Insentif pajak untuk impor atau penyerahan kendaraan listrik (EV) guna meningkatkan daya saing investasi akan berakhir tahun ini dan tidak direncanakan akan dilanjutkan. Insentif pajak kendaraan listrik akan segera berakhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Investasi 6/2023 dan 1/2024. Hal ini dikarenakan hingga saat ini kabinet belum menggelar rapat untuk membahas kelanjutan insentif tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Penanaman Modal 6/2023 sebagaimana diubah dengan Peraturan 1/2024, pemerintah memberikan beberapa insentif pajak untuk impor kendaraan listrik. Insentif ini mencakup bea masuk 0% dan Pajak Penjualan Ditanggung Pemerintah (PPT). Peraturan tersebut menyatakan bahwa insentif pajak akan berakhir pada 31 Desember 2025. Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Insentif ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing investasi dan menarik investasi di industri kendaraan listrik. Insentif pajak untuk kendaraan listrik telah berlaku sejak tahun 2024, dengan batas waktu pengajuan permohonan insentif impor adalah 31 Maret 2025. Selanjutnya, pelaku usaha memiliki waktu hingga akhir tahun untuk melakukan impor sebelum masa insentif berakhir. Mulai 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027, pelaku usaha yang telah menerima insentif pajak untuk impor kendaraan listrik utuh (CBU) wajib memenuhi komitmennya untuk memproduksi kendaraan listrik di dalam negeri. Jumlah dan spesifikasi kendaraan listrik yang diproduksi oleh pelaku usaha penerima insentif pajak minimal harus sama dengan produk impornya.
Sri Mulyani Bebaskan PPN Kripto, Berikut Penjelasannya
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi aset kripto melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 (PMK 50/2025) yang berlaku 1 Agustus 2025. “Dengan dipersamakannya aset kripto sebagai aset berharga, beban PPN atas penyerahan aset tidak lagi dikenakan. Kebijakan ini bikin investor untung karena biaya transaksi lebih hemat, sekaligus menjadi bentuk sinkronisasi antara regulasi pajak dan pengawasan yang kini beralih dari Bappebti [Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi] ke OJK [Otoritas Jasa Keuangan], ” ungkap Oscar melalui pesan singkat, (25/8/25). Oscar juga memandang penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 22 sebesar 0,21 persen untuk transaksi di platform domestik sebagai insentif yang dapat meningkatkan daya saing. Hal ini dikarenakan tarif pajaknya lebih rendah dibandingkan dengan 1 persen untuk transaksi melalui platform asing. “Ini memberikan insentif yang sehat agar aktivitas perdagangan lebih banyak terjadi di bursa domestik. Hal ini bukan hanya menguntungkan investor karena lebih hemat, tetapi juga memperkuat likuiditas pasar dalam negeri serta memastikan ekosistem berkembang di bawah pengawasan otoritas resmi,” jelasnya. Oscar optimistis PMK 50/2025 dan penguatan kolaborasi antara pelaku industri dan regulator akan menjadi fondasi krusial bagi penguatan ekosistem aset kripto Indonesia, yang berujung pada optimalisasi penerimaan pajak. Ia mencatat jumlah pengguna kripto di Indonesia telah mencapai lebih dari 15 juta, dengan nilai transaksi bulanan melebihi Rp30 triliun per Juni 2025. Sementara itu, total penerimaan pajak aset kripto telah mencapai sekitar Rp1,2 triliun per 31 Mei 2025—sejak PMK 68/2022 diberlakukan pada 1 Mei 2022. “Angka-angka ini memperlihatkan bahwa pasar kripto Indonesia sangat potensial. Dengan kerangka pajak yang lebih jelas dan ramah investasi—kepastian hukum lebih kuat, maka ruang pertumbuhan industri bisa lebih terarah, inovasi tetap berjalan, dan perlindungan konsumen juga semakin terjamin,” yakin Oscar. Optimisme senada juga disampaikan Direktur Taxco Solution Vergia Septiana. Ia menilai, PMK 50/2025 akan menguntungkan investor dan industri kripto. Konsistensi perlakuan pajak kini seirama dengan karakteristik dan status baru aset kripto sebagai aset keuangan digital sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Hal tersebut memberikan kepastian hukum untuk para pelaku industri kripto. “PMK ini menghadirkan keadilan serta efisiensi serta kejelasan dalam penerapan tarif, mekanisme pemungutan dan pelaporannya,” jelasnya kepada Pajak.com, di Kantor Taxco Solution APL Tower Jakarta (22/8/25). Meski demikian, Vergia menyarankan agar investor tetap mempelajari perubahan PMK 50/2025 secara saksama untuk memitigasi berbagai potensi risiko pajak.
Perpanjangan PPN 100% untuk Perumahan DTP hingga Desember 2025
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi memperpanjang masa berlaku insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) 100% untuk penyerahan rumah tapak dan rumah susun (rusun). Perpanjangan ini diberikan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 60/2025. Pertimbangannya menyatakan bahwa perpanjangan insentif PPN DTP 100% diberikan untuk mendorong daya beli masyarakat di sektor perumahan. “Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan…, perlu diterapkan kebijakan tambahan berupa insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN) untuk penyerahan rumah tapak dan rumah susun mulai Juli 2025 hingga Desember 2025,” demikian bunyi pertimbangan dalam PMK 60/2025, dikutip Senin (25 Agustus 2025). Awalnya, insentif PPN DTP 100% hanya berlaku hingga 30 Juni 2025, sebagaimana diatur dalam PMK 13/2025. Namun, melalui Peraturan Menteri Keuangan 60/2025, Menteri Keuangan memperpanjang jangka waktu insentif PPN DTP 100% untuk pengalihan hak atas rumah tapak dan satuan rumah susun dari 1 Juli 2025 menjadi 31 Desember 2025. Sesuai Pasal 3 ayat (1) PMK 60/2025, “PPN terutang ditanggung pemerintah atas pengalihan hak atas rumah tapak dan satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah PPN atas pengalihan hak atas rumah tapak yang terjadi pada saat: a. penandatanganan akta jual beli yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah; atau b. penandatanganan akta jual beli secara utuh di hadapan notaris, sejak 1 Juli 2025 sampai dengan 31 Desember 2025.” Sebagaimana diatur sebelumnya, PPN DTP diberikan sebesar 100% atas PPN yang terutang dari dasar pengenaan pajak sampai dengan Rp2 miliar. Selain maksimum Rp5 miliar, PPN DTP hanya diberikan atas rumah tapak baru atau unit rumah susun baru yang telah diserahkan dan siap huni. Selain itu, terdapat beberapa persyaratan lain yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan PPN DTP atas pengalihan rumah tapak dan unit rumah susun. Persyaratan tersebut antara lain: Rumah tapak atau unit rumah susun harus telah mendapatkan kode identifikasi rumah. Kode identifikasi rumah yang dimaksud adalah kode identifikasi rumah tapak dan unit rumah susun yang diberikan melalui permohonan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan/atau Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Rumah tapak adalah bangunan gedung berupa rumah tinggal atau rumah deret, baik bertingkat maupun tidak bertingkat, termasuk bangunan tempat tinggal yang sebagian digunakan sebagai toko atau kantor. Sedangkan, satuan rumah susun yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah satuan rumah susun yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Oleh karena itu, pembeli apartemen juga dapat memanfaatkan fasilitas PPN DTP sepanjang memenuhi definisi dan persyaratan.
Wajib Pajak Dapat Mengajukan Imbalan Bunga ke Kantor Pelayanan Pajak Melalui Coretax DJP
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kompensasi bunga melalui sistem CoreTax. Permohonan ini dapat diajukan melalui modul Pembayaran, menu Layanan Administrasi, dan menu Permohonan Kompensasi Bunga. Sesuai peraturan, wajib pajak dapat menerima kompensasi bunga dengan ketentuan tertentu. Berdasarkan Pasal 146 ayat (1) PMK 81/2024, wajib pajak penerima kompensasi bunga dapat mengajukan permohonan kompensasi bunga. Dalam hal kompensasi bunga…, wajib pajak wajib mengajukan permohonan kompensasi bunga kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar, bunyi Pasal 146 ayat (1) PMK 81/2024. Berdasarkan permohonan tersebut, Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga (SKPIB) jika permohonan memenuhi persyaratan. Terdapat lima syarat yang memungkinkan wajib pajak menerima imbalan bunga terkait Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pertama, terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU KUP. Kedua, terdapat keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (3) UU KUP. Ketiga, terdapat keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (4) UU KUP. Keempat, terdapat kelebihan pembayaran pajak akibat keberatan, banding, atau peninjauan kembali, yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27B ayat (1) UU KUP. Kelima, terdapat kelebihan pembayaran pajak akibat surat keputusan pembetulan/pengurangan/pembatalan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP), yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan wajib pajak, kecuali: 1. kelebihan pembayaran pajak akibat surat keputusan pembetulan yang berkaitan dengan kesepakatan bersama; atau 2. kelebihan pembayaran pajak akibat surat keputusan pembatalan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Tata Cara dan Administrasi Perpajakan. Perlu diketahui, kompensasi bunga diberikan berdasarkan tingkat bunga bulanan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Tingkat bunga bulanan yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah tingkat bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya perhitungan kompensasi bunga.
Direktorat Jenderal Pajak: Pabrik Pemanfaat PPh Pasal 21 DTP Wajib Lapor SPT Masa
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau pabrik atau industri tertentu yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP untuk melaporkan SPT Masa sepanjang tahun 2025. Pabrik wajib melaporkan penggunaan insentif tersebut untuk setiap masa pajak. DJP juga mengingatkan bahwa jika pabrik tidak melaporkan SPT Masa, karyawan pabrik tidak akan dapat memanfaatkan fasilitas PPh Pasal 21 DTP. “Ingatkan pabrik tempat Anda bekerja untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 setiap bulan sepanjang tahun 2025. Jika tidak melaporkan selama satu bulan saja, karyawan tidak akan dapat menggunakan fasilitas ini,” demikian pernyataan DJP dalam video yang diunggah di media sosial, dikutip Minggu (24 Agustus 2025). Perlu diketahui, pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) mulai Januari hingga Desember 2025 kepada pekerja di industri padat karya. Terdapat empat industri yang dimaksud, yaitu alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10/2025. Berdasarkan peraturan ini, pemberi kerja atau industri diwajibkan melaporkan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 (DTP) untuk setiap masa pajak. Pelaporan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 (DTP) dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21/26 untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa fasilitas PPh Pasal 21 (DTP) diberikan kepada pekerja dengan penghasilan bruto paling tinggi Rp10 juta per bulan atau Rp500.000 per hari. Selain itu, pemberi kerja juga harus memiliki kode klasifikasi bidang usaha. Jika karyawan di sektor tertentu mulai bekerja sebelum tahun 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melanjutkan, PPh yang diberikan untuk fasilitas DTP baru akan dihitung mulai Januari 2025. “Bagi wajib pajak yang bekerja di pabrik tekstil, pabrik alas kaki, atau pabrik furnitur, PPh-nya akan ditanggung pemerintah sepanjang penghasilan rutinnya tidak melebihi Rp10 juta pada bulan pertama bekerja di tahun 2025,” jelas Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Syarat dan Ketentuannya Bayar PBB-P2 Jakarta Dengan Sistem Angsuran
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini menawarkan cara yang lebih mudah bagi warga yang masih memiliki kewajiban Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Melalui Peraturan Gubernur No. 43 Tahun 2024 tentang Tata Cara dan Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Daerah, pembayaran PBB-P2 dapat dilakukan secara mencicil. Syarat dan Ketentuan Angsuran Fasilitas penangguhan angsuran atau pembayaran pajak hanya dapat diberikan kepada wajib pajak yang mengalami kesulitan keuangan atau terdampak keadaan kahar, seperti bencana alam, kebakaran, kerusuhan massal, wabah penyakit, atau keadaan lain yang ditetapkan oleh gubernur. Pemberian angsuran dilakukan berdasarkan permohonan resmi dari wajib pajak, dengan jangka waktu maksimal 24 bulan. Namun, setiap pembayaran angsuran wajib disertai bunga sesuai ketentuan umum pajak dan retribusi daerah. Wajib pajak yang sebelumnya telah menerima perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak tidak dapat lagi mengajukan permohonan angsuran. Cara Pengajuan Permohonan pembayaran angsuran PBB-P2 diajukan dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Badan melalui pejabat yang ditunjuk. Surat ini wajib mencantumkan identitas wajib pajak, data objek pajak, dan jumlah pajak yang terutang. Permohonan dapat diajukan secara langsung, melalui pos, jasa kurir, sistem elektronik, atau sarana lain yang ditentukan oleh Kepala Badan. Selain itu, wajib pajak wajib mencantumkan alasan permohonan dan usulan perhitungan pembayaran untuk setiap periode angsuran. Wajib pajak wajib melampirkan dokumen pendukung sesuai dengan status dan kondisi permohonan. Bagi wajib pajak orang pribadi, dokumen yang dipersyaratkan adalah fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bagi wajib pajak badan, wajib melampirkan fotokopi KTP pengurus, akta pendirian badan usaha, dan perubahannya. Jika diwakilkan, wajib melampirkan surat kuasa bermaterai dan fotokopi KTP pemberi kuasa. Jika permohonan diajukan karena kesulitan keuangan, wajib melampirkan laporan keuangan. Untuk aplikasi karena keadaan kahar, data, informasi, atau pernyataan yang relevan harus disertakan. Lebih lanjut, jika permohonan diajukan sebelum Surat Ketetapan Pajak diterbitkan, wajib pajak wajib melampirkan perhitungan masa pajak yang diminta. Jika Surat Ketetapan Pajak sudah ada, dokumen ini wajib dilampirkan. Lebih lanjut, untuk permohonan yang telah ditindaklanjuti dengan surat permintaan, salinan surat permintaan juga diperlukan. Perlu dicatat bahwa wajib pajak yang telah menerima fasilitas angsuran tidak dapat lagi mengajukan perpanjangan masa pembayaran atau pelaporan pajak. Keputusan mengenai permohonan akan dibuat oleh gubernur, dan dapat berupa persetujuan penuh atau sebagian, baik mengenai jumlah maupun masa angsuran. Sistem angsuran PBB-P2 diharapkan dapat meringankan beban keuangan wajib pajak. Dengan skema pembayaran bertahap, wajib pajak memiliki kesempatan untuk membayar kewajiban pajaknya tanpa beban yang berlebihan.
Mahkamah Konstitusi Putuskan Biaya Transportasi Gas LPG 3 Kg Bukan Objek Pajak
Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan Nomor 188/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa biaya pengangkutan LPG 3 kilogram (kg) yang ditetapkan melalui keputusan gubernur, bupati, atau wali kota, tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Putusan ini sekaligus mengakhiri kontroversi pengenaan pajak atas biaya distribusi LPG bersubsidi yang sebelumnya diberlakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kuasa hukum pemohon, Cuaca Teger, berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengoreksi kebijakan yang keliru. Ia menegaskan bahwa pengenaan pajak atas biaya pengangkutan LPG 3 kg tidak memiliki dasar hukum. “Memajaki yang bukan objek pajak adalah tindakan ‘perampokan’ kepada masyarakat karena dilakukan tanpa berdasar undang-undang,” kata Teger dalam keterangannya, dikutip Jumat (22/8/2025). Menurut Teger, sengketa bermula saat DJP mengeluarkan Nota Dinas Nomor ND-247/PJ/PJ.03/2021 yang memerintahkan pengenaan PPh dan PPN atas biaya transportasi LPG 3 kg dari agen ke pangkalan. Padahal, biaya tersebut diatur dengan keputusan kepala daerah yang tidak bisa dijadikan dasar pemajakan. “Nota dinas DJP itu harus segera dicabut. Putusan MK menegaskan sama sekali tidak ada keterkaitan baik secara formal maupun substansi antara HET (Harga Eceran Tertinggi) LPG 3 kg dengan penghasilan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) UU PPh,” ujarnya. a menambahkan, para pemohon dalam proses persidangan mendalilkan bahwa pemajakan tersebut melanggar konstitusi karena bersumber dari keputusan kepala daerah, bukan undang-undang. Hal ini diperkuat MK dalam pertimbangannya yang menyebutkan bahwa kerugian konstitusional terbukti ketika DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh dan PPN kepada agen. “Kerugian konstitusional yang dialami para pemohon nyata karena dipajaki berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis yang sebenarnya tidak timbul dari mekanisme pasar. Harga tidak ditentukan bebas oleh penjual dan pembeli, tetapi ditetapkan penguasa,” bunyi bagian pertimbangan pada amar putusan tersebut. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa penetapan harga pasar berbeda dengan tambahan kapasitas ekonomi yang dikenakan pajak. Dalam kasus LPG 3 kg, mekanisme pasar yang sah tidak berjalan karena nilai kegiatannya ditetapkan melalui keputusan gubernur, bupati, atau wali kota. Meskipun pada akhirnya menolak uji materiil formil, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa biaya transportasi LPG 3 kg yang ditetapkan oleh kepala daerah tidak dikenakan pajak penghasilan maupun PPN. Hal ini berarti permohonan para pemohon dikabulkan. Teger juga menyoroti inkonsistensi pemerintah sebagai termohon. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa selisih harga dari transaksi di atas Harga Jual Eceran (HJE) Pertamina merupakan tambahan pendapatan yang dapat dikenakan pajak. Namun, di sisi lain, pemerintah mengakui bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh peraturan daerah tidak terkait dengan objek pajak. “Pemerintah pun sebenarnya sudah mengakui bahwa selisih harga yang berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Wali kota yang merupakan HET tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan pengaturan obyek pajak maupun dasar pengenaan pajak penghasilan dan PPN,” papar Teger. Ia pun menyebut putusan MK ini sebagai kabar baik bagi agen dan pelaku usaha, termasuk di Sumatera Selatan yang sebelumnya terbebani pungutan hingga ratusan juta rupiah. “Keputusan ini secara tegas menggarisbawahi bahwa setiap pungutan, termasuk pajak, harus memiliki landasan hukum yang jelas berdasarkan undang-undang, bukan sekadar peraturan teknis di tingkat daerah,” pungkasnya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/2025 Belum Mencakup Aturan Terkait Staking Aset Kripto, Kata Direktorat Jenderal Pajak
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 50/2025 belum memuat ketentuan khusus mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari staking aset kripto. Staking adalah skema di mana aset kripto dikunci dalam suatu sistem untuk jangka waktu tertentu, yang memungkinkan pemilik aset kripto mendapatkan imbalan jaringan berupa aset kripto baru. Skema staking umumnya tersedia untuk aset kripto yang menggunakan sistem proof-of-stake untuk memvalidasi transaksi. “Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dengan peraturan yang berlaku dari otoritas terkait,” ujar Ahmad Rif’an, Konsultan Pajak di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam webinar yang diselenggarakan oleh Persatuan Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI), dikutip Jumat (22 Agustus 2025). Penghasilan yang diperoleh dari staking aset kripto memang dikenakan pajak. Namun, perlakuan perpajakan atas penghasilan staking masih perlu didiskusikan lebih lanjut dengan otoritas terkait. “Yang pasti, pemilik kripto akan melaporkannya dalam penghasilannya. Tetap atas nama mereka. Tergantung kategori pihak yang memberikan penghasilan tersebut,” ujar Rif’an. Sebagai informasi, secara umum, PMK 50/2025 hanya mengatur perlakuan perpajakan bagi penjual aset kripto, penyelenggara sistem perdagangan elektronik (PPMSE) yang memfasilitasi transaksi aset kripto, dan penambang aset kripto. Penjual aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang menjual atau mempertukarkan aset kripto, sedangkan PPMSE adalah pelaku usaha yang menyediakan sarana komunikasi yang digunakan untuk transaksi perdagangan aset kripto. Sedangkan penambang aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan verifikasi aset kripto untuk mendapatkan imbalan berupa aset kripto, baik secara individu maupun sebagai bagian dari kelompok penambang aset kripto. Ketentuan dalam PMK 50/2025 mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2025. Namun, ketentuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh penambang aset kripto baru akan berlaku mulai tahun pajak 2026.
Pembuatan Nota Retur di Coretax Oleh Pembeli Non-PKP
Retur Barang Kena Pajak (BKP) dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian, kerusakan, atau kesalahan pada barang yang diterima pembeli. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024), apabila terjadi retur Barang Kena Pajak, pembeli wajib membuat dan menyampaikan nota retur kepada penjual, yaitu Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan penerapan sistem coretax, nota retur harus dibuat dan ditandatangani secara elektronik melalui portal wajib pajak (coretax) atau situs web lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Perlu diketahui bahwa saat ini, nota retur tidak terbatas pada pembeli berstatus PKP. Namun, pembeli non-PKP juga dapat membuat nota retur asalkan memiliki akun coretax. Jika pembeli non-PKP tetapi memiliki akun coretax, mereka dapat membuat nota retur melalui akun coretax mereka. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika nota retur diterbitkan oleh pembeli non-PKP. Pertama, nota retur dapat dibuat oleh pembeli non-PKP asalkan pembeli tersebut masuk menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NIK) 16 digit. Kedua, nota retur hanya dapat dibuat untuk pembeli non-PKP jika faktur pajak yang digunakan mencantumkan NPWP sebagai identitas. Perlu diperhatikan bahwa jika nota pengembalian tidak dibuat sesuai ketentuan ini, pengembalian Barang Kena Pajak akan dianggap tidak sah. Oleh karena itu, saat membuat nota pengembalian pajak, penting bagi pembeli untuk memperhatikan prosedur yang benar. Untuk membuat nota pengembalian pajak, Pengusaha Kena Pajak yang belum terdaftar PPN dapat membuat nota pengembalian pajak di akun Coretax mereka melalui menu “e-faktur”. Selanjutnya, pilih menu “SPT Masukan” dan klik “Buat SPT”. Bagi penjual, jika pembeli mengajukan retur, sistem akan memberikan notifikasi melalui menu “notifikasi saya”, yang berisi nomor faktur, identitas pembeli yang mengajukan retur, dan nomor tanda terima retur. Penjual kemudian dapat menyetujui atau menolak retur melalui submenu “SPT Keluaran”. Selanjutnya, nilai retur akan otomatis tercatat dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN A.2) untuk periode atau tanggal retur.
Pemerintah Perkuat Pengawasan Orang Kaya untuk Kejar Target Pendapatan Pajak Penghasilan pada 2026
Pemerintah telah menetapkan strategi baru untuk memperkuat penerimaan negara dari sektor perpajakan, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) pada tahun 2026. Salah satu fokus utamanya adalah memperketat pengawasan terhadap Wajib Pajak Golongan dan Orang Pribadi Berkekayaan Tinggi (WTP). Catatan Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menyebutkan bahwa penerimaan PPh nonmigas dalam RAPBN 2026 ditargetkan mencapai Rp1.154.127,0 miliar. Sementara itu, total penerimaan PPh diproyeksikan sebesar Rp1.209.363,4 miliar. Target ini ditetapkan dengan mempertimbangkan capaian tahun-tahun sebelumnya, proyeksi perekonomian 2026, dan optimalisasi kebijakan teknis perpajakan, seperti kegiatan program bersama dan peningkatan efektivitas pengawasan terhadap orang pribadi kaya. “Peningkatan efektivitas pengawasan dengan fokus kepada Wajib Pajak Grup dan High Wealth Individual, penerimaan PPh Nonmigas dalam RAPBN tahun 2026 diproyeksikan sebesar Rp1.154.127,0 miliar,“ isi dari buku Nota Keuangan dan RAPBN 2026, dikutip pada Kamis (21/8/25). Sementara itu, penerimaan PPh migas secara historis periode 2021–2025 menunjukkan pergerakan yang cukup dinamis, dipengaruhi oleh tren harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan fluktuasi komoditas global. Pada tahun 2021, penerimaan PPh migas tumbuh signifikan sebesar 60,0 persen, terutama didorong oleh penguatan harga minyak mentah Indonesia sepanjang tahun. Tahun berikutnya, penerimaan kembali melonjak sebesar 47,3 persen seiring dengan membaiknya harga minyak dan kenaikan harga komoditas global. Namun, pada tahun 2023 dan 2024, tren moderasi harga komoditas akan menekan kinerja PPh migas, sehingga mengakibatkan kontraksi masing-masing sebesar 11,7 persen dan 5,3 persen. Memasuki tahun 2025, berdasarkan hasil semester pertama, proyeksi ICP, lifting migas, dan penerimaan yang masih tercatat sebagai setoran pada komponen pajak lainnya, prospek PPh migas diperkirakan mencapai Rp54.135,7 miliar. Dengan asumsi serupa, RAPBN 2026 menargetkan penerimaan pajak penghasilan migas sebesar Rp55.236,4 miliar. Berbeda dengan sektor migas, Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas menunjukkan kinerja yang lebih konsisten dalam menopang penerimaan negara. Pada tahun 2021, penerimaan tumbuh 14,8 persen seiring dengan pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19. Momentum ini berlanjut pada tahun 2022 dengan pertumbuhan signifikan sebesar 43,0 persen, didorong oleh membaiknya aktivitas ekonomi domestik, tingginya pembayaran PPh badan tahunan, dan penerapan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Pada tahun 2023, PPh nonmigas terus tumbuh sebesar 7,8 persen berkat stabilnya aktivitas ekonomi domestik, peningkatan utilisasi industri, dan kenaikan upah tenaga kerja. Pada tahun 2024, penerimaan terus tumbuh tipis sebesar 0,4 persen meskipun terdapat tekanan dari moderasi harga komoditas. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh penerimaan PPh dari transaksi, termasuk PPh Pasal 21, PPh final, dan PPh Pasal 26. Sedangkan outlook 2025 memperkirakan pertumbuhan PPh non-migas hanya 0,1 persen. Faktor utamanya adalah implementasi Tarif Efektif Rata-rata (TER), penurunan profitabilitas usaha sektor komoditas, serta sebagian penerimaan yang masih tercatat pada deposit di komponen pajak lainnya. Dengan tren penerimaan tersebut, pemerintah menekankan strategi pengawasan yang lebih tajam pada Wajib Pajak Grup dan HWI.
