Isu amnesti pajak kembali mengemuka setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Amnesti Pajak dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa pencantuman Rancangan Undang-Undang (RUU) Amnesti Pajak dalam Prolegnas 2025 merupakan proses administrasi yang wajar dalam penyusunan Prolegnas oleh DPR. Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berpendapat bahwa kebijakan amnesti pajak sebaiknya tidak diberikan berulang kali karena berpotensi merusak kredibilitas program tersebut. Tahukah Anda bahwa amnesti pajak tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat? Pemerintah daerah juga kerap menggelar program serupa—yang dikenal dengan istilah amnesti pajak. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) merupakan salah satu sektor pajak daerah yang kerap mendapatkan amnesti. Pemerintah daerah yang masih menerapkan program PKB antara lain Sumatera Barat, Jayapura, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara (khusus pelajar), Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Lampung, Jawa Timur, Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Banten. Sejumlah daerah ini bahkan menawarkan pembebasan PKB hingga Desember 2025. Selain PKB, pembebasan pajak juga kerap diberikan untuk sektor pajak lainnya, seperti Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pemerintah daerah yang saat ini menerapkan pembebasan PBB-P2 antara lain Kota Bandung, Kota Tarakan, Kota Yogyakarta, Kabupaten Jepara, Kabupaten Nganjuk, Kota Serang, Kabupaten Majalengka, Kota Pakangka Raya, dan Kabupaten Kudus. Secara regulasi, ketentuan pembebasan pajak dapat mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, konsep pelaksanaan pembebasan pajak dapat ditemukan dalam Pasal 96 UU HKPD. Pasal ini mengatur bahwa kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran pokok dan/atau denda pajak dan retribusi daerah. Meskipun sering terdengar dan beredar di berbagai publikasi, istilah “pengampunan pajak” sebenarnya tidak tercantum dalam Undang-Undang Pajak Daerah (HKPD). Pengampunan pajak merupakan istilah yang lebih populer untuk memberikan keringanan, terutama dalam bentuk penghapusan pokok dan/atau denda administrasi pajak daerah. Pelajari lebih lanjut tentang “Apa itu Pengampunan Pajak?” Dalam beberapa diskusi, istilah “pengampunan pajak” terkadang digunakan secara bergantian dengan “pengampunan pajak”, “pengampunan pajak daerah”, “pengampunan pajak pemerintah daerah”, atau “pengampunan pajak kota”. Jadi, apakah pengampunan pajak sama dengan pengampunan pajak? Definisi pengampunan pajak tercantum dalam Undang-Undang No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, amnesti pajak adalah: “Penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tanpa dikenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan.” Definisi serupa tentang amnesti pajak terdapat dalam Glosarium Pajak Internasional IBFD, yang mendefinisikan amnesti pajak sebagai: “Kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan penghasilan atau hartanya dan membayar pajak yang sebelumnya belum dibayar. Amnesti pajak biasanya juga memberikan pengurangan atau penghapusan bunga/denda dan pembebasan dari tuntutan pidana.” Sementara itu, Borgne dan Baer (2008) mendefinisikan amnesti pajak sebagai kesempatan dari pemerintah, dalam jangka waktu tertentu, bagi wajib pajak tertentu untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan atas penghapusan kewajiban perpajakan (termasuk bunga dan denda) dan pembebasan dari tuntutan pidana. Penghapusan kewajiban ini berkaitan dengan masa pajak sebelumnya. Di sisi lain, Alm dan Beck (1991) mendefinisikan amnesti pajak sebagai kesempatan yang diberikan kepada masyarakat […]
DJP Tengah Mengkaji Pengenaan PPh Final Atas Penjualan Emas Melalui Platform Digital
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang melakukan kajian mendalam mengenai kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final atas keuntungan penjualan emas. Kajian ini disampaikan oleh Joko Galungan, Kepala Subdirektorat Pajak Penghasilan Badan pada Direktorat PP2 (Pajak Penghasilan Daerah) DJP, dalam seminar dalam rangka Pajak Goes To Campus yang digelar Tax Centre FIA Universitas Indonesia (Kamis, 18/09/2025). Joko menjelaskan bahwa kajian ini merupakan hasil observasi terhadap potensi monetisasi emas. Berdasarkan data yang diperoleh Joko, diketahui terdapat sekitar 1.800 ton emas yang tersimpan “di bawah bantal” di masyarakat, dengan estimasi nilai mencapai Rp3.700 triliun. Dari jumlah tersebut, kurang dari 10% yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), yaitu sekitar 126 ton atau setara dengan Rp260 triliun. Lebih lanjut, Joko menyatakan bahwa Indonesia, sebagai produsen emas utama, hanya menyimpan 78,6 ton emas di Bank Indonesia. Angka ini jauh di bawah Singapura yang menyimpan 204 ton, meskipun bukan produsen emas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar emas di Indonesia tidak dimonetisasi di dalam negeri. Joko juga menyoroti pasar informal yang sangat dominan, di mana transaksi jual beli tidak tercatat, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kesulitan memungut pajak atas keuntungan modal. “Selama informal, pajak tidak akan dipungut,” tegasnya. Pertumbuhan transaksi emas digital juga meningkat pesat, diperkirakan mencapai Rp50 triliun pada tahun 2024, namun masih belum dilaporkan. Mengingat situasi ini, kebijakan Pajak Penghasilan Final dianggap sebagai solusi ideal untuk pendapatan tidak teratur atau terkait perdagangan, karena menyederhanakan proses perpajakan. Saat ini, banyak investor emas mengeluhkan rumitnya penghitungan pajak keuntungan modal, seperti kesulitan mengingat tanggal pembelian, jumlah, dan tarif yang berlaku, yang pada akhirnya membuat mereka enggan melaporkan emas mereka dalam SPT. Selain itu, regulasi yang belum lengkap dan kurangnya otomatisasi juga menjadi kendala. Skema perpajakan yang saat ini sedang dikaji oleh DJP mencakup pemungutan Pajak Penghasilan Final atas platform perdagangan emas terdaftar. Dengan tarif yang lebih sesuai dan proses yang lebih sederhana, DJP berharap masyarakat yang saat ini bertransaksi di pasar informal akan beralih ke pasar formal. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong masuknya emas batangan bank dan dimonetisasi untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi, seperti pembelian properti atau kendaraan, yang pada akhirnya akan dicatat oleh Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan simulasi awal, Joko memperkirakan potensi penerimaan pajak dari emas yang belum berada di pasar formal sebesar Rp4,63 triliun hingga Rp55,62 triliun. Angka ini bergantung pada seberapa besar pasar emas informal yang bertransisi menjadi pasar formal. Joko juga menyatakan bahwa penetapan tarif merupakan faktor krusial, mengingat imbal hasil setelah pajak dapat memengaruhi keputusan investor dalam memilih instrumen investasi. Kajian ini merupakan langkah strategis untuk menangkap potensi pajak dari sektor emas, seiring dengan perubahan lanskap bisnis dan perilaku konsumen yang kini lebih mengutamakan transaksi praktis dan digital. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkomitmen untuk menyeimbangkan kebutuhan negara dan kepentingan para pemangku kepentingan, dengan harapan kebijakan ini akan membawa terobosan dalam penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.
Prabowo dan Menkeu Purbaya Siapkan Insentif Menarik untuk Tarik Dolar WNI dari Luar Negeri
Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sedang mempersiapkan insentif menarik untuk menarik dolar dari warga negara Indonesia di luar negeri. Purbaya optimistis insentif yang sedang difinalisasi ini akan memperkuat cadangan devisa, meningkatkan pasokan dolar di perbankan nasional, dan mendukung pembiayaan proyek-proyek strategis pemerintah. “Rencana bagaimana menarik uang-uang dolar yang orang Indonesia suka taruh di luar balik ke sini. Tadi masih belum matang, masih kita matangkan lagi. Tapi kalau saya lihat rencananya cukup bagus sekali,” ujar Purbaya dalam usai bertemu dengan Prabowo, di Istana Merdeka, Jakarta, dikutip Pajak.com (22/9/25). Menurut Purbaya, skema insentif berbasis pasar ini akan mendorong warga negara Indonesia untuk lebih memilih menyimpan uang dalam dolar di dalam negeri. Insentif ini akan membantu menekan arus keluar dana valuta asing yang rutin dialami sebagian warga negara Indonesia, sehingga meningkatkan cadangan devisa dan memperkuat pasokan dolar di perbankan domestik. “Saya baru tahu juga bahwa ternyata setiap bulan banyak juga yang kirim [dolar] ke luar negara orang Indonesia. Uang-uangnya utamanya ke beberapa negara di kawasan sini. Jadi, kita akan menjaga itu dengan memberikan insentif yang menarik, sehingga mereka enggak usah capek-capek kirim dolarnya ke luar,” ungkap Purbaya. Ia menekankan pentingnya menjaga agar aliran dana yang masuk ke dalam negeri tidak keluar kembali. Langkah ini dapat memperkuat cadangan devisa nasional dan meningkatkan pasokan dolar bagi perbankan domestik. Secara simultan, kebutuhan pembiayaan dalam dolar untuk berbagai proyek ke depan dapat dipenuhi dari dalam negeri dengan tingkat bunga yang kompetitif. “Kalau kita bisa jaga masuk ke sini, nggak keluar, cadangan kita akan lebih besar lagi, dan perbankan kita punya suplai dolar lebih banyak lagi,” tandas Purbaya Menurut Purbaya, insentif bisa dijalankan segera dalam waktu singkat. Ia optimistis, insentif yang menarik membuat pemilik dana akan lebih memilih menempatkan dananya di dalam negeri sehingga memperkuat cadangan devisa sekaligus menambah likuiditas dolar di sistem perbankan nasional.
Perbedaan Registrasi NIK, Aktivasi NIK, dan Aktivasi Rekening Wajib Pajak
Registrasi NIK merupakan tahap awal pencatatan identitas seseorang dalam sistem perpajakan. Proses ini memastikan NIK warga negara diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui basis data kependudukan. Namun, registrasi ini belum menjadikan seseorang sebagai wajib pajak, karena pada tahap ini belum memiliki hak dan kewajiban perpajakan yang melekat. Tahap ini dapat diibaratkan seperti dunia perbankan. Bayangkan seorang calon nasabah mengunjungi bank untuk pertama kalinya. Petugas meminta kartu identitas mereka, lalu memasukkan data pribadi mereka ke dalam sistem. Identitas nasabah memang sudah teridentifikasi oleh sistem perbankan, tetapi mereka belum memiliki rekening. Artinya, mereka tidak dapat menabung, mentransfer uang, atau bertransaksi. Demikian pula, registrasi NIK hanyalah proses registrasi awal agar sistem perpajakan dapat mengenali identitas mereka, tanpa dikenakan kewajiban perpajakan apa pun. Tahap selanjutnya adalah aktivasi NIK, yaitu tahap di mana NIK yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai nomor induk kependudukan (NIK) diubah menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pada tahap ini, hak dan kewajiban perpajakan resmi berlaku. Dengan NPWP, seseorang secara hukum diakui sebagai wajib pajak dan dapat melakukan berbagai kegiatan perpajakan, mulai dari pelaporan hingga pembayaran. Dengan kata lain, tidak semua orang perlu mengaktifkan NIK; hanya mereka yang membutuhkan NPWP yang perlu melalui proses aktivasi ini. Dalam analogi perbankan, tahap ini mirip dengan proses pembukaan rekening. Setelah calon nasabah mengisi formulir dan melengkapi dokumen yang diperlukan, bank akan memberikan nomor rekening resmi. Nomor ini berfungsi sebagai pengenal transaksi dan memungkinkan nasabah untuk mulai menabung atau menarik uang. Demikian pula, aktivasi NIK mengubah status NIK mereka menjadi NPWP, yang secara resmi memungkinkan seseorang memasuki dunia perpajakan. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saja tidak cukup. Untuk menggunakan layanan pajak online, wajib pajak perlu mengaktifkan akun mereka di sistem Coretax. Aktivasi ini memberikan akses masuk, yang memungkinkan wajib pajak untuk membuat kode tagihan, melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), atau memantau kewajiban pajak mereka secara online. Tanpa aktivasi akun, akses ke layanan digital tetap terblokir, meskipun mereka memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Analogi perbankan relevan di sini. Memiliki nomor rekening saja tidak praktis jika nasabah harus mengunjungi kantor cabang setiap kali ingin memeriksa saldo atau melakukan transfer. Oleh karena itu, bank menyediakan layanan perbankan seluler atau kartu ATM untuk mempermudah transaksi. Demikian pula, aktivasi akun Coretax berfungsi seperti perbankan seluler: memudahkan akses, mempercepat layanan, dan memungkinkan wajib pajak untuk mengelola kewajiban mereka kapan saja tanpa harus datang langsung ke kantor pajak.
DJP Siapkan Template Impor XML Untuk Lapor SPT Tahunan Melalui Coretax
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) mulai tahun pajak 2025 akan disampaikan melalui aplikasi Coretax. Saat pelaporan, selain dengan key-in, beberapa data yang diperlukan dapat diimpor menggunakan format XML. Di situs web resminya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyiapkan beberapa templat XML atau berkas konverter XML dalam format Excel untuk digunakan wajib pajak. Untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (SPT PPh Orang Pribadi), wajib pajak dapat menggunakan berkas XML untuk mengimpor data terkait: biaya promosi (Lampiran 3D); biaya entertainment (Lampiran 3D); piutang tak tertagih (Lampiran 3D); dan penyusutan dan amortisasi (Lampiran 3C). Sementara itu, untuk wajib pajak badan, data yang dapat diimpor dengan file XML adalah: piutang tak tertagih (Lampiran 11A); biaya promosi (Lampiran 11A); daftar debitur non-performing loan (NPL) (Lampiran 11A); biaya entertainment (Lampiran 11A); pernyataan transaksi hubungan istimewa (Lampiran 10A); dan penyusutan dan amortisasi (Lampiran 9). Untuk membuat berkas XML dengan Excel, wajib pajak cukup memasukkan data ke dalam konverter berkas yang disediakan, lalu mengekspornya sebagai XML. Saat menyiapkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), beberapa data juga telah diisi sebelumnya. Misalnya, data pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, yang akan digunakan sebagai kredit pajak, atau data laporan laba rugi bagi wajib pajak badan yang diwajibkan menyampaikan laporan keuangan dalam format XBRL. Coretax mentransformasi proses bisnis pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh), baik untuk orang pribadi maupun badan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan beberapa panduan pengisian yang dapat dijadikan acuan wajib pajak dalam persiapan.
Tidak Dapat Mencetak SPT Bulanan Dan Hanya Menerima Notifikasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa bukti pemotongan pajak bulanan (Bupot SPT Bulanan/BPMP) pegawai tetap tidak perlu dicetak. Hal ini menghilangkan fitur unduh PDF untuk BPMP. Oleh karena itu, pegawai tetap hanya akan menerima notifikasi di akun Coretax mereka dan tidak dapat mencetak BPMP, karena dirancang untuk tidak dicetak. “Proses bisnis BPMP di Coretax DJP berbeda dengan sistem e-Bupot 21 (DJP Online) yang lama. Penerima penghasilan yang dipotong akan menerima notifikasi di akun wajib pajak mereka setelah pemotongan dilakukan oleh pemberi kerja,” jelas DJP melalui Pusat Informasi Coretax, dikutip pada Jumat (19 September 2025). Sebagai informasi, terdapat dua jenis Bupot PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap. Pertama, Bukti Pemotongan Pajak Bulanan Pegawai Tetap, yang biasa disebut BPMP. Bukti pemotongan pajak ini digunakan sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan. Wajib pajak wajib membuat BPMB untuk setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Final. BPMB ini mengakomodasi pemotongan PPh Pasal 21 di luar Masa Pajak Final, yang dihitung menggunakan tarif efektif rata-rata (TER). Sebelumnya, BPMB disebut Bupot PPh Pasal 21 Formulir 1721-A3. Kedua, Bupot PPh Pasal 21/26 Formulir BPA1. Berbeda dengan BPMP, Bupot PPh Pasal 21 BPA1 dibuat hanya untuk Masa Pajak Final. Perlu dicatat bahwa Masa Pajak Final tidak hanya mengacu pada Masa Pajak Desember. Masa Pajak Final mengacu pada Desember, yaitu Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja, atau Masa Pajak di mana pensiunan berhenti menerima manfaat pensiun. Sebelumnya, Bupot Formulir BPA1 disebut Bupot PPh Pasal 21 Formulir 1721-A1. Saat ini, PPh Bupot dibuat melalui modul coretax e-bupot.
UMKM Bisa Manfaatkan PPh Final Lebih Lama, Usulan Cukai Rokok
Isu pajak UMKM dan cukai rokok mendominasi perbincangan publik selama sepekan terakhir. Terkait pajak UMKM, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang masa berlaku skema Pajak Penghasilan (PPh) final bagi UMKM orang pribadi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa skema PPh final UMKM dengan tarif 0,5% akan tetap berlaku bagi wajib pajak orang pribadi hingga tahun 2029. “Terkait PPh final bagi UMKM dengan omzet tahunan Rp4,8 miliar, tarif PPh final 0,5% akan berlanjut hingga tahun 2029. Jadi, tidak diperpanjang setiap tahunnya, melainkan diberikan kepastian hingga tahun 2029,” ujarnya. Menurut Airlangga, saat ini terdapat 542.000 UMKM yang terdaftar sebagai wajib pajak dan memanfaatkan skema PPh final UMKM untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp2 triliun untuk melanjutkan penerapan pajak penghasilan final bagi UMKM tahun ini. Pemerintah selanjutnya akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) untuk memperpanjang masa berlaku pajak penghasilan final bagi UMKM bagi wajib pajak orang pribadi. Saat ini, masa berlaku pajak penghasilan final bagi UMKM diatur dalam PP 55/2022. Perpanjangan skema pajak penghasilan final bagi UMKM ini bertujuan untuk meringankan beban pajak UMKM dan menyederhanakan kewajiban administrasi wajib pajak. Terkait cukai rokok, banyak pihak yang mendesak penurunan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan masih mengkaji kebijakan tarif CHT untuk tahun depan. Purbaya menyatakan bahwa setiap kebijakan terkait tarif CHT memerlukan analisis yang mendalam. Lebih lanjut, diperlukan kajian mengenai implementasi kebijakan CHT di lapangan. “[Kebijakan] ini bergantung pada hasil kajian yang kami peroleh dari lapangan,” ujarnya. Purbaya masih mengkaji implementasi kebijakan CHT di lapangan. Menurutnya, kebijakan baru mengenai tarif CHT akan dibuat setelah Kementerian Keuangan menyelesaikan kajian komprehensif. Alasannya, kebijakan CHT berkaitan erat dengan penerimaan negara. Lebih lanjut, ia juga memantau keberadaan rokok ilegal yang selama ini menekan industri rokok legal. Salah satu modusnya adalah penggunaan pita cukai palsu. “Katanya ada yang main-main. Main-mainnya di mana? Kalau saya bereskan, pita cukai palsu bisa dihilangkan, berapa pendapatan yang akan saya terima? Dari situ, saya bisa bergerak maju,” ujarnya. Usulan penurunan tarif CHT mencuat di tengah berita PHK di sebuah pabrik rokok besar di Jawa Timur. Pemberlakuan tarif cukai yang tinggi dianggap sebagai salah satu faktor penyebabnya. Selain dua berita di atas, ada beberapa informasi menarik lainnya yang perlu diulas sepanjang pekan ini. Ini termasuk sinyal penguatan pembentukan Badan Pendapatan Negara (BPN), pembaruan tentang amnesti pajak, dan berita tentang perbaikan sistem pajak inti.
Cara Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Karyawan Melalui Coretax DJP
Sejak awal Januari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengalihkan kanal pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan ke coretax. Demikian pula, kanal penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) juga telah dialihkan dari DJP Online ke coretax. Artinya, SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2025 tidak lagi disampaikan melalui DJP Online, melainkan melalui coretax. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2025 akan disampaikan mulai Januari 2026 hingga akhir Maret 2026. Peralihan kanal penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan ini tentu saja disertai berbagai perubahan. Misalnya, perubahan metode dan format pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, DJP mulai menggalakkan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan 2025 melalui coretax. Harap dicatat bahwa informasi yang diberikan dapat berubah sewaktu-waktu berdasarkan perkembangan sistem Coretax dan peraturan perpajakan terbaru. Pembahasan ini bertujuan untuk membantu Wajib Pajak Orang Pribadi (WP) memahami dan mempersiapkan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi melalui Coretax. Secara garis besar, proses penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT) Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh) Karyawan melalui Coretax terbagi dalam empat tahap utama, yaitu: (i) Penyusunan SPT; (ii) Pengisian Master SPT; (iii) Pengisian Lampiran SPT; dan (iv) Penyampaian SPT. Pembuatan konsep SPT Tahunan PPh, pilih modul Surat Pemberitahuan (SPT) dan menu Surat Pemberitahuan (SPT). Selanjutnya, pada halaman SPT Belum Disampaikan klik tombol Buat Konsep SPT. Pada halaman Buat Konsep SPT, ada 3 langkah yang perlu dilakukan, yaitu: (i) Pilih Jenis SPT; (ii) pilih periode pelaporan SPT; dan (iii) Pilih Jenis SPT. Apabila konsep SPT berhasil dibuat maka draft SPT akan muncul pada daftar Konsep SPT. Selanjutnya, klik ikon pensil untuk melakukan pengisian SPT. Pastikan Anda memilih draft SPT dengan jenis SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi. Sistem akan menampilkan formulir SPT Tahunan Orang Pribadi yang terdiri atas Induk SPT (main form) serta lampiran. Adapun wajib pajak bisa mengisi kolom-kolom yang tersedia pada Induk SPT terlebih dahulu. Adapun induk SPT terdiri atas header SPT dan bagian A hingga bagian J. Pada bagian Header, kolom Tahun Pajak/Bagian Tahun Pajak, Periode Pembukuan, dan Status SPT akan terisi secara otomatis oleh sistem. Untuk itu, Anda cukup mengisi kolom Sumber Penghasilan dan Metode Pembukuan/Pencatatan. Bagi wajib pajak orang pribadi karyawan, silakan pilih Sumber Penghasilan “Pekerjaan” dan pilih Metode Pembukuan/Pencatatan dengan opsi ”Pencatatan”. Kemudian silahkan lanjutkan pengisian pada bagian A hingga J. Secara default, lampiran yang pertama kali tersedia pada konsep SPT PPh orang pribadi meliputi Lampiran L-1. Melalui lampiran ini, Anda akan diminta untuk melaporkan: harta dan utang pada akhir tahun pajak; daftar anggota keluarga yang menjadi tanggungan; penghasilan neto dalam negeri dari pekerjaan; dan daftar bukti pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan. Adapun lampiran-lampiran lain akan muncul tergantung pada jawaban pada kolom-kolom sebelumnya. Namun, secara umum, wajib pajak orang pribadi karyawan hanya perlu mengisi lampiran L-1. Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 83 ayat (1) PER-11/PJ/2025, lampiran SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi terdiri atas lampiran 1 sampai 5. Tahap berikutnya, kembali ke bagian Induk SPT dan gulir halaman menuju bagian K. Pernyataan. Klik kotak centang (check box) pada pernyataan kebenaran pengisian data. Lalu, klik Simpan […]
Cara Memberikan Tanggapan SP2DK di Coretax
Tanggapan atau Penjelasan SP2DK oleh Wajib Pajak Secara umum, wajib pajak harus menanggapi atau memberikan penjelasan atas SP2DK dalam jangka waktu 14 hari. Jika terkait data konkret, tanggapan SP2DK disampaikan paling lama 7 hari. Adapun wajib pajak dapat melakukan tanggapan dengan cara meliputi: tatap muka langsung; tatap muka melalui media audio visual (video conference); dan/atau tertulis, yang dapat berupa SPT, pembetulan SPT, atau surat yang ditujukan kepada Kepala KPP. Dengan demikian, wajib pajak kini dapat memberikan tanggapan atas SP2DK melalui Coretax. Merespons/Menanggapi SP2DK Melalui Coretax Mula-mula wajib pajak akan menerima notifikasi pada saat diberikan SP2DK melalui akun Coretax. Lakukan impersonating jika yang mengajukan tanggapan adalah badan usaha. Jangan lakukan impersonating jika yang mengajukan tanggapan adalah orang pribadi. Untuk melihat pemberitahuan SP2DK, klik Notifikasi (lonceng) pada akun Coretax atau Anda dapat memilih Portal Saya → Dokumen Saya. Setelah membaca pemberitahuan SP2DK, pilih menu Layanan Wajib Pajak → Buat Permohonan Layanan Administrasi. Apabila dilakukan oleh PIC atau pihak yang ditunjuk, silahkan klik Pilih Nomor Penunjukan. Selanjutnya akan muncul daftar nama wajib pajak dan nomor penunjukannya, kemudian klik Pilih. Pilih AS.29 Surat Wajib Pajak, lalu Pilih AS.29-03 Surat Tanggapan atas Surat Permintaan Penjelasan Data dan Keterangan (SP2DK), kemudian timbul notifikasi Simpan. Selanjutnya akan muncul Informasi Umum, lanjutkan dengan klik Alur Kasus. Pada Alur Kasus akan muncul Informasi Umum dan Informasi Wajib Pajak. Pada Informasi Umum dan Informasi Wajib Pajak, Anda cukup pastikan kebenaran isian data yang ada di dalamnya. Sebagai informasi, baris berwarna abu-abu tidak dapat diedit. Selanjutnya baris berwarna putih dapat diisi, namun jika tidak memiliki tanda bintang (*) maka sifatnya opsional. Dalam bagian Informasi Pemberitahuan/Permohonan, isi Perihal Surat, kemudian klik logo Search untuk mencari Nomor SP2DK yang dikirim oleh KPP terdaftar. Perihal Surat diisi: Tanggapan/Penjelasan atas SP2DK. Pilih salah satu dokumen yang ingin ditanggapi pada Document Search. Pastikan memilih dengan benar dokumen SP2DK yang ingin dijawab . Manfaatkan menu pencarian pada kategori masing-masing kemudian klik Pilih. Pada tahapan Dokumen lampiran/persyaratan, klik Tambah Data untuk mengunggah file scan tanggapan atas SP2DK, lalu klik Simpan. Lengkapi detail dokumen. Pada kolom Nama Jenis Dokumen, Anda dapat memilih Dokumen Pendukung Permohonan Lainnya atau keterangan lain yang mendukung jawaban/tanggapan SP2DK. Berikutnya, isi Jumlah Lampiran(*) sesuai jumlah dokumen yang diunggah. Lalu, centang Pernyataan Wajib Pajak, kemudian klik Simpan. Jika notifikasi penyimpanan sukses, klik Lanjut. Kemudian akan muncul Notifikasi Kasus Anda akan dilanjutkan ke tindakan berikutnya yang berikutnya hilang dan akan berganti dengan notifikasi Alur Kasus (Kasus Ditutup). Pada menu sebelah kiri, klik Document untuk melihat Bukti Penerimaan Elektronik atau BPE yang dikeluarkan oleh KPP Terdaftar terkait tanggapan SP2DK tersebut. dengan terbitnya BPE, maka jawaban atau tanggapan atas SP2DK resmi dikirimkan kepada KPP terkait. Untuk tindak lanjut dari tanggapan atas SP2DK tersebut akan ditindaklanjuti oleh petugas KPP terkait.
Kemenkeu Belum Berencana Untuk Turunkan Tarif PPN
Pemerintah belum berencana menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang saat ini ditetapkan sebesar 11% untuk barang non-mewah. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyatakan bahwa rencana penurunan tarif PPN tersebut belum dibahas secara internal di pemerintahan. “Belum ada pembicaraan internal,” ujar Anggito kepada awak media di Gedung DPR, Kamis (18/9/2025). Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan hingga saat ini rencana penurunan tarif PPN belum masuk dalam pembahasan pemerintah. “Belum kita bahas,” kata Airlangga, Senin (15/9/2025) lalu. Sekadar informasi, media sosial ramai membicarakan rencana pemerintah untuk menurunkan tarif PPN menjadi 8%. Rencana ini baru-baru ini diumumkan oleh akun Threads @sukabyangmalang. Namun, belum ada penjelasan resmi terkait hal ini. Sebelumnya, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga mengusulkan penurunan tarif PPN dari 11% menjadi 10%. Ia menyatakan bahwa penurunan tarif ini akan memberikan ruang bagi konsumsi masyarakat. Sementara itu, Jaya Darmawan, peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios), mendorong pemerintah untuk menurunkan tarif PPN menjadi 8%. Jaya menyatakan bahwa penurunan tarif ini dapat berdampak positif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), output ekonomi, dan pendapatan masyarakat. “Makanya kita dorong ada baiknya sebenarnya tarif PPN itu diturunkan jadi 8%,” kata Jaya. Menurut Jaya, kekhawatiran pemerintah bahwa penerimaan negara dapat berkurang hingga Rp70 triliun jika PPN tidak dinaikkan tidak sepenuhnya beralasan. Menurut perhitungan Celios, skenario penurunan tarif PPN menjadi 8% diproyeksikan akan meningkatkan konsumsi masyarakat sebesar 0,74% dan mendorong pertumbuhan PDB sebesar Rp133,65 triliun. Efek berganda ini pada akhirnya meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan pajak neto menjadi Rp1 triliun per tahun.
