampaikan paling lambat akhir bulan di mana omzet brutonya melebihi Rp500 juta. PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari omzet bruto mulai dipungut pada awal bulan berikutnya setelah surat pernyataan diterima oleh penyelenggara pasar swalayan. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh penyelenggara pasar swalayan dapat diklaim sebagai kredit pajak pada tahun berjalan atau sebagai bagian dari pembayaran PPh final.
Apakah Suami Istri Merupakan Hubungan Istimewa Menurut Perpajakan?
Hubungan istimewa antar wajib pajak orang pribadi juga dapat timbul karena hubungan darah atau perkawinan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan paragraf penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan, serta Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), hubungan istimewa antar wajib pajak orang pribadi juga dapat timbul karena hubungan darah atau perkawinan. Merujuk pada Pasal 18 ayat (4) huruf c, hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda, dalam garis lurus dan/atau satu derajat keturunan. Menurut paragraf penjelasan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, hubungan istimewa antar wajib pajak dapat timbul karena adanya ketergantungan atau keterikatan satu sama lain yang timbul karena: 1. kepemilikan atau penyertaan modal; atau 2. penguasaan melalui pengelolaan atau pemanfaatan teknologi. Lebih lanjut, hubungan istimewa antar wajib pajak orang pribadi juga dapat timbul karena adanya hubungan darah atau hubungan perkawinan. Hubungan darah dalam garis lurus satu derajat didefinisikan sebagai ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan darah dalam garis ke samping satu derajat didefinisikan sebagai saudara kandung. Sementara itu, hubungan keluarga dalam garis lurus satu derajat didefinisikan sebagai mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga dalam garis ke samping satu derajat didefinisikan sebagai mertua. Ketentuan mengenai hubungan istimewa juga diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c PMK 172/2023. Menurut peraturan ini, hubungan istimewa adalah keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lain karena adanya hubungan darah atau ipar.
Solusi Mengatasi Kendala Nomor Telepon Saat Aktivasi Akun Coretax
Wajib pajak dihimbau untuk meminta perubahan data pribadi jika proses aktivasi akun Coretax DJP terhambat oleh kesalahan nomor telepon. Jika terdapat tanda silang di samping kolom email atau nomor telepon pada halaman aktivasi akun di http://coretaxdjp.pajak.go.id, berarti data yang dimasukkan tidak sesuai dengan data yang terdaftar di sistem informasi DJP. Terkait hal ini, wajib pajak perlu untuk menyesuaikan kembali data yang dimaksud. Jika lupa atau tidak mengetahui nomor telepon terdaftar, wajib pajak dapat mengajukan perubahan data pribadi dan mengaktifkan akun Coretax melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat.
Surat Pernyataan Fiskal (SKF) Memiliki Periode Keberlakuan
Wajib Pajak yang memerlukan Surat Keterangan Fiskal (SKF) untuk mendapatkan pelayanan publik atau kegiatan tertentu dapat mengajukan permohonan secara elektronik. Permohonan SKF kini juga dapat diajukan melalui Coretax DJP. Namun, wajib pajak perlu memperhatikan bahwa SKF memiliki masa berlaku terbatas. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-8/PJ/2025, SKF hanya berlaku selama satu bulan sejak tanggal penerbitan. Untuk mendapatkan Surat Keterangan Fiskal (SKF), wajib pajak harus memenuhi tiga persyaratan. Pertama, wajib pajak harus telah menyampaikan: (i) Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) dua tahun pajak terakhir; dan (ii) SPT Masa (SPT) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tiga masa pajak terakhir, sesuai ketentuan. Kedua, wajib pajak tidak memiliki utang pajak atau memiliki utang pajak, tetapi telah mendapatkan izin untuk menunda atau mencicil seluruh utang pajak. Ketiga, wajib pajak tidak sedang menghadapi proses pidana perpajakan. Sesuai peraturan, pengajuan permohonan SKF dilakukan secara elektronik, termasuk melalui Coretax DGT melalui modul Layanan Wajib Pajak, dengan memilih menu Layanan Administrasi dan submenu Buat Permohonan Administrasi. Pada kolom Jenis Layanan Wajib Pajak, cari dan pilih AS.01 Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, lalu pilih Sub Kategori Layanan AS.01-01 LA.01.01-Surat Keterangan Fiskal (SKF). Lihat Cara Mengajukan Surat Keterangan Fiskal (SKF) melalui Coretax DGT. Jika permohonan SKF memenuhi persyaratan, sistem Coretax akan menerbitkan SKF secara otomatis. Namun, jika permohonan SKF tidak memenuhi persyaratan, sistem Coretax akan menampilkan notifikasi bahwa permohonan tersebut tidak dapat diproses. Selain Coretax DGT, permohonan SKF juga dapat diajukan secara elektronik melalui situs web atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP atau pusat kontak DJP. PER8/PJ/2025 juga menyediakan opsi untuk mengajukan permohonan SKF secara luring. Permohonan SKF luring dapat diajukan jika wajib pajak tidak dapat mengajukan secara elektronik. Permohonan SKF luring dapat diajukan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Pajak (KP2KP) mana pun.
Saldo Restitusi Pajak Masuk ke Setoran Pajak Coretax? Wajib Pajak Bisa Tarik ke Rekening dengan Cara Ini
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto memastikan bahwa fitur Setoran Pajak di Coretax memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Fitur ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana pembayaran pajak, tetapi juga memberikan kemudahan ketika wajib pajak menerima saldo restitusi pajak langsung ke Setoran Pajak Coretax. Wajib pajak juga dapat menariknya ke rekening bank. Penjelasan ini disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menanggapi pertanyaan netizen X melalui akun (@kring_pajak). DJP menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 122 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2025), pembayaran Setoran Pajak yang tidak digunakan untuk melunasi pajak yang terutang dapat menimbulkan permintaan restitusi atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. “Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan menggunakan nomor rekening dalam negeri atas nama wajib pajak, yang tersedia di menu ‘Profil Wajib Pajak’ dalam basis data perpajakan,” jelas Direktorat Jenderal Pajak. Cara Menarik Saldo Setoran Pajak Coretax ke Rekening Direktorat Jenderal Pajak juga merinci cara menarik saldo pengembalian dalam Setoran Pajak Coretax ke rekening: Pilih menu “Pembayaran”; Isi Formulir Restitusi Pajak; dan Pilih alasan “Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang Terkait Jumlah Pembayaran yang Belum Terpakai”; Jika tidak ditarik ke rekening, wajib pajak dapat menggunakan saldo Setoran Pajak Coretax saat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) masa/tahunan. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan kita bahwa sebelum menyampaikan SPT menggunakan setoran tersebut, verifikasi terlebih dahulu sisa saldo setoran di buku besar Coretax. Berikut cara menemukan saldo Setoran Pajak: Klik “Terapkan Filter”; Setelah itu, data transaksi akan muncul di tabel 3. Centang kolom “Nilai Sisa” dan kolom “KAP-Kode Rekening Pajak (411618)”; Untuk menemukan nilai sisa setoran yang bukan 0 (nol), filter kolom “Nilai Sisa” dengan mengeklik simbol filter (corong), lalu pilih “Tidak Sama dengan”, lalu masukkan 0 (nol) pada kotak kosong yang tersedia; Klik “Terapkan”, yang akan menampilkan nilai sisa setoran yang bukan 0 (nol); Total pada kolom “Nilai Sisa” dan pada kolom “KAP-Kode Rekening Pajak (411618)” yang bukan 0 (nol) merupakan total nilai sisa setoran pada saat itu; dan Jika nilai sisa setoran pajak pada saat itu sama dengan atau lebih besar dari kurang bayar pada SPT, maka nilai sisa setoran pajak tersebut dapat digunakan.
Melakukan Penjualan Aktiva Perusahaan, Bagaimana Ketentuan PPN-nya?
Ketentuan mengenai PPN atas penjualan aktiva perusahaan yang tujuan awalnya tidak untuk diperjualbelikan diatur pada Pasal 16D UU PPN. Pada pasal tersebut ditegaskan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau BKP lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikenai PPN. PPN 16D tidak dikenakan jika BKP yang dialihkan tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Dengan demikian, sesuai ketentuan PPN, penjualan aset/aktiva tetap bekas perusahaan dipungut PPN sepanjang: BKP berhubungan dengan kegiatan usaha; dan pihak yang melakukan pengalihan adalah PKP. Penghitungan dan Administrasi PPN 16D Penghitungan PPN atas penjualan aset/aktiva perusahaan sesuai Pasal 16D UU PPN menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Nilai lain tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025). Sesuai perubahan yang diatur dalam Pasal 2 PMK 11/2025, nilai lain yang berlaku adalah 11/12 dari harga pasar wajar. Dengan tarif sebesar 12%, secara efektif PPN yang dipungut adalah 11%. Sebagai contoh, PT A akan menjual beberapa komputer dalam rangka pembubaran usaha. Komputer tersebut diperoleh dengan harga Rp200 Juta. Harga pasar wajar komputer tersebut kini sebesar Rp50 Juta. Dengan demikian, PPN yang dipungut atas transaksi tersebut adalah: PPN = 11/12 x Rp50.000.000 x 12% = Rp5.500.000 PKP diwajibkan menerbitkan faktur pajak atas transaksi tersebut. Merujuk ketentuan terbaru mengenai faktur pajak, yakni Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, faktur pajak atas penjualan aktiva perusahaan yang semula tidak untuk diperjualbelikan menggunakan kode transaksi 09.
Validasi Pajak PHTB Lebih Mudah
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Karanganyar memberikan informasi mengenai validasi pajak pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) kepada beberapa anggota Persatuan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada 16 Juli 2025. Kepala Seksi Pelayanan KPP Pratama Karanganyar, Agung Prasetya Utomo, menyatakan bahwa proses validasi pajak PHTB kini lebih mudah berkat Coretax DJP. Hal ini dikarenakan proses validasi kini dapat dilakukan secara daring, sehingga tidak perlu lagi datang langsung ke kantor pajak. Selain menjelaskan proses validasi, Agung juga memberikan peringatan penting kepada seluruh notaris dan PPAT terkait maraknya penipuan yang mengatasnamakan DJP. Beliau mengingatkan agar tetap berhati-hati dan hanya menggunakan jasa resmi. Agung juga berharap kegiatan ini dapat memperkuat sinergi antara IPPAT (Institusi Pertanahan), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) Karanganyar dalam menciptakan sistem administrasi yang tertib, transparan, dan taat pajak untuk mendukung kelancaran transaksi pertanahan di Kabupaten Karanganyar. Sebagai informasi, notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus memenuhi beberapa persyaratan untuk mewakili wajib pajak dalam mengajukan permohonan pengesahan bukti pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB). Mengacu pada PER-8/PJ/2025, notaris dan/atau PPAT dapat mengajukan permohonan bukti pembayaran PPh PHTB yang telah divalidasi secara elektronik melalui DJP Coretax. Namun, notaris/PPAT harus terdaftar di Sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) atau sistem BPN untuk mengajukan permohonan tersebut melalui Coretax. Selain itu, notaris dan/atau PPAT juga wajib memenuhi persyaratan untuk memperoleh Surat Keterangan Fiskal (SKF) sebagaimana diatur dalam PER-8/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 4 PER-8/PJ/2025, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi wajib pajak untuk memperoleh Surat Keterangan Wajib Pajak (SKF). Telah menyampaikan: (i) Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh Tahunan dua tahun pajak terakhir; (ii) SPT Masa PPN tiga masa pajak terakhir, sebagaimana dipersyaratkan. Tidak memiliki utang pajak atau memiliki utang pajak tetapi telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur seluruh jumlah pajak. Tidak sedang dalam proses penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pekerjaan Konstruksi Termasuk PPh Final atau PPh Pasal 23? Berikut Penjelasannya
Dasar Hukum PPh Final Jasa Konstruksi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, mengatur terkait: Pasal 2 ayat (1): “ Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan bersifat Final” Pasal 2 ayat (2): “Ayat (2); Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki Klasifikasi meliputi: (a) Klasifikasi usaha jasa konsultansi untuk sifat umum; (b) Klasifikasi usaha jasa konsultansi untuk sifat spesialis; (c) Klasifikasi usaha jasa pekerjaan konstruksi untuk sifat umum; (d) Klasifikasi usaha jasa pekerjaan konstruksi untuk sifat spesialis; (e) Klasifikasi usaha jasa pekerjaan konstruksi terintegrasi. Pasal 2 ayat (3): Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Dasar Hukum PPh Pasal 23 (1) Pasal 23 ayat (1) huruf c, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021; sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas: sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (2) Pasal 1 angka (6) PMK- 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008: Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: Jasa penilai (appraisal); … Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; Kesimpulan Berdasarkan ketentuan diatas, terdapat Kategori untuk menentukan Wajib Pajak menggunakan tarif Pasal PPh Pasal 23 dan PPh Final Pasal 4 ayat (2): Subjek Pajak PPh Pasal 23 Jasa Konstruksi dikenakan terhadap badan usaha dalam negeri, dimana telah terdaftar sebagai pengusaha pada bidang jasa konstruksi. Maka dari itu, penghasilan maupun imbalan yang diterima oleh wajib pajak pengusaha jasa konstruksi tersebut akan dikenakan PPh 23 Jasa Konstruksi. Sementara itu, untuk PPh Pasal 4 Ayat (2) akan dikenakan terhadap wajib pajak dengan bidang usaha jasa konstruksi. Sehingga, seluruh penghasilan atau imbalan yang diterima wajib pajak di bidang usaha jasa konstruksi akan dikenakan PPh Pasal 4 Ayat (2). Sifat Pengenaan PPh atas Jasa Konstruksi PPh Pasal 23 adalah pajak yang bersifat tidak final, sehingga penghasilan yang dikenakan PPh 23 akan digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum pada SPT Tahunan PPh Badan. Atau dapat dikatakan PPh tidak final sebagai pajak yang belum selesai. PPh Pasal 4 Ayat (2) adalah pajak yang bersifat final, artinya pajak yang telah selesai. Maka pada SPT Tahunan PPh Badan tidak akan digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Tarif PPh atas Jasa Konstruksi Sesuai dengan PMK-141/2015 yang membahas terkait objek PPh yang bersifat […]
Konsekuensinya Wajib Pajak Menolak untuk Diperiksa
Apabila Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib Pajak yang diperiksa menolak untuk menjalani pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasanya wajib menyampaikan surat pernyataan penolakan pemeriksaan secara tertulis. Surat tersebut wajib ditandatangani paling lambat tujuh hari setelah surat pemberitahuan pemeriksaan disampaikan. Lebih lanjut, dalam keadaan tertentu, Wajib Pajak juga dianggap menolak pemeriksaan. Pemeriksa akan menganggap pemeriksaan ditolak apabila, setelah tujuh hari sejak tanggal penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasanya tetap tidak memberikan izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat, ruangan, atau barang yang disegel, dan/atau tidak memberikan bantuan untuk memperlancar pemeriksaan. Apabila Wajib Pajak, wakil, atau kuasanya menolak menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak akan membuat berita acara penolakan pemeriksaan yang akan ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak. Konsekuensi Penolakan Pemeriksaan Penolakan pemeriksaan pajak bukan tanpa konsekuensi. Berdasarkan Pasal 15 ayat (4) PMK 15/2025, jika pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan, pemeriksa pajak dapat menerbitkan surat pernyataan penolakan pemeriksaan atau laporan penolakan pemeriksaan, serta dapat mengusulkan pemeriksaan bukti permulaan jika ditemukan indikasi tindak pidana di bidang perpajakan. Lebih lanjut, Pasal 15 ayat (5) PMK 15/2025 mengatur bahwa dokumen penolakan pemeriksaan untuk tujuan lain, baik berupa surat pernyataan penolakan pemeriksaan maupun laporan penolakan pemeriksaan, dapat menjadi dasar pertimbangan atau keputusan Direktur Jenderal Pajak, sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa konsekuensi penolakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan tidak menghilangkan kewenangan pemeriksa pajak untuk melanjutkan proses pemeriksaan pajak. Penolakan ini dapat menjadi dasar bagi DJP untuk menerbitkan penetapan resmi yang mungkin berbeda dengan keadaan sebenarnya wajib pajak. Penolakan juga dapat memicu audit bukti awal jika ditemukan indikasi kejahatan perpajakan.
