Pusat layanan pelanggan Direktorat Jenderal Pajak, Kring Pajak, menekankan bahwa kesalahan pada faktur pajak yang tidak memuat informasi yang benar, lengkap, dan jelas dapat diperbaiki dengan menerbitkan faktur pajak pengganti. “PKP dapat melakukan pembetulan atau penggantian faktur pajak yang salah dalam pengisian atau penulisan sehingga tidak memuat keterangan yang benar, lengkap, dan jelas, dengan cara membuat faktur pajak pengganti,” sebut Kring Pajak di media sosial, Senin (8/12/2025). Merujuk pada Pasal 48 ayat (1) PER-11/PJ/2025, Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengoreksi atau mengganti faktur pajak yang salah diisi atau ditulis, sehingga mengakibatkan informasi yang salah, lengkap, dan jelas, dengan menerbitkan faktur pajak pengganti. Kesalahan pengisian atau penulisan tidak termasuk kesalahan identitas pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b PER-11/PJ/2025. Faktur pajak pengganti dibuat menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3). Tanggal pembuatan faktur pajak untuk faktur pajak pengganti adalah tanggal pembuatan faktur pajak pengganti tersebut. Faktur pajak pengganti dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan PPN Berkala untuk periode pajak yang sama dengan periode pajak di mana faktur pajak pengganti dilaporkan, termasuk informasi aktual atau sebenarnya setelah penggantian. Sebagai informasi, faktur pajak adalah bukti pengumpulan pajak yang dikeluarkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengirimkan Barang Kena Pajak atau memberikan Jasa Kena Pajak.
Wajib Pajak Yang Dapat Menghapus NPWP Sesuai Dengan Aturan DJP
Salah satu hak dan kewajiban wajib pajak adalah memastikan data pajaknya selalu akurat. Dalam beberapa keadaan, wajib pajak bahkan dapat menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) jika dianggap tidak lagi memenuhi persyaratan tertentu. Tata cara penghapusan NPWP secara resmi diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025, yang menjamin proses yang jelas dan terstruktur. Proses penghapusan NPWP juga dapat dilakukan secara daring tanpa harus datang ke kantor pajak. Berdasarkan PER-7/PJ/2025, terdapat sebelas kelompok wajib pajak yang dapat menghapus NPWP. Merujuk Pasal 44 PER-7/PJ/2025, penghapusan NPWP dapat dilakukan oleh kepala kantor pelayanan pajak jika wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penghapusan dapat dilakukan berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: Wajib pajak orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan Wajib pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya dan tidak lagi berstatus sebagai penduduk, bagi orang pribadi yang semula berstatus sebagai penduduk Wajib pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya bagi orang pribadi yang berstatus bukan penduduk Wajib pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi Wajib pajak badan dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha Wajib pajak bentuk usaha tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia Wajib pajak badan berbentuk Kerja Sama Operasi yang tidak memenuhi kriteria sebagai Kerja Sama Operasi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Instansi pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang dilikuidasi karena tidak lagi beroperasi sebagai instansi pemerintah Pembubaran instansi pemerintah yang disebabkan karena penggabungan Instansi Pemerintah Instansi pemerintah tidak lagi beroperasi yang diakibatkan oleh sebab lain Wajib pajak yang memiliki lebih dari satu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Penerimaan Pajak Digital Capai Rp43,75 Triliun, Ditjen Pajak Tunjuk 5 Pemungut PPN PMSE
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), melalui Siaran Pers No. SP-33/2025, melaporkan bahwa penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital terus menunjukkan tren positif. Per 31 Oktober 2025, total penerimaan pajak digital mencapai Rp43,75 triliun, meliputi PPN Sistem Perdagangan Secara Elektronik (PMSE), pajak aset kripto, pajak fintech, dan Pajak Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP). Berdasarkan SP-33/2025, jumlah tersebut terdiri dari Rp33,88 triliun dari pemungutan PPN PMSE, Rp1,76 triliun dari pajak aset kripto, Rp4,19 triliun dari pajak fintech (peer-to-peer lending), dan Rp3,92 triliun dari pajak yang dipungut pihak ketiga melalui SIPP. Siaran pers tersebut juga menyatakan bahwa hingga Oktober 2025, pemerintah telah menunjuk 251 perusahaan sebagai pemungut pajak, termasuk lima penunjukan baru pada bulan tersebut yaitu Notion Labs, Inc., Roblox Corporation, Mixpanel, Inc., MEGA Privacy Kft, dan Scorpios Tech FZE. Selain itu, pemerintah juga melakukan satu pencabutan data pemungut PPN PMSE yaitu Amazon Services Europe S.a.r.l. Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menjelaskan bahwa dari total pemungut yang ditunjuk, terdapat 207 perusahaan yang telah memungut dan menyetorkan PPN PMSE, dengan total penerimaan kumulatif sebesar Rp33,88 triliun sejak tahun 2020. Tren penerimaan ini terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan total penerimaan mencapai Rp8,54 triliun pada tahun anggaran berjalan 2025 saja. Selain PPN PMSE, pemerintah juga mencatat penerimaan pajak dari aset kripto sebesar Rp1,76 triliun, yang terdiri dari PPh Pasal 22 sebesar Rp889,52 miliar dan PPN Dalam Negeri sebesar Rp873,76 miliar. Penerimaan ini terus meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas transaksi aset digital. Sektor fintech juga berkontribusi signifikan, dengan total penerimaan mencapai Rp4,19 triliun hingga Oktober 2025. Penerimaan ini terdiri dari Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) atas bunga pinjaman dari Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (WTPDN) sebesar Rp1,16 triliun, Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26) atas bunga pinjaman dari Wajib Pajak Luar Negeri sebesar Rp724,45 miliar, dan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) sebesar Rp2,3 triliun. Sementara itu, pajak digital lainnya dari SIPP Pajak memberikan kontribusi sebesar Rp3,92 triliun, yang terdiri dari Pajak Penghasilan Pasal 22 sebesar Rp268,32 miliar dan PPN sebesar Rp3,65 triliun.
Apa Saja Dokumen Yang Diperlukan Apabila Wanita Kawin Memilih Kewajiban Perpajakan Terpisah
Memilih status MT berarti wanita yang sudah menikah melaporkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (SPT PPh Orang Pribadi). Dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi versi Coretax, wajib pajak dengan status MT harus menghitung PPh terutang secara terpisah. Perhitungannya tercantum dalam Lampiran L-4, Bagian B. Lampiran ini akan terbuka apabila pada pertanyaan nomor 7 Induk SPT wajib pajak memilih secara manual status “Memilih Terpisah (MT)”. Perhitungan neto pasangan dalam lampiran tidak terisi secara otomatis, sehingga harus dilakukan perhitungan terpisah berdasarkan data suami dan istri. Perhitungan dalam L-4 akan menghasilkan jumlah PPh terutang proporsional yang secara otomatis dimasukkan ke dalam SPT Utama masing-masing individu. Status SPT (Kurang Bayar/Lebih Bayar/Nihil) akan bergantung pada sumber penghasilan, jumlah penghasilan, kredit pajak, dan kondisi lainnya. Secara umum, tidak ada dokumen khusus yang wajib diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak ketika seorang perempuan menikah memilih status PNS. Namun, Pasal 17 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2025 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat meminta surat pernyataan tertulis yang menyatakan keinginannya untuk menggunakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya secara terpisah dari suaminya. Surat pernyataan ini hanya akan diberikan atas permintaan Direktur Jenderal Pajak.
Konsultan Desak Pemerintah Terbitkan Peraturan Pengawasan Pajak Karena SP2DK Jadi Tagihan
Pemerintah terus menyelesaikan penyusunan peraturan baru terkait pemantauan kepatuhan wajib pajak. Saat ini, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) sedang dalam proses harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pemantauan Kepatuhan Wajib Pajak. Ringkasan Pemerintah tengah mematangkan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak untuk menyeragamkan tata kerja Account Representative (AR) DJP dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Konsultan Pajak Raden Agus Suparman mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan pengawasan kepatuhan karena ketiadaan PMK telah menyebabkan ketidakseragaman interpretasi SP2DK dan praktik AR yang tidak standar, seringkali merugikan wajib pajak. Pengamat pajak Fajry Akbar menyoroti pentingnya aturan main yang jelas dalam pengawasan kepatuhan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan menghindari wajib pajak merasa diperiksa terus-menerus meskipun sudah patuh, serta menghentikan praktik ‘berburu di kebun binatang’. Menanggapi hal ini, Raden Agus Suparman, konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan tersebut. Menurut Raden, minimnya regulasi yang mengikat mengakibatkan prosedur kerja Account Representative (AR) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak konsisten, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak. Raden, yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi DJP selama delapan tahun, menyatakan bahwa belum pernah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) khusus yang mengatur pemantauan kepatuhan. Hal ini berbeda dengan pemeriksaan pajak, yang regulasi formalnya sudah lama ada, mulai dari Keputusan Menteri Keuangan hingga PMK tentang Pemeriksaan Pajak yang terbit pada tahun 2007. Ketiadaan peraturan tentang pengawasan kepatuhan yang mengikat wajib pajak dan petugas pajak, menurut Raden, menjadi alasan mengapa cara kerja AR seringkali berbeda-beda. “Tidak ada standar profesional pengawasan yang dilakukan oleh AR. Ada AR yang suka meminjam dokumen kepada Wajib Pajak, tetapi banyak AR yang tidak pernah meminjam dokumen kepada Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena tidak ada peraturan yang mengatur tata cara AR bekerja dengan Wajib Pajak,” papar Raden kepada Kontan.co.id, Jumat (5/12). Ketidakseragaman itu, kata Raden, diperparah dengan praktik interpretasi Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang kian bergeser dari fungsi utamanya. Tahun ini, setiap SP2DK bahkan diberi target rupiah. Padahal, secara konsep, SP2DK bukan merupakan pemeriksaan dan tidak menghasilkan produk hukum. Oleh karena itu, SP2DK sudah dimaknai seolah surat tagihan pajak. “Kebiasaan seperti itu seharusnya dihentikan. Lebih baik, jika memang DJP melihat adanya potensi perpajakan, langsung saja menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan menerbitkan surat ketetapan pajak,” saran Raden. Menurutnya, langkah itu jauh lebih memberikan kepastian hukum. Dengan adanya surat ketetapan pajak, wajib pajak bisa menggunakan hak formalnya untuk mengajukan keberatan maupun banding, sebagaimana diatur dalam UU KUP. Raden menilai, ketidakpastian paling banyak dirasakan wajib pajak ketika bersengketa dengan AR. Banyak kasus ditutup tanpa ada kejelasan, atau wajib pajak diminta membetulkan SPT tanpa dasar hukum yang kuat. Namun, di kemudian hari, setelah pergantian AR, persoalan yang sama dapat muncul kembali. “Banyak kasus, AR sudah menutup permasalahan SP2DK, tapi tiba-tiba terbit instruksi pemeriksaan. Secara ketentuan sampai dengan sekarang, hal seperti ini diperbolehkan,” terangnya. Akibatnya, wajib pajak merasa telah menyelesaikan masalah, tetapi masih menerima Surat Pemberitahuan Tahunan (SP2) dan akhirnya mendapatkan kekurangan pembayaran tambahan dari tim pemeriksa. Raden berharap PMK tentang […]
Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Pertambangan, Ditjen Mineral dan Batubara Integrasikan Aplikasi Minerba-one dan Coretax
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memperkuat basis data perpajakan melalui integrasi sistem digital. Aplikasi Minerba-one Kementerian ESDM kini terhubung langsung dengan sistem inti perpajakan DJP (Coretax) untuk memastikan kepatuhan wajib pajak di sektor pertambangan. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam acara sosialisasi Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RKAB) yang dihadiri 1.800 pelaku usaha pertambangan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Rabu (26/11/2025). “Kami terus memperkuat basis data perpajakan melalui pertukaran data dan informasi. Integrasi Minerba-one dengan Coretax DJP ditujukan agar seluruh data dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mengumpulkan penerimaan negara,” jelas Bimo. Dampak langsung dari integrasi data ini adalah pengetatan persyaratan administratif bagi perusahaan pertambangan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) telah sepakat untuk menjadikan pembayaran pajak sebagai syarat mutlak kelengkapan dokumen. Bimo menegaskan kebijakan baru tersebut kepada para pengusaha yang hadir. “Bapak Ibu silakan mempersiapkan diri, mulai perpanjangan tahun berikutnya RKAB akan mensyaratkan kewajiban tax clearance,” ungkapnya. Integrasi ini dinilai krusial mengingat sektor minerba menyumbang 20% hingga 25% dari total penerimaan negara. Menurut data DJP, jumlah wajib pajak di sektor ini terus tumbuh rata-rata 3% per tahun, mencapai 7.128 wajib pajak pada tahun 2025. Peningkatan signifikan juga terlihat pada penerimaan dari sektor mineral logam, yang meningkat lebih dari sepuluh kali lipat, dari Rp4 triliun pada tahun 2016 menjadi Rp45 triliun pada tahun 2024. Integrasi data ini diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan ini dan menutup celah ketidakpatuhan.
DJP Menunjuk 5 Perusahaan Tambahan sebagai Pemungut PPN PMSE
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menunjuk lima perusahaan asing untuk memungut PPN atas Sistem Perdagangan Elektronik (PMSE). Lima perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE pada Oktober 2025 antara lain Roblox Corporation, Notion Labs, Inc., Mixpanel, Inc., MEGA Privacy Kft, dan Scorpios Tech FZE. Secara bersamaan, pemerintah juga telah mencabut data satu pemungut PPN PMSE, yaitu Amazon Services Europe S.a.r.l.,” tulis DJP dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (4 Desember 2025). Dengan pengangkatan dan pencabutan tersebut, 251 penyelenggara PMSE telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Dari jumlah tersebut, 207 penyelenggara PMSE telah aktif memungut dan menyetorkan PPN PMSE ke kas negara. Per 31 Oktober 2025, total setoran PPN PMSE ke kas negara mencapai Rp8,54 triliun. Ke depannya, pemerintah berkomitmen untuk terus mengoptimalkan perpajakan di sektor digital secara adil, mudah, dan efektif. Sebagai informasi, pelaku usaha PMSE yang mengimpor produk digital luar negeri ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE jika nilai transaksinya dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp600 juta per tahun atau Rp50 juta per bulan; dan/atau volume lalu lintasnya di Indonesia melebihi 12.000 per tahun atau 1.000 per bulan. Setelah ditunjuk, pelaku usaha PMSE diwajibkan memungut PPN dengan tarif 12% dikalikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1,5% dari harga jual produk digital luar negeri yang dijual di Indonesia.
Perpanjangan PPh Final UMKM Hanya untuk Orang Pribadi dan PT Orang Pribadi
Bimo Wijayanto, Direktur Jenderal Pajak, menyatakan bahwa perpanjangan masa Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% tidak berlaku bagi wajib pajak badan. Kebijakan ini hanya berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dan perseroan terbatas (PT) perorangan. “Wajib pajak badan sudah tidak bisa lagi menggunakan PPh Final 0,5%, mereka harus sudah mulai menjalankan pembukuan untuk menghitung PPh terutang dengan tarif normal Pasal 17,” ungkap Bimo dalam konferensi pers APBN KiTa edisi November 2025 (Jumat, 21/11/2025). Ia menjelaskan bahwa wajib pajak badan yang sudah ada masih dapat memanfaatkan insentif tersebut selama masa berlakunya. Namun, setelah masa berlakunya berakhir, permohonan insentif PPh final 0,5% yang baru akan dihentikan. Dalam revisi Peraturan Pemerintah 55/2022, insentif PPh final 0,5% dapat digunakan tanpa batas waktu oleh orang pribadi/perseroan terbatas perorangan (PT Perorangan). Untuk menghindari fenomena pemecahan perusahaan (firm splitting), Bimo menjelaskan bahwa revisi peraturan tersebut dilengkapi dengan aturan anti-penghindaran. “Kalau perdaraan bruto wajib pajak orang pribadi kemudian dijumlahkan itu mencapai Rp4,8 miliar setahun maka mereka tidak bisa lagi menggunakan PPh 0,5% tersebut,” jelas Bimo. Deteksi pada sistem internal dilakukan melalui data NIK-NPWP yang telah dipadankan serta data Nomor Induk Berusaha. Saat ini, Peraturan Pemerintah 55/2022 menetapkan bahwa orang pribadi dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Final selama tujuh tahun. Wajib pajak badan yang berbentuk perseroan terbatas dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Final selama tiga tahun, sementara badan usaha lain, seperti CV, firma, koperasi, perseroan perorangan, BUMDes/Bersama dapat menggunakan fasilitas PPh Final selama 4 tahun. Untuk wajib pajak yang baru terdaftar, jangka waktu pemanfaatan dihitung sejak tahun pajak wajib pajak bersangkutan terdaftar.
NITKU Untuk Cabang Tidak Muncul Saat Membuat Faktur?
Pembuatan bukti potong pajak untuk faktur pajak cabang (NITKU) hanya dapat dilakukan oleh Petugas Kantor Cabang atau pegawai yang telah diberi hak akses sebagai penyusun/penandatangan cabang. Langkah-langkah untuk menambahkan PIC Cabang. Pertama, akses akun pajak inti wajib pajak badan. Kemudian, pilih menu Portal Saya dan pilih Informasi Umum. Kemudian, klik Edit. “Silakan gulir ke bagian Lokasi/Sub-Unit Kegiatan Usaha. Klik Edit pada TKU/Sub-Unit tempat Anda ingin menambahkan PIC Cabang. Perlu diketahui, NITKU, atau Nomor Induk Kependudukan Lokasi Kegiatan Usaha, adalah nomor identifikasi yang diberikan kepada setiap lokasi usaha wajib pajak, termasuk tempat tinggal atau domisili wajib pajak. Menu “Impersonate Account” di Coretax digunakan untuk menyamar sebagai wajib pajak (bukan Nomor Pokok Wajib Pajak). Jika Anda ingin bertindak sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (TKU) Cabang, Anda dapat menyamar sebagai akun wajib pajak badan. Kemudian, saat membuat surat keterangan potong/faktur pajak, pilih Nomor Pokok Wajib Pajak (NITKU) yang relevan. Coretax adalah sistem administrasi layanan DJP yang memberikan kemudahan bagi pengguna. Pengembangan Coretax merupakan bagian dari Proyek Pemutakhiran Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden 40/2018. PSIAP merupakan proyek untuk mendesain ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pengembangan sistem informasi berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS), yang disertai dengan penyempurnaan basis data perpajakan.
Lapor SPT Tahunan Menggunakan Coretax Berikut yang Wajib Dilakukan
Mulai tahun pajak 2025, seluruh proses penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) akan dilakukan melalui sistem Coretax. Untuk memastikan kelancaran pelaporan, wajib pajak perlu mempersiapkan sejumlah prasyarat sebelum masa penyampaian SPT Tahunan dibuka. Ada tiga persiapan utama yang harus dipenuhi: aktivasi akun Coretax, penyampaian kode otorisasi DJP, dan validasi akhir sertifikat elektronik. Ketiga langkah ini merupakan fondasi kelancaran proses pelaporan SPT Tahunan melalui sistem digital terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saja tidak cukup untuk menyampaikan SPT melalui Coretax. Wajib pajak harus mengaktifkan akunnya terlebih dahulu untuk mengakses semua fitur perpajakan. Aktivasi dapat dilakukan menggunakan komputer, laptop, atau ponsel yang terhubung internet. Bagi orang pribadi yang belum pernah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pendaftaran harus dilakukan sebelum akun Coretax dapat diaktifkan. Sistem Coretax telah terintegrasi dengan data kependudukan, mendukung penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 16 digit. Dengan demikian, wajib pajak orang pribadi akan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP. Aktivasi dilakukan melalui situs web https://coretaxdjp.pajak.go.id. Setelah mengikuti langkah-langkah aktivasi, wajib pajak akan menerima surat penerbitan akun dan kata sandi sementara yang dikirimkan ke alamat email resmi DJP dengan domain @pajak.go.id. Wajib pajak kemudian akan diminta untuk masuk kembali dan mengubah kata sandi sesuai keinginan mereka untuk meningkatkan keamanan. Setelah akun diaktifkan, langkah selanjutnya adalah menyiapkan kode otorisasi DJP atau sertifikat elektronik. Kode ini digunakan sebagai tanda tangan elektronik untuk setiap dokumen pajak yang dibuat melalui Coretax. Permintaan kode otorisasi dilakukan melalui situs web Coretax. Jika wajib pajak menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi, prosesnya melibatkan memasukkan informasi identifikasi penanda tangan berdasarkan sertifikat yang digunakan. Bagi wajib pajak yang memilih menggunakan kode otorisasi dari DJP, sistem mewajibkan pembuatan frasa sandi. Frasa sandi ini berfungsi sebagai pengganti tanda tangan digital dalam setiap proses penandatanganan dokumen. Frasa sandi harus terdiri dari minimal delapan karakter dan harus mengandung huruf besar, huruf kecil, angka, dan karakter khusus. Langkah terakhir adalah memvalidasi kode otorisasi atau sertifikat elektronik untuk memastikan statusnya diakui valid oleh sistem Coretax. Langkah ini merupakan prasyarat terakhir sebelum wajib pajak dapat menyampaikan SPT secara elektronik. Dengan mengaktifkan akun, mengirimkan kode otorisasi, dan memvalidasi sertifikat, wajib pajak dapat memastikan semua persiapan telah selesai sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) 2025 resmi dibuka.
