Begini Cara Ajukan Perubahan Data Omzet Tahunan via Coretax

Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, menyatakan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan perubahan data omzet tahunan atau penghasilan bruto secara mandiri melalui Coretax DJP. Kring Pajak menyampaikan pernyataan ini menanggapi cuitan seorang netizen yang menanyakan perubahan data omzet. Untuk mengajukan perubahan data omzet melalui Coretax DJP, wajib pajak dapat mengakses http://coretaxdjp.pajak.go.id terlebih dahulu. “Permohonan perubahan data dapat dilakukan melalui menu utama Coretax DJP, yaitu Portal Saya. Kemudian, klik menu Ubah Data dan ketuk Identitas Wajib Pajak,” tulis Kring Pajak di media sosial, Jumat (8/8/2025). Setelah itu, wajib pajak akan diarahkan untuk mengisi kolom Pemutakhiran Data: Identitas Wajib Pajak. Silakan centang Pemutakhiran Kode Ekonomi Utama. Kemudian, lakukan pemutakhiran data pada kolom yang tersedia. Selanjutnya, wajib pajak mengunggah salinan dokumen pendukung yang menunjukkan perubahan data. Kemudian, centang kotak “Pernyataan” dan tekan “Simpan”. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-7/2025, permohonan perubahan data wajib pajak yang telah diterbitkan tanda terima elektroniknya akan ditinjau oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) paling lambat satu hari kerja setelah tanda terima elektronik diterbitkan. Coretax adalah sistem administrasi layanan DJP yang memberikan kemudahan bagi pengguna. Pengembangan Coretax merupakan bagian dari Proyek Pemutakhiran Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden 40/2018. PSIAP juga merupakan proyek untuk mendesain ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pengembangan sistem informasi berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS), yang disertai dengan penyempurnaan basis data perpajakan. Tujuan utama pengembangan Coretax adalah untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada. Coretax mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak dan pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak.

Faktur Pajak untuk Orang Pribadi yang Belum Terdaftar dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Wajib Diisi dengan 00000000000000000

Faktur pajak yang diterbitkan untuk pembeli yang belum terdaftar atau tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diisi dengan kolom ‘NIK’. Saat membuat faktur pajak menggunakan kunci di sistem Coretax, kolom NPWP akan otomatis terisi dengan 0000000000000000. Demikian pula, saat mencatat faktur pajak menggunakan impor XML, identitas pembeli Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang tidak memiliki NPWP diisi dengan ‘0000000000000000’ pada kolom NIK/NPWP. “Faktur pajak yang diterbitkan kepada orang pribadi yang belum mendaftarkan NPWP (NIK belum diaktifkan) dapat memilih NIK/KTP, lalu memasukkan NPWP sebagai 0000000000000000, dan memasukkan NIK pada Nomor Dokumen Pembeli,” tulis Kring Pajak menanggapi pertanyaan seorang netizen, Kamis (7 Agustus 2025). Jika Anda mengalami kesulitan dalam membuat faktur pajak, periksa kembali apakah Anda telah memasukkan NPWP atau NIK 16 digit yang valid (dengan aktivasi NIK). Selain itu, jika faktur pajak dibuat menggunakan mekanisme impor XML, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat mengimpor XML tersebut. Pertama, pastikan Anda menggunakan templat XML terbaru, yang dapat diunduh dari https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/template-xml-dan-converter-excel-ke-xml. Kedua, pastikan kolom IDTKU 22 digit berisi IDTKU dan ubah format sel menjadi ‘teks’. Jika Anda masih mengalami masalah, Anda sebaiknya mencoba lagi secara berkala dengan langkah-langkah berikut. Pertama, bersihkan cache dan kuki peramban Anda. Kedua, gunakan jendela privat baru atau jendela penyamaran baru. Ketiga, gunakan peramban atau komputer lain.

Pemungutan PPN atas Jasa Agen Asuransi, Pialang Asuransi, dan Pialang Reasuransi

Mulai tahun 2022, pemerintah akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, dan jasa pialang reasuransi. Pemungutan tersebut kini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024) dan diperbarui melalui Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025). Tarif PPN Sesuai dengan perubahan pada Pasal 20 PMK 11/2025, ketiga jasa di atas dikenakan PPN dengan besaran tertentu dengan jumlah sebagai berikut: 10% dikali 11/12 dari tarif PPN dikalikan komisi atau imbalan kepada agen asuransi 20% dikali 11/12 dari tarif PPN dikalikan komisi atau imbalan kepada perusahaan pialang asuransi dan reasuransi. Tarif PPN yang digunakan dalam perhitungan adalah 12%. Oleh karena itu, tarif efektif untuk jasa keagenan asuransi adalah 1,1%. Sementara itu, jasa pialang asuransi dan reasuransi dikenakan tarif efektif sebesar 2,2%. Pemungut PPN Terkait penyediaan jasa agen asuransi atau jasa pialang asuransi/reasuransi, PPN dipungut oleh perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi. Untuk jasa agen asuransi, PPN dipungut pada saat pembayaran komisi atau remunerasi kepada agen asuransi. Sementara itu, untuk jasa pialang asuransi/reasuransi, PPN dipungut pada saat penerimaan pembayaran premi oleh perusahaan pialang asuransi/reasuransi. Bukti Pemungutan Pasal 315 PMK 81/2024 menjelaskan bahwa agen asuransi atau perusahaan pialang asuransi/reasuransi wajib menerbitkan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan dapat berupa dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak. Dokumen-dokumen ini antara lain bukti pembayaran komisi (statement of account) dari perusahaan asuransi atau bukti faktur atas pemberian jasa pialang asuransi dan reasuransi. Catatan: Dokumen-dokumen ini sekurang-kurangnya memuat nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemberi jasa, nomor seri dan tanggal dokumen, besaran komisi atau imbalan, dan jumlah PPN yang dipungut. Dokumen-dokumen ini wajib diterbitkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan diterimanya komisi atau imbalan oleh agen asuransi, atau pada saat jasa pialang asuransi dan reasuransi diberikan. Kewajiban Agen Asuransi dan Perusahaan Pialang Agen asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan reasuransi wajib melaporkan usahanya untuk terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pendaftaran sebagai PKP wajib dilakukan meskipun usaha tersebut memenuhi kriteria usaha kecil. Namun, selama memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), agen asuransi, perusahaan pialang asuransi/reasuransi dianggap terdaftar sebagai PKP. Sebagai informasi, Pasal 318 ayat (1) dan (2) PMK 81/2024 menetapkan bahwa agen asuransi dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN). Pelaporan sesuai ketentuan umum hanya diwajibkan apabila agen asuransi menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak Lainnya dengan jumlah yang melebihi batas usaha kecil. Sementara itu, bagi perusahaan pialang asuransi/reasuransi, pelaporan tunduk pada ketentuan umum yang berlaku bagi PKP.

Cara Cairkan Saldo Deposit Pajak di Coretax ke Rekening

DJP memerinci, cara mencairkan saldo restitusi di Deposit Pajak Coretax ke rekening: Pilih menu “Pembayaran”; Isi Formulir Restitusi Pajak; dan Pilih alasan “Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang terkait Nilai Pembayaran yang Belum Digunakan”; Apabila tidak ditarik ke rekening, Wajib Pajak dapat menggunakan saldo Setoran Pajak di Coretax pada saat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan. Namun DJP mengingatkan, sebelum melaporkan SPT apa pun yang menggunakan simpanan, pastikan terlebih dahulu nilai sisa saldo simpanan di buku besar/buku besar rekening Coretax. Berikut cara mengetahui nilai saldo Deposit Pajak: Klik “Terapkan Filter”; Setelah itu, data transaksi akan tampak di tabel nomor 3; Cek di kolom “Nilai Sisa” dan di kolom “KAP-Kode Akun Pajak (411618) “; Untuk mengetahui nilai sisa deposit yang tidak bernilai 0 (nol), pada kolom “Nilai Sisa” dapat dilakukan filter dengan cara klik simbol filter (corong), lalu pilih “Not Equals”, lalu masukkan angka 0 (nol) pada kotak kosong yang tersedia; Klik “Apply”, sehingga akan menampilkan nilai sisa deposit yang tidak bernilai 0 (nol); Jumlah total nominal yang ada pada kolom kolom “Nilai Sisa” dan di kolom “KAP-Kode Akun Pajak (411618)” yang tidak bernilai 0 (nol) merupakan total nilai sisa deposit saat itu; dan Apabila nilai sisa deposit saat itu nilainya sama atau lebih besar dari kurang bayar pada SPT, maka nilai sisa deposit pajak dapat digunakan.

Jika Kriteria Ini Terpenuhi, Badan Pemerintah Bukan Subjek Pajak Penghasilan

Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, memberikan penjelasan terkait ketentuan perpajakan bagi badan usaha milik negara, baik Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penjelasan tersebut menanggapi twit seorang netizen yang menanyakan tentang aspek perpajakan yang melekat pada badan usaha milik negara. Kring Pajak menyatakan bahwa badan usaha milik negara tidak dikenakan PPh jika memenuhi kriteria tertentu sesuai Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan. “Apabila penjualan barang dilakukan oleh badan usaha milik negara sesuai Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka tidak dikenakan PPh,” demikian pernyataan Kring Pajak di media sosial, Selasa (5 Agustus 2025). Mengacu pada Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan, terdapat beberapa kriteria badan usaha milik negara yang dikecualikan dari pajak penghasilan. Pertama, pendiriannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Kedua, pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, pendapatannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah. Keempat, pembukuannya diaudit oleh otoritas pengawas negara. Kemudian, jika telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), instansi pemerintah yang menyediakan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. Sebagai informasi, instansi pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan memiliki wewenang serta tanggung jawab atas pemanfaatan anggaran. Sedangkan PKP adalah pengusaha yang menyediakan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

Cara Mencantumkan Identitas dan Nama Pembeli pada Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Ritel

Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, memberikan penjelasan terkait pengisian faktur pajak bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) ritel. Kring Pajak menyatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) ritel wajib memenuhi persyaratan faktur pajak sesuai Pasal 51 hingga 52 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER11/PJ/2025. “Dalam peraturan tersebut, identitas pembeli (NIK) dapat dicantumkan sebagai “0000000000000000”, nama pembeli dapat dicantumkan sebagai “-“, sedangkan nomor urut dapat ditentukan sesuai dengan praktik bisnis Pengusaha Kena Pajak ritel,” demikian pernyataan Kring Pajak di media sosial pada Selasa (5 Agustus 2025). Sebagaimana diketahui, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang merupakan pedagang eceran dapat menerbitkan faktur pajak tanpa mencantumkan: informasi mengenai identitas pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b PER-11/PJ/2025; dan nama dan tanda tangan orang yang berwenang menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf g, untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak yang bercirikan konsumen akhir. Namun, faktur pajak tersebut wajib disusun dengan informasi yang paling sedikit mencakup: nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; jenis barang atau jasa, total harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan kode, nomor seri, dan tanggal faktur pajak. Faktur pajak ini dibuat paling sedikit untuk: pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak; dan arsip PKP untuk pedagang eceran. Arsip PKP untuk pedagang eceran dapat berupa catatan faktur pajak dalam bentuk elektronik untuk penyimpanan data. Perlu diketahui bahwa PPN yang tercantum dalam faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Kriteria dan Prosedur Penetapan Wajib Pajak Nonaktif

Kriteria Penetapan Wajib Pajak Nonaktif Penetapan wajib pajak nonaktif dilakukan dengan penyampaian permohonan dan disertai dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa wajib pajak tersebut telah memenuhi kriteria nonaktif. Adapun penetapan wajib pajak nonaktif dilakukan atas wajib pajak yang memenuhi kriteria: wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun tidak memenuhi syarat objektif karena menghentikan usahanya atau pekerjaan bebasnya; wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun tidak memenuhi syarat objektif karena belum atau tidak memperoleh penghasilan, atau memiliki penghasilan di bawah PTKP; wajib pajak orang pribadi yang merupakan WNI berstatus sebagai penduduk yang berniat menjadi subjek pajak luar negeri namun belum memenuhi syarat sebagai subjek pajak luar negeri; wajib pajak orang pribadi yang merupakan WNI berstatus sebagai penduduk yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif karena telah menjadi subjek pajak luar negeri; wajib pajak orang pribadi yang merupakan WNI berstatus sebagai penduduk yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif; wajib pajak orang pribadi yang merupakan wanita kawin dan telah memiliki NPWP serta memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara digabung dengan suaminya, namun masih memiliki Nomor Induk Kependudukan; wajib pajak badan yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun masih dalam proses atau belum dilakukan penghapusan NPWP; dan instansi pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak namun belum dilakukan penghapusan NPWP. Selain berdasarkan kriteria diatas, penetapan wajib pajak nonaktif secara jabatan juga dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan wajib pajak tidak: melaporkan SPT Masa atau SPT Tahunan secara berturut-turut dalam 5 tahun terakhir; dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga atau pihak lain secara berturut-turut dalam 5 tahun terakhir; melakukan pembayaran pajak secara berturut-turut dalam 5 tahun terakhir; memiliki tunggakan pajak dan/atau tidak sedang melakukan upaya hukum; sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan tindak pidana perpajakan; dan mendapatkan fasilitas atau insentif perpajakan. Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Nonaktif Permohonan penetapan wajib pajak nonaktif dapat diajukan berdasarkan permohonan wajib pajak atau berdasarkan jabatan yang ditetapkan oleh kepala kantor pelayanan pajak (KPP). Berdasarkan Pasal 34 ayat (3) PER 7/2025, permohonan penetapan wajib pajak nonaktif diajukan secara elektronik melalui portal wajib pajak (Coretax), laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP (PJAP), dan/atau Pusat Kontak. Pada aplikasi Coretax, penonaktifan status wajib pajak dapat dilakukan melalui menu Portal Saya > Perubahan Status > Penetapan Wajib Pajak Nonaktif. Wajib pajak akan diminta mengisi formulir dan memilih alasan penetapan nonaktif serta mengunggah dokumen pendukung. Sementara itu, jika wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan secara elektronik, wajib pajak dapat mengajukan permohonan status wajib pajak nonaktif secara langsung atau melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak (KP2KP), atau tempat lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan tersebut kemudian harus diajukan dengan mengisi dan menandatangani formulir penetapan status wajib pajak nonaktif sesuai dengan format pada Lampiran F PER 7/2025.

Aturan Baru Untuk Pajak Emas, Bisnis Bullion Diyakini Terus Tumbuh

Pemerintah telah mengatur ulang ketentuan pajak transaksi emas melalui penerbitan PMK 51/2025 dan PMK 52/2025. Penerbitan PMK 51/2025 dan PMK 52/2025 dianggap lebih banyak anggota mengenai perlakuan pajak dalam transaksi emas. Sejalan dengan penerbitan kedua peraturan tersebut, bisnis buldion akan menunjukkan kininja positif dari Paya tahun ini. “Kami optimis bahwa tren bisnis akan terus meningkat tahun ini proyeksi pertumbuhan positif tahun ini pada akhir tahun ini,” kata Direktur Penjualan & Distribusi Bank Islam Indonesia Anton Sukarna, kutipan kutipan Quoquip Onip (BSI) (kutipan kutipan (BSI, Sukut. Anton mengatakan bahwa emas masih akan menjadi salah satu instruksi investasi untuk Keana Safe Haven bagi masyarakat. Aturan ini juga menyediakan berbagai pilihan mulai dari angsuran emas, pawning emas, dan pembelian emas melalui aplikasi untuk memfasilitasi publik. Sebagai bank yang telah ditentukan oleh Bullion, BSI akan mengoptimalkan potensi logam berharga domestik melalui produk BSI emas. Dalam semester I/2025, keseimbangan emas BSI dalam satuan gram tumbuh 110% di tahun sampai sekarang volume dengan volume 1 ton. Sementara itu, PT Pegadaian (Persero) diragukan untuk mencatat jumlah kepentingan publik dalam transaksi emas. Paya Semester I/2025, Golden Bank of Gold Savings Golds mencapai 13,8 ton, sedangkan deposit emas 1,28 ton. Perdagangan Emas di Pegadaian dicatat 2,8 ton, sementara 200 kilogram pinjaman modal kerja emas, dan 2,9 ton deposito emas perusahaan. Pisnshop memperkirakan bahwa minat orang untuk membeli emas semakin kuat bersama dengan konfirmasi pajak penghasilan Pasal 22 yang tidak dikumpulkan untuk pembelian emas oheh sebagai konsumen akhir di PMK 52/2025. “Tidak perlu khawatir! Beli emas di tempat tinggal, publik tidak kena pajak 0,25%!” Suara kapal yang diunggah di Instagram. PMK 52/2025, antara lain, telah mengecualikan koleksi Pasal 22 PPH untuk Golden Bars yang dilakukan oleh Perhiasan Emas dan/atau Bar ke Bullion Financial Services Institute (LJK). Kemudian, pengecualian pengumpulan pajak pendapatan Pasal 22 masih berlaku untuk pengiriman bar emas ke Bank Indonesia (BI) dan melalui pasar fisik emas digital, sesuai dengan ketentuan dalam perdagangan berjangka Kajangaoti. Setelah itu, pengumpulan pajak penghasilan Pasal 22 belum dilakukan di bar emas oleh perhiasan emas dan/atau bar untuk pihak -pihak tertentu. Partai -partai tertentu termasuk konsumen akhir; Pembayar pajak tunduk pada PPH akhir; Dan pembayar pajak yang memiliki surat kemitraan gratis dari Pajak Penghasilan Pasal 22. Di sisi lain, PMK 51/2025 sekarang menambahkan Bulids LJK sebagai pengumpul pajak penghasilan Pasal 22. Untuk pembelian batang emas, LJK Bullion, Pasal 22 PPH adalah 0,25% dari bagian melintang dari Haragel, Pasal 0,25% berasal dari pembelian, bukan pembelian 0,25%, bukan pembelian 0,25%, tidak. Namun, ada pengecualian, yaitu pembayaran pengiriman oheh ljk bulid dari nilai maksimum Rp10 juta yang tidak mendenaii pph Pasal 22.

PER-11/PJ/2025 Mengatur Kriteria Wajib Pajak Penghasilan Tertentu Tidak Wajib Melaporkan SPT

Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-11/PJ/2025 juga mengatur kriteria wajib pajak penghasilan (PPh) tertentu yang dibebaskan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT). Mengacu pada Pasal 112 PER-11/PJ/2025, wajib pajak PPh tertentu dibebaskan dari kewajiban penyampaian SPT. Peraturan ini mengidentifikasi dua jenis wajib pajak orang pribadi yang dianggap memenuhi kriteria wajib pajak PPh tertentu. (a) Wajib Pajak Orang Pribadi yang dalam satu tahun pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto paling banyak PTKP (Perseroan Pajak/PTKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Pajak Penghasilan,” bunyi Pasal 112 ayat (2) huruf a. Lebih lanjut, wajib pajak orang pribadi juga memenuhi kriteria wajib pajak penghasilan tertentu jika tidak melakukan kegiatan usaha atau melakukan pekerjaan bebas. Perlu diketahui bahwa wajib pajak penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) huruf a dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi. Sementara itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau melakukan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) huruf b dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. Sebagai informasi, wajib pajak yang telah ditetapkan sebagai wajib pajak nonaktif juga dibebaskan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Wajib pajak nonaktif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, tetapi belum dicabut Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain itu, SPT merupakan dokumen yang digunakan wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek kena pajak dan/atau objek tidak kena pajak, dan/atau aset dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Tarif Bunga Sanksi Administratif Pajak Periode Agustus 2025

Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF), Kementerian Keuangan, telah menetapkan suku bunga sebagai dasar perhitungan sanksi administratif dan kompensasi bunga untuk periode 1–31 Agustus 2025. Ketentuan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 4/MK/EF/2025 yang berlaku secara nasional. Berikut ini rinciannya: 1. Tarif sebesar 0,55 persen per bulan untuk pelanggaran berdasarkan: Pasal 19 ayat (1): keterlambatan pembayaran pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pasal 19 ayat (2): permintaan penundaan pembayaran. Pasal 19 ayat (3): pelunasan pajak dalam jumlah yang telah ditetapkan. 2. Tarif sebesar 0,96 persen per bulan untuk pelanggaran: Pasal 8 ayat (2) dan (2a): pembetulan SPT sebelum dilakukan pemeriksaan. Pasal 9 ayat (2a) dan (2b): keterlambatan penyetoran sendiri. Pasal 14 ayat (3): ketetapan pajak secara jabatan. 3. Tarif sebesar 1,38 persen per bulan untuk: Pasal 8 ayat (5): pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT setelah dilakukan pemeriksaan. 4. Tarif sebesar 1,80 persen per bulan untuk: Pasal 13 ayat (2) dan (2a): ketetapan pajak kurang bayar dan SKPKB dengan keberatan. 5. Tarif sebesar 2,21 persen per bulan untuk: Pasal 13 ayat (3b): pengenaan sanksi bunga dalam putusan banding atau peninjauan kembali.   Sementara itu, bagi Wajib Pajak yang berhak menerima imbalan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3), Pasal 17B ayat (3) dan (4), serta Pasal 27B ayat (4) UU KUP, tarif imbalan bunga untuk Agustus 2025 ditetapkan sebesar 0,55 persen per bulan. Imbalan bunga ini berlaku dalam sejumlah kondisi, di antaranya: Jika terdapat keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) lebih dari satu bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU KUP. Dalam hal pengembalian pajak dilakukan setelah putusan keberatan, banding, atau peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (3) dan (4). Jika hasil keberatan atau upaya hukum menunjukkan bahwa jumlah pajak yang dibayar Wajib Pajak ternyata benar dan kelebihan pembayaran harus dikembalikan, sesuai Pasal 27B ayat (4).