Saat membeli Barang Kena Pajak (BKP), ada istilah “retur”. Begitu pula saat menyediakan Jasa Kena Pajak (JKP), ada istilah “pembatalan JKP”. Jika JKP dibatalkan, pengguna jasa wajib menerbitkan Surat Pemberitahuan Pembatalan JKP. Pembatalan JKP ini dapat mengurangi PPN yang dikelola oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Lalu, apakah ada sanksi atas keterlambatan penerbitan Surat Pemberitahuan Pembatalan? Keterlambatan penerbitan Surat Pemberitahuan Pembatalan tidak dikenakan denda. Namun, Surat Pemberitahuan Pembatalan wajib diterbitkan oleh pengguna jasa kena pajak pada saat transaksi Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dibatalkan. Ketentuan mengenai nota pembatalan sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 65/2010. Selanjutnya, pemerintah mencabut PMK 65/2010 dan menggantinya dengan PMK 81/2024. PMK 81/2024 merupakan PMK yang komprehensif karena menyelaraskan berbagai peraturan perpajakan dalam kerangka penerapan pajak inti. Salah satu ketentuan yang diatur adalah tata cara pengurangan PPN atas Jasa Kena Pajak (JKP) yang dibatalkan, termasuk nota pembatalan. Meskipun PMK 81/2024 tidak secara eksplisit mendefinisikan nota pembatalan, makna nota pembatalan dapat dipahami dari Pasal 289 ayat (1) PMK 81/2024. Berdasarkan pasal ini, nota pembatalan dapat didefinisikan sebagai dokumen yang dibuat oleh penerima jasa untuk disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) penyedia jasa dalam hal terjadi pembatalan JKP. Penerima jasa wajib membuat nota pembatalan pada saat JKP dibatalkan. Waktu pembatalan JKP mengacu pada pembatalan hak, fasilitas, atau kemudahan oleh penerima jasa. Permenkeu 81/2024 juga mengatur ketentuan penyusunan nota pembatalan, termasuk informasi minimal yang wajib dicantumkan dalam nota pembatalan. Berdasarkan Pasal 289 ayat (3), nota pembatalan paling sedikit memuat: 1. Nomor nota pembatalan; 2. Kode Faktur Pajak, nomor seri, dan tanggal Faktur Pajak JKP yang dibatalkan, untuk nota pembatalan faktur pajak; 3. Nomor dan tanggal dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak untuk Faktur Pajak JKP yang dibatalkan, untuk nota pembatalan dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak; 4. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penerima layanan; 5. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pengusaha Kena Pajak (PKP) pemberi JKP; 6. Jenis layanan dan jumlah penggantian atas JKP yang dibatalkan; 7. PPN atas JKP yang dibatalkan; 8. Tanggal penerbitan nota pembatalan; dan 9. Nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang menandatangani nota pembatalan. Selain itu, nota pembatalan harus dibuat sesuai dengan empat persyaratan. Pertama, nota pembatalan harus elektronik. Kedua, harus dibuat dan diunggah melalui modul di portal wajib pajak (coretax) atau halaman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP. Ketiga, harus ditandatangani menggunakan tanda tangan elektronik. Keempat, mendapatkan persetujuan DJP. PMK 81/2024 juga telah memberikan contoh surat pembatalan beserta instruksinya. Isi di Lampiran SS PMK 81/2024.
Pengkreditan Pajak Masukan Sekarang Tidak Bergantung pada Pelaporan PPN Penjual
Pengusaha Kena Pajak (PKP) berhak mendapatkan kredit pajak masukan. Kredit ini dapat diberikan sepanjang memenuhi persyaratan formal dan material, tanpa harus menunggu pelaporan dari PKP penjual. Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 122 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER 11/2025). Pasal tersebut berbunyi: “Pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak … tidak bergantung pada pelaporan Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dimaksud.” Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2021 (SE 45/2021), pengujian syarat formal dan material faktur pajak dapat dilakukan melalui dua mekanisme. Pertama, pengujian dilakukan terhadap transaksi yang mendasarinya melalui pengujian arus uang, arus barang atau jasa, dan arus dokumen. Kedua, pengujian dilakukan dengan melakukan konfirmasi faktur pajak melalui sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Konfirmasi ini memeriksa apakah faktur pajak terkait pajak masukan telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan faktur pajak. Sebelum Surat Edaran ini diterbitkan, DJP mengamati adanya perbedaan tindak lanjut atas hasil konfirmasi. Dalam beberapa kasus, jika hasil konfirmasi menunjukkan bahwa faktur pajak belum dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual, maka Pengusaha Kena Pajak pembeli tidak diperkenankan mengkreditkan pajak masukan. Hal ini tidak adil bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli yang secara materiil dan formal telah memenuhi persyaratan pengkreditan pajak dan telah membayar PPN. Pemberlakuan PER 11/2025 memberikan kepastian hukum bagi Pengusaha Kena Pajak terkait pengkreditan Pajak Masukan. PKP pembeli dapat mengkreditkan Pajak Masukan, tanpa bergantung pada pelaporan PKP penjual. Sebagai bentuk antisipasi, PKP pembeli kini dapat mengecek apakah faktur pajak yang dibuat oleh PKP penjual telah dilaporkan. Pengecekan dapat dilakukan melalui Coretax, kemudian akses e-Faktur → Pajak Masukan. Pada daftar Pajak Masukan, geser layar ke kanan, lalu cek kolom Dilaporkan oleh Penjual. Pada kolom ini akan ditampilkan status NO (jika belum dilaporkan) atau YES (jika sudah dilaporkan).
Impor Sampel Barang Bebas Bea
Pemerintah telah membebaskan bea masuk untuk barang contoh. Perlu diketahui bahwa barang tersebut benar-benar diimpor khusus sebagai contoh dan bukan untuk diperdagangkan. Pembebasan bea masuk atas barang contoh diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf j Undang-Undang Kepabeanan. Pasal ini menegaskan bahwa barang contoh dapat dibebaskan dari bea masuk sepanjang tidak untuk diperdagangkan. “Barang contoh didefinisikan sebagai barang yang diimpor khusus sebagai contoh, termasuk untuk keperluan produksi (prototipe) dan pameran, dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik jenis maupun mereknya,” demikian bunyi penjelasan Pasal 25 ayat (1) huruf j Undang-Undang Kepabeanan, dikutip pada Rabu (3 September 2025). Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebasan bea masuk atas barang contoh untuk keperluan produksi diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 140/KMK.05/1997. Berdasarkan keputusan ini, barang contoh untuk keperluan produksi adalah semua barang yang diimpor khusus sebagai contoh untuk pembuatan produk. Produksi tersebut ditujukan untuk ekspor atau pemasaran di dalam negeri. Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk, barang contoh harus memenuhi enam persyaratan. Pertama, barang tersebut harus semata-mata ditujukan untuk pengenalan produksi atau produk baru. Kedua, hanya tiga barang dengan merek/model/jenis yang sama yang dapat diimpor. Ketiga, barang tersebut tidak boleh ditujukan untuk diolah lebih lanjut kecuali untuk penelitian dan pengembangan mutu. Keempat, barang tersebut tidak boleh dipindahtangankan, dijual, atau dikonsumsi di dalam negeri. Kelima, barang tersebut tidak boleh berupa kendaraan bermotor, termasuk alat berat dalam jenis dan/atau kondisi apa pun. Keenam, barang contoh harus disimpan selama dua tahun sejak tanggal impor. Selain bea masuk, barang contoh tersebut juga diberikan pembebasan cukai. Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk dan cukai, importir harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk. Permohonan harus disertai dua dokumen: Pertama, rincian jumlah dan jenis barang yang dimintakan pembebasan bea masuk dan cukai, beserta nilai pabeannya. Kedua, rekomendasi dari instansi teknis terkait. Jika permohonan disetujui, Direktur Fasilitas Kepabeanan akan menerbitkan surat keputusan pembebasan bea masuk dan cukai. Menurut situs web DJBC, surat keputusan diterbitkan paling lama 14 hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap dan benar.
Wajib Pajak Diimbau Tidak Mengkredit Faktur Pajak Masukan Berkode 08
Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, telah mengeluarkan peringatan bahwa faktur pajak masukan berkode 08 tidak dapat dikreditkan. Jika hal ini dipaksakan, Pengusaha Kena Pajak (PKP) akan menerima notifikasi kesalahan dalam Coretax DJP. Penjelasan ini menanggapi cuitan seorang netizen yang melaporkan mengalami masalah saat mencoba mengkreditkan pajak masukan. Netizen tersebut melaporkan menerima notifikasi: “Beberapa faktur masukan tidak dapat diperbarui; silakan buka formulir untuk memeriksa statusnya.” “Faktur pajak masukan berkode 08 tidak dapat dikreditkan oleh pembeli. Silakan periksa kembali faktur pajak mana yang dapat dikreditkan.” Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN, kredit pajak masukan tidak dapat diterapkan untuk pengeluaran untuk: perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha; perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang faktur pajaknya tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) Undang-Undang PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Barang Kena Pajak; dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang PPN. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 9A ayat (2) Undang-Undang PPN, pajak masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, dan pemanfaatan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, yang berkaitan dengan penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu, tidak dapat dikreditkan. Pengusaha Kena Pajak tertentu yang dimaksud adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang: memiliki peredaran usaha dalam satu tahun pajak tidak melebihi jumlah tertentu; melakukan kegiatan usaha tertentu; dan/atau melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu, dapat memungut dan menyetorkan PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu. Sedangkan, berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN, Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, dan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN meliputi: kegiatan di daerah atau lokasi tertentu di dalam daerah pabean; penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; impor Barang Kena Pajak tertentu; pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; dan Pemanfaatan Barang dan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai informasi, Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang dan Jasa Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor Barang dan Jasa Kena Pajak.
Sri Mulyani Pastikan Pajak Tak Naik Tahun Depan, Fokus Tingkatkan Kepatuhan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan baru untuk menaikkan pajak tahun depan, sebuah kekhawatiran publik yang telah lama ada. Alih-alih menaikkan tarif, Sri Mulyani menekankan upaya untuk memperkuat kepatuhan dan penegakan hukum dalam sistem perpajakan. “Sering disampaikan seolah-olah upaya meningkatkan pendapatan itu dengan menaikkan pajak, padahal pajaknya tetap sama, tapi enforcement dan compliance akan dirapikan dan ditingkatkan,” ujarnya dalam rapat bersama DPD RI, Selasa (2/9/2025). Menurut Sri Mulyani, kebijakan perpajakan tetap mengedepankan prinsip gotong royong dan dukungan bagi kelompok ekonomi kurang mampu. UMKM dengan omzet tahunan hingga Rp500 juta dibebaskan dari Pajak Penghasilan (PPh), sementara omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar dikenakan pajak final sebesar 0,5 persen. “Ini adalah kebijakan pemihakan kepada UMKM, karena PPh Badan normalnya mencapai 22%,” jelasnya. Selain itu, pemerintah memberikan pengecualian pajak untuk sektor kesehatan, pendidikan, serta masyarakat dengan pendapatan di bawah Rp 60 juta per tahun. Sri Mulyani menekankan, kebijakan ini menjaga prinsip gotong royong sekaligus tata kelola yang baik.
Buruh Tuntut Penghapusan Pajak Tunjangan Hari Raya dan Kenaikan Batas PTKP
Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk melanjutkan agenda reformasi perpajakan dalam pertemuan dengan perwakilan serikat pekerja di Istana Kepresidenan kemarin. Berdasarkan masukan dari serikat pekerja, reformasi perpajakan akan mencakup penghapusan pajak atas penghasilan berupa Tunjangan Hari Raya (THR) dan pencairan uang pesangon, jaminan pensiun, atau jaminan hari tua (JHT) secara sekaligus. “Kita tahu THR kita sudah habis, tapi tetap kena pajak. Kita tidak punya uang untuk pesangon, jadi kena pajak. Tabungan kita di Jamsostek dan JHT kena pajak. Maka, kami usulkan penghapusan pajak THR, pesangon, dan JHT,” ujar Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), seperti dikutip Selasa (2 September 2025). Lebih lanjut, Said menyatakan bahwa para buruh juga meminta kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari yang berlaku saat ini sebesar Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan menjadi Rp90 juta per tahun atau Rp7,5 juta per bulan. Menurutnya, Prabowo menyambut baik seluruh usulan yang disampaikan para buruh. Pertemuan berlangsung santai, sehingga semua pihak dapat menyampaikan aspirasinya. Said juga mengakui bahwa ia memahami jika Prabowo membutuhkan waktu untuk melaksanakan seluruh usulan buruh, termasuk isu reformasi perpajakan. Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Lebih lanjut, Pasal 21 ayat (1) huruf 1 menyatakan bahwa pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya. Hal ini merupakan imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. Peraturan Menteri Keuangan 168/2023 menetapkan bahwa penghasilan yang dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap, baik tetap maupun tidak tetap. Penghasilan tetap dan tidak tetap meliputi gaji, tunjangan lainnya, uang lembur, bonus, THR, honorarium produksi, bonus, gratifikasi, penghasilan tidak tetap lainnya, pembayaran iuran jaminan kecelakaan kerja dan kematian oleh pemberi kerja, serta premi asuransi yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah 68/2009 mengatur bahwa uang pesangon, uang pensiun, atau jaminan hari tua (JHT) yang dibayarkan secara bersamaan juga dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. Tarif PPh Pasal 21 final untuk pesangon adalah 0% untuk penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta, 5% untuk penghasilan bruto di atas Rp50 juta sampai dengan Rp100 juta, 15% untuk penghasilan bruto di atas Rp100 juta sampai dengan Rp500 juta, dan 25% untuk penghasilan bruto di atas Rp500 juta. PPh Pasal 21 final untuk manfaat pensiun dan JHT, berdasarkan Peraturan Pemerintah 58/2023, adalah 0% untuk penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta dan 5% untuk penghasilan bruto di atas Rp50 juta.
DJP Tunjuk 3 Pemungut PPN PMSE Baru
Berdasarkan Siaran Pers Nomor SP-23/2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjuk tiga entitas baru sebagai pemungut PPN PMSE. Ketiga entitas tersebut adalah Scalable Hosting Solutions OÜ, Express Technologies Limited, dan Finelo Limited. Dengan penambahan ini, total pemungut PPN PMSE yang ditunjuk pemerintah hingga Juli 2025 mencapai 223 entitas. Pada periode yang sama, pemerintah juga mencabut penunjukan tiga entitas lainnya, yaitu Evernote GmbH, To The New Singapore Pte. Ltd., dan Epic Games Entertainment International GmbH. Sejak kebijakan ini diterapkan, penerimaan negara dari PPN PMSE menunjukkan tren pertumbuhan yang signifikan. Per 31 Juli 2025, total penerimaan PPN PMSE mencapai Rp31,06 triliun. PPN ini dipungut oleh 201 dari 223 entitas yang ditunjuk. PPN PMSE dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean. Pungutan ini saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024. Pelaku usaha PMSE luar negeri yang memenuhi kriteria tertentu wajib ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE. Kriteria tersebut meliputi nilai transaksi lebih dari Rp600 juta dalam satu tahun atau Rp50 juta per bulan, atau jumlah pengguna lebih dari 12.000 per tahun atau 1.000 per bulan.
Ada yang Baru dalam Permohonan Pengurangan Denda Pajak
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pembetulan, Keberatan, Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan di Bidang Perpajakan telah resmi berlaku sejak 1 Januari 2025. Banyak wajib pajak yang masih belum memahami bahwa sejak berlakunya peraturan ini, pengajuan permohonan pengurangan denda tidak lagi sama seperti sebelumnya. Pada Bab IV, Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pengurangan, Penghapusan, atau Pembatalan, aturan baru mengenai pengurangan denda diatur lebih jelas untuk mengakomodasi amanat Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. PMK 118 Tahun 2024 menyatakan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan denda jika dapat membuktikan apakah sanksi yang dijatuhkan disebabkan oleh kesalahan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya sendiri. Pada awal tahun 2025, menyusul penerapan sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) yang menghapuskan sanksi perpajakan akibat kesalahan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk periode Januari 2025 hingga Maret 2025. Penghapusan ini dilakukan oleh DJP tanpa menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Jika STP diterbitkan, DJP akan menerapkan penghapusan secara resmi tanpa perlu permohonan penghapusan. Untuk periode selanjutnya, pengenaan sanksi akan tetap sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak yang melakukan kesalahan karena kelalaian dan bukan karena kesalahannya sendiri dapat mengajukan permohonan melalui surat tercatat, loket TPT di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, atau secara daring di Coretax. Sebelum mengajukan permohonan pengurangan sanksi, wajib pajak harus mengetahui persyaratan formal yang harus dipenuhi agar permohonan tidak ditolak. Wajib pajak harus telah melunasi pajak yang belum atau kurang bayar, pokok atau selisih pokok PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), atau PBB yang belum atau kurang bayar. Permohonan tersebut harus diajukan sebelum mengajukan permohonan lelang barang sitaan atau permohonan pengalihan barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan lelang untuk penagihan pajak terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Ketetapan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak (SKP PBB), atau Surat Ketetapan Pajak (STP PBB). Perbedaan dari peraturan lama adalah peraturan baru yang berlaku saat ini mewajibkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghitung denda yang dapat dikurangkan secara proporsional berdasarkan permohonan wajib pajak. Pasal 23 Angka 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2024 menyatakan bahwa pembayaran Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan yang dilakukan sebelum bulan pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan permohonan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, dihitung secara proporsional sebagai pembayaran atas: jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar, pokok atau selisih pokok Pajak Bumi dan Bangunan, atau jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang belum atau kurang dibayar; dan sanksi administrasi atau denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan. Untuk pembayaran yang dilakukan pada bulan yang sama dengan pengajuan permohonan, pembayaran tersebut merupakan jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar, pokok atau selisih pokok Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), atau jumlah PBB yang belum atau kurang dibayar.
Perbedaan dan Kegunaan Pajak Pusat dan Daerah
Banyak masyarakat masih belum memahami perbedaan antara pajak pusat dan daerah, padahal keduanya berperan krusial dalam pembangunan dan memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. Hal ini krusial karena sistem perpajakan Indonesia dirancang untuk memastikan pembiayaan negara dan daerah berjalan paralel, tanpa membebani wajib pajak. Untuk mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi. Kewenangan ini diperkuat melalui restrukturisasi perpajakan, penyediaan sumber pajak daerah baru, penyederhanaan retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kebijakan ini bertujuan untuk menyelaraskan objek pajak antara pemerintah pusat dan daerah agar tidak terjadi duplikasi pemungutan, menyederhanakan administrasi perpajakan, memudahkan pemantauan pemungutan pajak secara terpadu, dan memudahkan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Pada prinsipnya, pendanaan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam rangka hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kedua, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Skema ini meningkatkan kemandirian daerah karena penerimaan pajak daerah dicatat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), sekaligus memberikan kepastian penerimaan dan fleksibilitas dalam penggunaan anggaran tanpa bergantung pada skema bagi hasil. Pajak Pusat Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui undang-undang. Kewenangan pemungutannya berada di tangan pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Lebih lanjut, penerimaan pajak pusat digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat, yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain pajak, APBN juga didukung oleh sumber-sumber lain seperti bea masuk dan bea keluar, cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah. Jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat meliputi: Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Bea Meterai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan. Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), pajak daerah didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan, yang bersifat mengikat secara hukum, tanpa imbalan secara langsung, dan digunakan untuk kepentingan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara umum, pengelolaan pajak daerah dibagi menjadi tingkat kota dan provinsi. Namun, di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, hanya terdapat tingkat provinsi. Pajak yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) – 5 jenis Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pajak Rokok Pajak Reklame Pajak Alat Berat (PAB) Pajak Air Tanah (PAT) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Pajak daerah bukan hanya kewajiban administrasi, tetapi bentuk partisipasi masyarakat dalam mendukung pembangunan. Pajak yang dibayarkan akan kembali ke masyarakat melalui berbagai program. Di Jakarta, penerimaan pajak daerah digunakan untuk berbagai kebutuhan publik, termasuk transportasi umum seperti MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan Transjakarta. Selain itu, program pendidikan digunakan untuk mendanai program unggulan pendidikan seperti Kartu […]
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Berikan Edukasi Perpajakan melalui Coretax
Wajib pajak dapat mengunduh materi edukasi perpajakan melalui Coretax, Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Materi edukasi ini dapat diunduh melalui modul Layanan Wajib Pajak, menu Layanan Edukasi Perpajakan, dan submenu Materi Edukasi. Layanan edukasi perpajakan merupakan salah satu fitur yang tersedia di Coretax. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa layanan ini disediakan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepatuhan wajib pajak secara sukarela. Layanan edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepatuhan wajib pajak secara sukarela dengan memberikan informasi dan pendampingan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Salah satu layanan yang tersedia adalah materi edukasi. Layanan ini berfungsi sebagai kanal bagi wajib pajak yang ingin mendapatkan informasi perpajakan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Wajib pajak dapat mengunduh materi edukasi yang tersedia dan memberikan umpan balik serta masukan. Jika ditelusuri lebih lanjut, submenu Materi Edukasi terbagi menjadi tiga kategori: materi edukasi umum, materi edukasi khusus, dan materi e-learning. Sayangnya, materi edukasi perpajakan yang tersedia saat ini terbatas. Saat artikel ini ditulis, hanya ada empat materi dalam kategori Edukasi Umum. Keempat materi tersebut meliputi: Selebaran e-Stamp; Panduan Coretax untuk Seri Surat Keterangan Potong PPh; Panduan Singkat Penerapan Coretax bagi Wajib Pajak; dan Hak dan Kewajiban Orang Pribadi. Sementara itu, materi edukasi perpajakan tidak tersedia di kategori Materi Edukasi Khusus maupun menu Materi E Learning. Selain mengunduh materi yang tersedia secara langsung, wajib pajak juga dapat melihat jadwal kelas pajak yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Jadwal kelas pajak dapat dilihat melalui submenu Jadwal Kegiatan Edukasi. Submenu ini menampilkan kalender yang berisi tanggal kelas pajak dan informasi detailnya. Selain itu, wajib pajak dapat mengajukan permohonan edukasi perpajakan melalui submenu Pengajuan Permohonan Edukasi Perpajakan. Fitur ini digunakan oleh wajib pajak yang membutuhkan narasumber untuk kegiatan edukasi perpajakan.
