Ditjen Pajak (DJP) kembali mengingatkan wajib pajak untuk segera menyampaikan SPT Tahunan 2024. DJP meminta wajib pajak tidak menunda penyampaian SPT Tahunan meskipun otoritas juga memberikan relaksasi batas waktu. Menurut DJP, SPT Tahunan dapat disampaikan secara mudah melalui DJP Online. UU KUP mengatur penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi paling lambat dilaksanakan 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 31 Maret 2025. Sementara itu, untuk SPT tahunan wajib pajak badan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 30 April 2025. Penyampaian SPT Tahunan yang terlambat bakal dikenai sanksi administrasi berupa denda. Denda terlambat melaporkan SPT Tahunan pada orang pribadi adalah senilai Rp100.000, sedangkan pada wajib pajak badan Rp1 juta. Namun, DJP melalui Keputusan Dirjen Pajak Nomor 79/PJ/2025 memberikan relaksasi perihal kewajiban pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau penyampaian SPT Tahunan orang pribadi 2024. Relaksasi ini berlaku hingga 11 April 2025. Relaksasi ini diberikan karena batas akhir pembayaran PPh Pasal 29 dan penyampaian SPT Tahunan 2024 untuk orang pribadi bertepatan dengan libur nasional dan cuti bersama Nyepi dan Lebaran yang cukup panjang, yakni 28 Maret hingga 7 April 2025. Kondisi libur nasional dan cuti bersama dnilai berpotensi menyebabkan terjadinya keterlambatan pembayaran pajak PPh Pasal 29 dan penyampaian SPT Tahunan 2024, mengingat jumlah hari kerja pada Maret 2025 menjadi lebih sedikit.
Perintah Prabowo Semua Warga Punya Rekening Bank, Jadi Strategi Kumpulkan Pajak?
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong semua masyarakat Indonesia memiliki rekening bank mendapat tanggapan dari kalangan pengamat pajak. Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menduga, permintaan agar semua masyarakat Indonesia memiliki rekening bank tersebut kemungkinan terkait dengan upaya pemerintah untuk mengenakan pajak pada sektor informal. Hanya saja, menurutnya, hal tersebut tidak cukup pada kepemilikan rekening di bank tapi juga perlu menggunakan transaksi non tunai. “Dengan begitu ada data dari pihak ketiga yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengejar potensi penerimaan pajak dari sektor informal,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (24/3). Namun, ia mempertanyakan efektivitas kebijakan ini mengingat mayoritas pelaku usaha sektor informal tergolong dalam kategori usaha mikro dan kecil. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Fajry menjelaskan bahwa dalam industri pengolahan, 93% usaha tergolong mikro, 6% tergolong kecil, dan hanya 1% yang masuk kategori sedang atau besar. “Saya takutkan jika yang akan pemerintah lakukan adalah mengincar kelompok mikro dan kecil, semacam penjual bakso, pedagang ketoprak, pedagang pecel ayam, dan sejenisnya. Isu ini sempat ada ketika debat pilpres kemarin,” katanya. Lebih lanjut, Fajry juga menyoroti kebijakan pajak yang dinilai tidak berkeadilan. Di satu sisi, pemerintah berencana mengenakan pajak pada sektor informal yang didominasi pelaku usaha mikro dan kecil. Sementara di sisi lain, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) berencana membentuk Family Office yang memungkinkan kelompok super kaya mendapatkan keringanan pajak. “Dengan demikian, rancangannya adalah mengincar yang mikro dan kecil namun membebaskan yang super kaya. Saya kira ini sebuah policy mix yang sangat tidak berkeadilan,” imbuh Fajry. Ia juga menyoroti aspek feasibility dari kebijakan perpajakan. Menurutnya, pemungutan pajak memiliki batasan tertentu, terutama terkait dengan biaya administrasi dan kepatuhan yang harus diperhitungkan. Fajry menjelaskan, pada dasarnya pemerintah tidak bisa mengenakan pajak kepada seluruh kelompok masyarakat. Ketika pemerintah memungut pajak, maka ada biaya administrasi dan kepatuhan, baik bagi wajib pajak maupun pemerintah. “Jangan sampai pemerintah ingin memasukan semua ke dalam sistem namun lupa jika biaya yang dihasilkan jauh lebih besar dibandingkan penerimaannya. Jadinya buntung bukan untung,” katanya. Selain itu, ia menekankan, rendahnya penerimaan pajak di Indonesia lebih disebabkan oleh struktur ekonomi yang belum mendukung. Berdasarkan data BPS, upah buruh sektor formal masih berada di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sehingga kondisi sektor informal diduga lebih sulit untuk dikenakan pajak. Mengacu pada data poverty headcount ratio dengan standar penghasilan $6,8 per hari (2017 PPP), Fajry mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, sekitar 62% penduduk Indonesia masih tergolong miskin. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Filipina (55%), Vietnam (20%), Thailand (12%), dan Malaysia (2%). “Semakin banyak orang yang berpendapatan rendah, semakin banyak pula yang tidak bisa terjaring dalam sistem pajak, dan konsekuensinya tax ratio Indonesia tetap rendah,” imbuhnya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan perintah Presiden Prabowo yang mengimbau masyarakat untuk memiliki rekening perbankan, guna mencapai keuangan yang inklusif. Berdasarkan laporan terkait inklusi keuangan, jumlah masyarakat Indonesia yang sudah mempunyai fasilitas perbankan sekitar 89%. Berdasarkan pantauan, dari segi spasial beberapa daerah juga sudah baik, kecuali misalnya di Maluku Utara, Halmahera. “Oleh karena itu ke depan lebih didorong lagi yang terkait dengan […]
Masih Menemui Kendala Coretax? Coba Minta Bantuan via Tiket Melati
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak yang mengalami kendala dalam pengoperasian coretax system dapat meminta bantuan untuk dibuatkan tiket Melati (Pelaporan Insiden Meja Layanan Teknologi Informasi). Tiket Melati tersebut bisa menjadi alternatif solusi apabila kendala wajib pajak tidak dapat diselesaikan oleh petugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Layanan Informasi Pengadilan (KLIP) alias Kring Pajak. “Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Jika masih belum bisa, silakan error yang ditemukan pada Coretax DJP dapat dilaporkan melalui sistem Melati,” tulis Kring Pajak saat merespons aduan salah satu wajib pajak melalui akun X, dikutip pada Selasa (25/3/2025). Adapun wajib pajak dapat meminta untuk dibuatkan tiket Melati setidaknya melalui 3 saluran. Pertama, meminta bantuan pegawai helpdesk pada KPP terdaftar. Kedua, melalui Live Chat pajak.go.id (logo chat sebelah kanan bawah). Ketiga, melalui Kring Pajak 1500200. “Atas permasalahan yg Kakak alami, Kakak dapat membuat tiket permasalahan ke sistem Melati yang dapat dilakukan melalui helpdesk KPP, layanan telepon Kring Pajak 1500200, live chat di http://pajak.go.id untuk dapat diproses lebih lanjut,” tulis Kring pajak. Untuk mempercepat identifikasi, wajib pajak dapat menyiapkan sejumlah informasi. Informasi tersebut seperti NIK atau NPWP, nama wajib pajak, deskripsi eror yang dihadapi, notifikasi eror yang muncul, tangkapan layar (screenshot) yang menunjukkan eror, serta upaya yang telah dilakukan. Hingga hari ini, beragam kendala terkait dengan coretax system masih muncul. Kendala tersebut seperti masih munculnya notifikasi error ‘400 OK’ pada saat proses penyimpanan SPT, serta kompensasi ter-booking lebih dari sekali pada saat submit SPT. Selain itu, sejumlah wajib pajak mengeluhkan hasil perhitungan dasar pengenaan pajak (DPP) pada faktur pajak keluaran dengan potongan harga yang tidak sesuai. Ada pula wajib yang tidak mendapati tombol posting pada konsep SPT Masa PPN. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1809661/masih-menemui-kendala-coretax-coba-minta-bantuan-via-tiket-melati
Catat! Golongan Wajib Pajak Ini Tak Perlu Lapor SPT 2025
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan ruang pembebasan bagi wajib pajak untuk tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak, dengan kriteria tertentu. Kriteria wajib pajak yang akan dibebaskan dari kegiatan lapor SPT ini disusun untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Dalam Pasal 180 PMK 81/2025 ini disebutkan bahwa wajib pajak pajak penghasilan (PPh) tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan. Kriterianya akan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. “Kriteria Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,” seperti dikutip dari Pasal 465 huruf s PMK 81/2024, dikutip Selasa (12/11/2024). Dengan demikian, sambil menunggu aturan terbaru, pengecualian bagi wajib pajak atau WP yang tidak perlu membuat SPT masih mengikuti aturan PMK-147/PMK.03/2017 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020. Berikut ini wajib pajak yang masuk kategori Non-Efektif (NE) dari Perdirjen Pajak tersebut: a. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang secara nyata tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah PTKP c. Wajib pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada huruf b yang memiliki NPWP untuk digunakan sebagai syarat administratif antara lain guna memperoleh pekerjaan atau membuka rekening keuangan d. Wajib pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang telah dibuktikan menjadi subjek pajak luar negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan tidak bermaksud meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya e. Wajib pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan belum diterbitkan keputusan f. Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT dan/atau tidak ada transaksi pembayaran pajak baik melalui pembayaran sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain, selama 2 (dua) tahun berturut-turut g. Wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kelengkapan dokumen pendaftaran NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) h. Wajib pajak yang tidak diketahui alamatnya berdasarkan penelitian lapangan i. Wajib pajak yang diterbitkan NPWP Cabang secara jabatan dalam rangka penerbitan SKPKB Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri Instansi pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak, namun belum dilakukan penghapusan NPWP j. Wajib pajak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf j yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, tetapi belum dilakukan penghapusan NPWP. Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun tengah menggodok aturan terbaru yang merinci kriteria wajib pajak tidak perlu lagi melapor Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. Yang jelas, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo telah memastikan kini wajib pajak badan tak perlu lagi repot dalam pengisian SPT Tahunan karena pada 2025 akan ada sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax. Salah satu keunggulan sistem Coretax itu ialah adanya layanan pre populated data SPT. Artinya, sistem coretax akan otomatis mengisikan data-data pelaporan SPT wajib pajak badan. “Ini yang mungkin menjadi kemudahan yang ditawarkan ketika Coretax diimplementasikan,” kata Suryo saat konferensi pers […]
Kemenkeu Pastikan Perpanjangan PPh Final UMKM 0,5% pada 2025
Pemerintah memastikan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan tarif 0,5% akan diperpanjang pada 2025. Namun, pelaksanaannya masih menunggu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur perpanjangan tersebut. Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, belum memberikan keterangan saat ditanya mengenai kepastian kebijakan ini pada Kamis (13/3). “Kita lihat nanti,” ujarnya di Gedung Kementerian Keuangan. Namun, pada Sabtu (15/3), Febrio memberikan penjelasan tertulis yang menegaskan bahwa pemerintah tetap akan memberlakukan tarif PPh Final UMKM 0,5% pada 2025 sembari menunggu regulasi resminya diterbitkan. “Tarif PPh Final 0,5% untuk UMKM yang berakhir pada 2024 akan diperpanjang pada 2025 ini sambil menunggu PP-nya terbit,” kata Febrio dalam keterangan tertulisnya. Berdasarkan peraturan yang berlaku, WP Orang Pribadi (WP OP) UMKM seharusnya tidak lagi mendapatkan tarif PPh Final 0,5% mulai 2025. Aturan yang telah diterapkan sejak 2018 ini hanya berlaku hingga akhir 2024. Ketentuan dalam Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 mengatur bahwa jangka waktu penerapan tarif PPh Final 0,5% paling lama tujuh tahun untuk WP orang pribadi, empat tahun untuk WP badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan, serta tiga tahun untuk WP badan berbentuk perseroan terbatas. Berdasarkan data KONTAN, sekitar 1,23 juta WP UMKM seharusnya mulai membayar pajak dengan tarif normal sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan pada 2025. Adapun tarif PPh Final UMKM 0,5% berlaku bagi wajib pajak orang pribadi atau badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/kemenkeu-pastikan-perpanjangan-pph-final-umkm-05-pada-2025
Pemerintah Rilis Aturan Terbaru soal Kebijakan dan Pengaturan Ekspor
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memperkuat konservasi spesies tumbuhan alam, satwa liar, dan ikan dilindungi melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 9/2025 tentang perubahan ketiga dari Permendag 23/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Revisi dilakukan sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap pemanfaatan spesies yang termasuk dalam Appendiks Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan non-CITES atau perlindungan terbatas. “Pemerintah ingin memastikan kebijakan ekspor tetap memperhatikan status konservasi. Jika makin sedikit populasi spesies tersebut di alam, pemanfaatannya pun akan dibatasi,” kata Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim, dikutip pada Senin (24/3/2025). Isy menambahkan Permendag 9/2025 diperlukan untuk memperkuat perlindungan terhadap Ikan Sidat (Anguilla spp.). Jenis ikan tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi di luar negeri, tetapi jumlahnya di Indonesia terbatas. Selain ikan sidat, apabila ditelusuri, Permendag 9/2025 juga berfokus pada perlindungan spesies flora dan fauna yang dilindungi, termasuk ikan hiu dan pari dari beberapa famili yang telah masuk dalam daftar Appendiks II CITES. Perlu diketahui, Appendiks II CITES merupakan daftar spesies yang belum terancam punah, tetapi berpotensi terancam jika perdagangannya tidak diatur. Lebih lanjut, revisi tersebut juga dimaksudkan untuk menyelaraskan antara peraturan perdagangan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.80/Kepmen-KP/2020 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Sidat (Anguilla spp.). Permendag 9/2025 juga dirilis untuk menyesuaikan ketentuan ekspor komoditas pertambangan. Melalui beleid itu, pemerintah mengakomodasi ketentuan ekspor bagi perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam tetapi menghadapi kendala operasional karena kondisi kahar. Dengan demikian, pemerintah melalui Permendag 9/2025 memberi kesempatan bagi eksportir produk pertambangan hasil pengolahan berupa konsentrat tembaga untuk dapat melaksanakan ekspor. “Selama tetap menjalankan proses penyelesaian perbaikan akibat keadaan kahar,” kata Isy. Permendag 9/2025 juga akan memperkuat regulasi kratom, khususnya untuk meningkatkan kualitas dan kepastian berusaha bagi eksportir. Aturan ini ditujukan untuk memastikan akurasi kapasitas mesin penggiling kratom serta Persentase Hak Ekspor Kratom (PHEK). Seperti dilansir laman resmi kemendag.go.id, penyesuaian tersebut juga mencakup persyaratan pengecualian kratom untuk pameran dan impor yang diekspor kembali di kawasan pabean atau Tempat Penimbunan Sementara (TPS).
Misbakhun Ungkap Efek Coretax Eror Bikin Seret Setoran Pajak
Kepala Komisi XI Misbakhun buka suara perihal Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) yang mengalami defisit Rp 31 triliun pada Februari 2025. Defisit fiskal di awal tahun ini sempat memicu sentimen negatif di pasar saham Indonesia. Dia pun mengungkapkan ada beberapa faktor yang memicu. Salah satunya penurunan dalam penerimaan negara, terutama pajak. Ini terkait dengan permasalahan sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax yang hingga saat ini kerap bermasalah. “Ada permasalahan Coretex yang belum terdeliver terhadap market. Cortex ini ide yang bagus, teknologi informasi diterapkan sistem pelayanan sehingga terintegrasi . Sejak 1 Januari implementasi ini ada permasalahan teknikal sehingga mengganggu penerimaan pajak dan akses pembayaran pajak,” ujar Misbakhun, dalam acara Capital Market Forum 2025, di Gedung BEI, Jakarta (21/3/2025). Sebagai catatan, penerimaan pajak anjlok 30% pada Februari 2025. Sementara itu, PNBP mengalami penurunan dipicu oleh lesunya harga komoditas. Namun, penurunan ini masih normal. Namun, di sisi lain, penerimaan kepabeanan mengalami kenaikan pada bulan Februari. Dengan kondisi ini, Misbakhun mewanti-wanti agar semua pemerintah berhati-hati. Dia meyakini bahwa sampai sekarang pihaknya berupaya menjaga defisit APBN pada kisaran 2,53%. Misbakhun optimistis penerimaan negara akan mengalami rebound pada bulan Maret dan April ketika pelaporan SPT dari PPh wajib pajak sudah masuk ke Ditjen Pajak, Kemenkeu. Kondisi ini pun akan ditopang oleh penerimaan PPh 25 pada bulan-bulan berikutnya. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/market/20250321104642-17-620546/misbakhun-ungkap-efek-coretax-eror-bikin-seret-setoran-pajak
Penting! Dokumen yang Wajib Dilampirkan di SPT Tahunan
Pajak.com, Jakarta – Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak orang pribadi tinggal 10 hari lagi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau agar segera melaporkan SPT tahunan sebelum 31 Maret 2025 dengan wajib melampirkan sejumlah dokumen. “Untuk SPT [tahunan] dinyatakan lengkap, Wajib Pajak diwajibkan untuk melampirkan dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan dalam lampiran II Peraturan Dirjen Pajak PER-02/2019,” jelas Direktur P2Humas DJP Dwi Astuti kepada Pajak.com, (21/3). Dokumen yang Wajib Dilampirkan dalam SPT Tahunan Dwi memerinci dokumen yang wajib dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi, yaitu: Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau karyawan yang menggunakan formulir SPT 1770S dan 1770SS, wajib melampirkan bukti potong; Bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), wajib melampirkan perhitungan peredaran bruto; dan Bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode pembukuan, wajib melampirkan laporan keuangan. Selain itu, terdapat pula dokumen yang wajib disertakan sebagaimana disebutkan dalam lampiran II PER-02/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan. Dokumen tersebut, diantaranya: 1. Surat Kuasa Khusus bagi yang menggunakan konsultan pajak dengan melampiri: Fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak; Surat pernyataan sebagai konsultan pajak; Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) konsultan pajak; dan Fotokopi Tanda Terima SPT Tahunan milik konsultan pajak. 2. Bukti pemotongan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya sumbangan keagamaan yang wajib; dan 3. Penghitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak dengan status pisah harta atau memilih terpisah. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/penting-dokumen-yang-wajib-dilampirkan-di-spt-tahunan/
DJP: Aturan Perpanjangan PPh Final 0,5 Persen UMKM Masih dalam Pembahasan di Kemenkeu
Pajak.com, Jakarta – Hingga saat ini Wajib Pajak masih menunggu kepastian hukum aturan perpanjangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang dijanjikan pemerintah pada akhir tahun 2024. Kepada Pajak.com, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti mengungkapkan perkembangan regulasi itu. “Regulasi mengenai perpanjangan insentitif PPh 0,5 persen masih dalam pembahasan internal Kementerian Keuangan [Kemenkeu],” ungkap Dwi dalam pesan singkat, (20/3). Dengan demikian, saat ini pengenaan tarif PPh final 0,5 persen masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Dwi menjelaskan, berdasarkan Pasal 59 PP Nomor 55 Tahun 2022, jangka waktu pengenaan PPh final o,5 persen bagi UMKM Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto tertentu (Rp4,8 miliar per tahun) adalah paling lama tujuh tahun pajak. Sedangkan, jangka waktu paling lama empat tahun untuk Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang. Sementara itu, tiga tahun pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas. “Jangka waktu tersebut dihitung sejak tahun pajak terdaftar bagi Wajib Pajak yang terdaftar setelah PP 55 Tahun 2022 berlaku, sedangkan bagi Wajib Pajak badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang yang telah terdaftar sebelum berlakunya PP 55 Tahun 2022 dihitung sejak tahun pajak PP Nomor 55 Tahun 2022 berlaku,” ujar Dwi. Namun, berdasarkan Pasal 69 PP Nomor 55 Tahun 2022 terdapat ketentuan peralihan terkait penghitungan jangka waktu pengenaan PPh final 0,5 persen bagi Wajib Pajak yang terdaftar sebelum berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018 dihitung sejak tahun pajak 2018 sampai dengan berakhirnya jangka waktu sesuai pasal 5 PP Nomor 23 Tahun 2018. “Jangka waktunya paling lama tujuh tahun pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi. Empat tahun pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma. Tiga tahun pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas, atau tidak lagi memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh final berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2022,” ujar Dwi. Mengacu ketentuan tersebut, artinya UMKM Wajib Pajak orang pribadi yang sudah menggunakan tarif PPh final 0,5 persen selama tujuh tahun (sejak 2018 – 2024), tidak bisa lagi memanfaatkan tarif itu. Demi mendukung UMKM, pemerintah pun berencana memperpanjang pengenaan tarif tersebut hingga akhir tahun 2025. Di lain kesempatan, DJP melalui akun Instagram resminya (@kring_pajak) menyebut bahwa apabila tarif PPh final 0,5 persen tidak bisa lagi dimanfaatkan, maka UMKM Wajib Pajak orang pribadi dapat memilih untuk melakukan pembukuan atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). “Apabila melakukan pembukuan dan menggunakan NPPN, UMKM harus menyampaikan pemberitahuan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar paling lambat 3 bulan sejak tahun pajak,” jelas DJP. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-aturan-perpanjangan-pph-final-05-persen-umkm-masih-dalam-pembahasan-di-kemenkeu/
Kena PHK, Begini Cara Non-Aktifkan NPWP Tanpa ke Kantor Pajak
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tengah marak di Indonesia pada awal tahun ini. Per Januari 2025, jumlahnya telah mencapai 3.325 pekerja berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan. Secara kumulatif, dari Januari 2024 sampai dengan Januari 2025, total jumlah pekerja yang telah terkena PHK sejumlah 81.290 orang, mengutip catatan tim riset CNBC Indonesia. Bagi para pekerja yang tidak terkena PHK tentu semakin sulit untuk mendapatkan penghasilan tetap bulanan. Maka, ketika ingin menonaktifkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) karena tak lagi mendapat penghasilan, tak perlu repot datang ke kantor pelayanan pajak, karena sudah bisa dilakukan secara daring atau online. Menonaktifkan NPWP hanya bisa dilakukan untuk mereka yang merupakan wajib pajak orang pribadi. Untuk menonaktifkan NPWP tanpa perlu ke kantor pajak bisa dilakukan dengan beberapa cara, berikut caranya: 1. Kring Pajak Masyarakat bisa menghubungi nomor telepon Kring Pajak di 1500200 2. Website Pajak.go.id – Masuk ke laman pajak.go.id – Klik fitur live chat – Pilih NPWP – Klik Pengaktifan Kembali NPWP/Penonaktifan NPWP – Ikuti langkah selanjutnya Terdapat sejumlah syarat untuk melakukan penonaktifan ini, dan semuanya tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-04/PJ/2020. Berikut sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum menonaktifkan NPWP: 1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan tidak lagi melakukannya. 2. Tidak melakukan lagi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 3. Wajib Pajak pada poin dua memiliki NPWP untuk syarat administratif, sebagai cara mendapatkan pekerjaan atau membuka rekening keuangan 4. Tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 hari selama 12 bulan. Ini dibuktikan dengan menjadi subjek pajak luar negeri sesuatu aturan yang berlaku dan tidak bermaksud meninggalkan Indonesia 5. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penghapusan dan belum permohonan diterbitkan keputusan 6. Tidak menyampaikan SPT dan atau tidak ada transaksi pembayaran pajak. Baik sendiri atau pemotongan pihak lain selama dua tahun berturut-turut 7. Tidak memenuhi ketentuan kelengkapan dokumen pendaftaran NPWP. 8. Tidak diketahui alamat berdasarkan penelitian lapangan 9. Wajib Pajak dengan NPWP cabang secara jabatan dalam rangka penerbitan SKPKB Pajak Pertambahan Nilai pada kegiatan membangun sendiri 10. Instansi pemerintah yang tidak memenuhi syarat sebagai pemotong atau pemungut pajak 11. Wajib pajak yang tidak lagi memenuhi syarat dan atau objektif Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250321072459-4-620480/kena-phk-begini-cara-non-aktifkan-npwp-tanpa-ke-kantor-pajak