Akankah Pajak Minimum Global Berdampak pada Insentif? Berikut Tanggapan Pemerintah

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyatakan bahwa pemerintah masih menyelesaikan penerapan pajak minimum global (GMT). Susiwijono menyatakan bahwa regulasi yang mengatur pajak minimum global telah diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan 136/2024. Namun, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kembali mengundang Kementerian Keuangan untuk membahas waktu penerapannya. “Terkait GMT, saat ini kami sedang membahasnya dengan Kementerian Keuangan, karena Menteri Keuangan sudah memiliki regulasinya. Namun, seperti halnya negara lain, kami masih mengkaji implementasinya,” ujarnya, Selasa (9 September 2025). Susiwijono mengatakan bahwa penerapan pajak minimum global akan memengaruhi insentif perpajakan yang ada. Hal ini dikarenakan Indonesia, sebagai negara berkembang, juga mengandalkan insentif perpajakan untuk menarik investasi. Dengan keengganan Amerika Serikat untuk mengadopsi dan menerapkan pajak minimum global, banyak negara bersiap untuk mengikutinya. Beberapa negara dilaporkan telah menunda penerapan pajak minimum global. Menurutnya, posisi Indonesia serupa dengan negara-negara lain yang belum menerapkan kebijakan pajak minimum global. “Negara-negara lain juga belum [menerapkan GMT],” kata Susiwijono. Ketentuan pajak minimum global dirancang untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional besar membayar pajak pada tingkat minimum di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mengurangi pengalihan keuntungan dan membatasi persaingan yang menawarkan tarif pajak rendah (perlombaan menuju dasar). Pajak minimum global berlaku untuk grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal €750 juta dalam setidaknya dua dari empat tahun pajak sebelum tahun pajak di mana pajak minimum global diberlakukan. Jika entitas konstituen dari grup perusahaan multinasional membayar pajak dengan tarif efektif kurang dari 15%, entitas tersebut akan dikenakan pajak tambahan sebesar selisih antara tarif efektif dan tarif minimum 15%. Indonesia telah mengadopsi dan menerapkan pajak minimum global sesuai dengan ketentuan GloBE melalui penerbitan PMK 136/2024. Dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini, Indonesia akan menerapkan aturan pencantuman pendapatan (IIR) dan pajak tambahan domestik yang memenuhi syarat (QDMTT) mulai tahun 2025, sementara aturan pembayaran pajak yang kurang dibayar (UTPR) baru akan diterapkan tahun depan. Penerapan pajak minimum global dikhawatirkan akan berdampak pada daya saing investasi, terutama di kawasan ekonomi khusus (KEK). Untuk menarik investasi ke KEK, pemerintah telah menawarkan berbagai insentif, termasuk pembebasan pajak (tax holiday) dan keringanan pajak (tax allowance). Namun, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto baru-baru ini menyatakan bahwa pemerintah juga sedang menyiapkan tiga skema insentif baru sejalan dengan penerapan pajak minimum global. Ketiga insentif tersebut adalah subsidi tunai untuk investasi di sektor strategis; kredit pajak yang dapat dikembalikan (refundable tax credits); dan kredit pajak yang tidak dapat dikembalikan (nonrefundable tax credits).

Badan Usaha yang Membeli Batubara dan Mineral Logam, Apakah Wajib Memotong PPh Pasal 22?

Berdasarkan pada Pasal 217 PMK 81/2024, badan usaha yang membeli batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan usaha atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan dikenakan PPh Pasal 22. Selama transaksi tersebut memenuhi ketentuan Pasal 217 ayat (1) huruf h PMK 81/2024, pembeli wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 22 dan melampirkan bukti pemotongan/pemungutan terpadu. Selain menerbitkan bukti pungut, pembeli juga wajib menyetorkan pembayaran PPh Pasal 22 paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (2) huruf d PMK 81/2024. Perlu diketahui, tarif PPh Pasal 22 atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan usaha atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha adalah sebesar 1,5% dari harga pembelian, belum termasuk PPN. Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) huruf h adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara, bunyi Pasal 271 ayat (5). Sebagai informasi, PMK 81/2024 turut mengatur Pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Merujuk pada pasal 271, PMK tersebut memerinci kriteria pemungut PPh Pasal 22, yaitu: 1. Bank Devisa dan Ditjen Bea dan Cukai atas: – impor barang; dan – ekspor komoditas tambang batu bara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh wajib pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya. 2. Instansi pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan atau mekanisme pembayaran langsung; 3. Badan usaha tertentu meliputi: – BUMN; – Badan usaha dan BUMN yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada BUMN lainnya; dan – Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Indonesia Tbk, sehubungan dengan pembayaran pembelian barang dan/atau bahan untuk kegiatan usahanya; 4. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi, untuk penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri; 5. Agen tunggal, agen merek, dan importir umum kendaraan bermotor, untuk penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri; 6. Produsen atau importir Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan Pelumas, untuk penjualan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan Pelumas; 7. Badan usaha industri atau eksportir yang membeli bahan berupa hasil hutan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses produksi industri, untuk keperluan industri atau ekspor; dan 8. Badan usaha yang membeli batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari […]

Cukai Minuman Manis Hanya untuk Produk Pabrikan

Pemerintah saat ini sedang menggodok penerapan cukai minuman manis dalam kemasan (MBDK). Hal ini berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa proses penyusunan kebijakan cukai MBDK masih membutuhkan proses yang panjang, mulai dari pembahasan lintas kementerian hingga penetapan target penerimaan. “Jadi undang-undang itu nanti kan harus ada penyusunan peraturan pemerintah (PP) Karena penyusunan PP itu kan berarti harus ada inisiatif dan kemudian nanti ada panitia antar kementerian. Jadi semua yang terkait dengan MBDK akan diajak ngomong semua,” ujar Nirwala dalam media briefing, Kamis (4/9/2025). Nantinya, pemerintah akan menghitung mekanisme pemungutan agar sesuai dengan tujuan fiskal maupun kesehatan. Nirwala pun menjelaskan bahwa nantinya, cukai MBDK hanya akan diterapkan untuk minuman berpemanis yang diproduksi melalui pabrik. Seperti minuman manis alam kemasan, sirup, hingga minuman manis berbentuk bubuk. “Termasuk konsentrat sirup kan konsentrat tetap ukurannya adalah kandungan gula dalam mililiter air kalo konsentrat pocari sweat saset, nutrisari itu kena kadarnya nanti kalau di encerkan sesuai takaran berapa,” ujar Nirwala. Sebelumnya keputusan penerapan cukai MBDK telah disepakati dalam Rapat Kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang membahas rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. “Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan objek cukai baru berupa MBDK untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” ujar Ketua Komisi XI, Mukhammad Misbakhun dalam rapat kerja, Jumat (22/8/2025). Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Djaka Budhi menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pengenaan cukai tersebut akan dibahas kembali dengan DPR. Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhammad Misbakhun pun menjelaskan bahwa pengenaan cukai minuman berpemanis dilakukan demi melindungi konsumen dari penyakit diabetes. Penyakit yang diakibatkan diabetes diketahui menjadi beban berat anggaran kesehatan negara. Misbakhun juga menyebut besaran tarif cukai akan ditentukan dengan seksama demi menjaga sektor usaha. “Nanti dikonsultasikan. Jangan sampai memberikan tekanan terhadap sektor industri, sektor riilnya,” ujarnya.

Rumor Pedagang Kecil Jadi Sasaran Pengawasan Pajak: Begini Penjelasannya

Pemerintah berencana mengintensifkan pengawasan terhadap empat sektor ekonomi dengan tingkat aktivitas ekonomi bayangan yang tinggi tahun depan. Sektor-sektor tersebut meliputi perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, dan perikanan. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa otoritas tersebut tidak menargetkan pedagang kecil untuk dikenakan pajak, melainkan memperluas basis pajak dengan mengatur ekonomi bayangan. Pengaturan ekonomi bayangan tentu saja tidak dimaksudkan untuk memberatkan pedagang kecil, melainkan untuk mewujudkan keadilan dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa ekonomi bayangan merupakan kegiatan ekonomi berskala besar yang belum terintegrasi ke dalam sistem perpajakan resmi. Menurut DJP, kegiatan ini berbeda dengan kegiatan ekonomi yang umum dikenal masyarakat, seperti usaha kecil. DJP mencontohkan ekonomi bayangan sebagai usaha dengan omzet tahunan melebihi Rp500 juta, tetapi belum terdaftar di otoritas pajak. Contoh lainnya adalah perdagangan bernilai tinggi yang tidak dilaporkan ke otoritas pajak. Lebih lanjut, terdapat pula sektor-sektor ekonomi besar yang belum terintegrasi ke dalam sistem administrasi perpajakan. DJP menyatakan bahwa sektor-sektor ini harus diatur untuk menjamin keadilan bagi wajib pajak dan negara. Dengan peraturan ini, beban pajak tidak hanya dirasakan oleh wajib pajak yang patuh, tetapi juga terdapat tambahan penerimaan yang dapat dialokasikan untuk program pembangunan. Lebih lanjut, pelaku usaha dapat memperoleh akses pembiayaan dan perlindungan hukum. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyimpulkan bahwa pengaturan ekonomi bayangan tidak dimaksudkan untuk membebani pedagang kecil. DJP menjamin bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan tetap terlindungi. DJP menekankan bahwa peraturan ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan pembangunan berkelanjutan. Yang coba diatur pemerintah adalah ekonomi bayangan, yaitu kegiatan ekonomi berskala besar yang belum masuk sistem resmi.

DJP Luncurkan e-PBK 3.0

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuka kembali layanan pemindahbukuan elektronik (e-PBK) di platform DJP Online pada akhir Agustus 2025. Layanan versi 3.0 ini menggunakan skema permohonan fully-automatic. e-PBK versi 3.0 memproses aplikasi secara otomatis. Wajib pajak menerima produk pengalihan hak milik setelah sistem menyelesaikan validasi data aplikasi. Sistem tidak lagi memerlukan verifikasi manual oleh petugas pajak untuk menerbitkan aplikasi produk hak milik. Layanan e-PBK yang telah dibuka kembali hanya menangani perincian pembayaran PPh final untuk penjualan tanah dan bangunan dengan Kode Rekening Pajak (KAP) 411128 dan Kode Jenis Pembayaran (KJS) 402. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka kembali layanan ini bagi pengembang yang memerlukan perincian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saat menyampaikan Surat Keterangan Validasi (SSP) PPh Khusus. DJP menetapkan empat ketentuan transaksi yang dapat diajukan melalui e-PBK versi 3.0. Pembayaran atas kode billing terbit sebelum 1 Januari 2025 dengan KAP 411128 dan KJS 402. Identitas pemohon dan identitas tujuan pemindahbukuan menggunakan NPWP yang sama. Masa pajak dan tahun pajak harus sama antara sumber dan tujuan pemindahbukuan. KAP dan KJS asal dan tujuan harus menggunakan kode yang sama. Wajib pajak mengajukan permohonan melalui platform DJP Online. Sistem melakukan validasi berdasarkan empat ketentuan yang telah ditetapkan. Jika data valid, sistem mengeluarkan produk hukum pemindahbukuan tanpa proses manual tambahan. Tiga Channel Pembuatan Kode Billing Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan tiga metode untuk menghasilkan kode billing Pajak Penghasilan Final atas Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan (PPH Final) menggunakan KAP-KJS 411128-402. Pertama, wajib pajak penjual mengirimkan kode billing ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat. Kedua, wajib pajak penjual mengirimkan kode billing secara mandiri secara daring melalui CoretaxDJP. Ketiga, wajib pajak penjual atau notaris mengirimkan kode billing melalui Authorized Billing Channel, yang mencakup 16 lembaga. Bank yang terdaftar antara lain Bank Jabar Banten, BCA, Bank Mandiri, BPD Lampung, Bank OCBC, BPD Sumsel Babel, BNP Paribas, Bank of America, BRI, Bank CIMB Niaga, dan Bank Panin. PT Achilles Advanced Systems, PT Garda Bina Utama, Mitra Pajakku, Fintek Integrasi Digital, dan Jurnal Consulting Indonesia juga tersedia sebagai Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Kode billing yang dihasilkan di akun CoretaxDJP notaris hanya dapat digunakan oleh notaris tersebut. Notaris maupun Wajib Pajak tetap dapat membuat kode tagihan atas nama orang lain melalui kanal pembuatan kode tagihan yang dimiliki oleh Bank/Lembaga Persepsi.

Wajib Pajak dengan Peredaran Tertentu Memilih untuk Dikenakan Tarif PPh Umum

Wajib Pajak yang memenuhi kriteria wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) tertentu sebagaimana diatur dalam PMK 164/2023 tetapi memilih untuk dikenakan tarif umum wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kring Pajak menjelaskan bahwa wajib pajak yang memilih untuk dikenakan tarif PPh umum wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis. Selanjutnya, pengenaan tarif umum tersebut berlaku mulai tahun pajak berikutnya. “Misalnya, jika pemberitahuan pemilihan tarif PPh umum disampaikan pada tahun 2025, maka wajib pajak akan menggunakan tarif umum mulai tahun 2026 dan seterusnya,” demikian pernyataan Kring Pajak di media sosial, Senin (8 September 2025). Merujuk pada Pasal 5 ayat (1) PMK 164/2023, wajib pajak wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada DJP melalui kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar. Pemberitahuan ini dapat dilakukan: secara langsung; melalui pos, oleh perusahaan pelayaran, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman; atau secara elektronik. Penyampaian ini harus dilakukan paling lambat pada akhir tahun pajak. Wajib pajak yang menyampaikan pemberitahuan ini akan dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum perpajakan mulai tahun pajak berikutnya. Wajib pajak yang baru terdaftar dibebaskan dari kewajiban pemberitahuan dan dapat dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum perpajakan mulai tahun pajak terdaftarnya dengan menyampaikan pemberitahuan pada saat pendaftaran. Wajib pajak yang memilih untuk dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum perpajakan dapat menyampaikan pemberitahuan sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam lampiran PMK 164/2023. Selain wajib pajak yang memilih untuk dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum pajak penghasilan, terdapat kriteria wajib pajak lain yang tidak dapat menggunakan tarif pajak penghasilan final 0,5%. Berikut ini adalah beberapa wajib pajak yang dimaksud: Wajib Pajak badan yang berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi dengan keahlian khusus yang memberikan jasa serupa dengan pekerjaan lepas. Wajib Pajak badan menerima fasilitas pajak penghasilan berdasarkan: – Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; – Peraturan Pemerintah 94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, beserta perubahan atau penggantinya; atau – Pasal 75 dan Pasal 78 Peraturan Pemerintah 40/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, beserta perubahan atau penggantinya; dan Wajib Pajak yang berbentuk bentuk usaha tetap.

Prosedur Pengurangan/Pembatalan SKP yang Tidak Benar

Sebagai bentuk keadilan, Pasal 36 ayat (1) UU KUP memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengurangi atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang tidak tepat. Misalnya, SKP yang keberatannya ditolak karena tidak memenuhi syarat formil (keterlambatan penyampaian surat keberatan) meskipun syarat materiilnya telah terpenuhi. Agar permohonan dapat diproses, wajib pajak harus memenuhi serangkaian persyaratan yang diatur dalam PMK 118/2024. Merujuk pada Pasal 32 ayat (2) huruf a PMK 118/2024, permohonan pengurangan atau pembatalan hanya dapat diajukan untuk SKP yang belum diajukan keberatan, atau telah diajukan keberatan tetapi belum dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Perlu dicatat bahwa Pasal 32 ayat (3) PMK 118/2024 menetapkan bahwa permohonan tidak dapat diajukan apabila SKP telah diajukan keberatan, tetapi wajib pajak kemudian mencabutnya dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui pencabutan tersebut. Selain itu, Pasal 32 ayat (4) PMK 118/2024 menetapkan bahwa permohonan juga harus memenuhi kriteria berikut: diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia; mencantumkan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan wajib pajak dan disertai dengan alasan yang menjadi dasar permohonan; satu permohonan hanya untuk satu SKP; dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya (jika dikuasakan, wajib melampirkan surat kuasa khusus). Permohonan ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar. Penyampaian dapat dilakukan melalui saluran elektronik atau secara tertulis (disampaikan langsung, melalui pos, atau jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat). Pada aplikasi Coretax, permohonan dapat diajukan lewat menu Layanan Administrasi dengan kategori sub layanan AS.26-04.

Kuda Kavaleri Dapat Fasilitas PPN DTP

Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2025 (PMK 61/2025), pemerintah telah menetapkan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan hewan khusus tertentu, seperti kuda dan perlengkapannya. Menurut Pasal 2 PMK 61/2025, PPN yang terutang atas penyerahan kuda kavaleri dan berbagai perlengkapan pendukungnya kepada Kementerian Pertahanan dan/atau Tentara Nasional Indonesia ditanggung sebesar 100%. Terdapat 44 jenis barang yang diberikan fasilitas, seperti kuda batalyon kavaleri, tapal kuda, tali penuntun, dan obat kuda. Rincian jenis barang yang mendapat fasilitas PPN DTP tercantum dalam lampiran PMK 61/2025. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PMK 61/2025, bagi PKP yang melakukan penyerahan kuda kavaleri serta perlengkapan pendukungnya, wajib membuat faktur pajak dan laporan realisasi PPN ditanggung pemerintah. Faktur pajak yang dibuat harus mencantumkan keterangan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH BERDASARKAN PMK NOMOR … TAHUN 2025”. Keterangan ini dicantumkan dengan memilih opsi yang tersedia pada modul pembuatan faktur pajak atau menuliskannya di kolom referensi jika opsi tersebut belum tersedia. Selanjutnya, faktur pajak yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dianggap sebagai laporan realisasi PPN DTP. Laporan dan koreksi SPT Masa PPN sejak berlakunya PMK ini sampai dengan Desember 2025 dapat diperlakukan sebagai laporan realisasi sepanjang disampaikan paling lambat tanggal 28 Februari 2026. PPN DTP tidak berlaku apabila penyerahan bukan berupa kuda kavaleri beserta perlengkapan pendukungnya. Selanjutnya, PPN tidak ditanggung pemerintah apabila PPN terutang di luar jangka waktu yang ditentukan atau apabila PKP tidak menerbitkan faktur pajak dan/atau laporan realisasi PPN DTP dan tidak mencantumkan informasi apa pun. Sebagai informasi, kebijakan ini diterapkan dalam rangka mendukung kesiapan alutsista negara dan berlaku efektif mulai 1 September 2025 sampai dengan 31 Desember 2025.

Belum Ada Kepastian Mengenai PPh Final UMKM, Bagaimana Jika Sudah Bayar?

Kepastian perpanjangan tarif PPh final 0,5% untuk UMKM tahun ini, hingga saat ini, pemerintah belum mengeluarkan peraturan teknis terkait kebijakan ini. Lalu, bagaimana jika wajib pajak sudah membayar PPh finalnya, sementara nasib perpanjangan tarif PPh final untuk UMKM masih belum jelas? Kring Pajak (Tax Ring) menanggapi kekhawatiran wajib pajak terkait hal ini. “Pertama, pastikan wajib pajak masih berhak menggunakan tarif PPh final 0,5%. Sesuai Peraturan Pemerintah 55/2022, jangka waktu maksimal penggunaan tarif PPh final bagi wajib pajak orang pribadi adalah tujuh tahun. Penting untuk dipahami, tambah Kring Pajak, bahwa perpanjangan masa pajak penghasilan final 0,5%, yang berlaku hingga tahun 2025 bagi wajib pajak orang pribadi dan UMKM yang telah menggunakannya selama tujuh tahun, berakhir pada tahun 2024, merupakan salah satu program kebijakan ekonomi pemerintah untuk tahun 2025. Namun, hingga saat ini, belum ada peraturan teknis yang secara resmi menetapkan perubahan atau perpanjangan masa pajak penghasilan final 0,5% di luar jangka waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah 55/2022. Jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut, silakan hubungi Kantor Pelayanan Pajak yang terdaftar. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa pemerintah akan tetap memperpanjang masa pajak penghasilan final dengan tarif 0,5% untuk UMKM orang pribadi, meskipun Peraturan Pemerintah 55/2022 belum direvisi. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah masih mempersiapkan revisi Peraturan Pemerintah 55/2022. Menurutnya, Kementerian Keuangan juga sedang menunggu pembahasan revisi Peraturan Pemerintah tersebut di Kementerian Sekretariat Negara. “Status Peraturan Pemerintah saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara,” ujarnya Juni lalu. Pasal 59 Peraturan Pemerintah 55/2022 menetapkan bahwa masa pajak penghasilan final bagi UMKM adalah paling lama tujuh tahun pajak bagi orang pribadi; empat tahun pajak bagi koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa (BUMDes)/badan usaha milik desa (BUMDesma), atau perusahaan perseorangan yang didirikan oleh satu orang; dan tiga tahun pajak bagi perseroan terbatas. Masa pengenaan pajak penghasilan final ini melanjutkan masa yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah 23/2018 dan tidak diulang dari awal. Apabila orang pribadi terdaftar setelah Peraturan Pemerintah 23/2018 mulai berlaku pada tahun 2018, pajak penghasilan final tersebut dapat dimanfaatkan hingga tahun pajak 2024. Namun, pada bulan Desember 2024, pemerintah mengumumkan akan memperpanjang rezim pajak penghasilan final sebesar 0,5% bagi UMKM orang pribadi melalui Peraturan Pemerintah yang telah direvisi. Meski PP 55/2022 belum direvisi, Bimo menyatakan UMKM perorangan tetap bisa memanfaatkan skema pajak penghasilan final.

Coretax Memungkinkan Wajib Pajak Menghapus SPT dari Draft SPT

Wajib pajak dapat menghapus SPT yang telah terisi otomatis atau terisi otomatis dalam draft SPT tahunan menggunakan sistem administrasi Coretax. Penasihat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Gede Suarnaya menyatakan bahwa jika SPT yang terisi otomatis dalam SPT tidak benar dan wajib pajak mengetahui pembuatnya, wajib pajak perlu berkomunikasi dengan pembuatnya. “Jika kita mengenal pihak lawan, tentu saja kita perlu berkomunikasi. Kita bisa menjelaskan bahwa ada kesalahan dalam SPT tersebut,” ujar Gede dalam webinar yang diselenggarakan oleh Persatuan Praktisi dan Profesional Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI), dikutip pada Sabtu (6 September 2025). Jika wajib pajak tidak mengetahui pembuat SPT, wajib pajak dapat menghapus SPT yang terisi otomatis dalam SPT. Fitur penghapusan SPT PPh tersedia di Coretax. “Dengan sistem self-assessment, jika bukan transaksi kami atau bukan transaksi yang sebenarnya, kami bisa menghapusnya,” ujar Gede. Untuk SPT PPh yang sudah dibuat oleh rekanan tetapi belum muncul dalam draft SPT yang telah diisi sebelumnya, wajib pajak perlu menunggu dan menghubungi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. “Solusi terbaik adalah menunggu. Kedua, kami bisa menghubungi KPP terdaftar, yang selanjutnya akan diproses melalui meja layanan teknologi informasi (Titik Melati). Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan terkait kendala teknis yang belum meluas atau tidak umum,” ujar Gede. Sebagai informasi, SPT Tahunan era Coretax akan digunakan untuk memenuhi kewajiban penyampaian SPT Tahunan tahun pajak 2025 dan seterusnya. Format SPT Tahunan era Coretax untuk wajib pajak orang pribadi dan badan tersedia dalam lampiran PER-11/PJ/2025.