Aturan Pajak Minimum Global Terbit, Ini Syarat Korporasi yang Bakal Kena

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi menerapkan pajak minimum global atau global anti-base erosion rules alias GloBE yang merupakan pajak tambahan yang dikembangkan oleh OECD. Kebijakan GloBE tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/2024. Dalam aturan dijelaskan, jenis-jenis korporasi yang akan menjadi objek GloBE. Pasal 2 ayat (1) menjelaskan GloBE akan dikenai untuk grup perusahaan multinasional yang memiliki setidaknya satu korporasi atau bentuk usaha tetap yang tidak berada di negara atau yurisdiksi korporasi induk utamanya. Hanya saja tidak semua perusahaan multinasional yang akan menjadi objek ketentuan pajak minimum global. GloBE hanya berlaku untuk korporasi yang peredaran bruto tahunan grup perusahaan multinasionalnya paling sedikit 750 juta euro atau sekitar Rp12,6 triliun (asumsi kurs Rp16.800 per euro). Selain itu, Pasal 3 ayat (1) menjelaskan terdapat pengeculian enam jenis korporasi grup perusahaan multinasional yang dikenai GloBE yaitu badan pemerintah, organisasi internasional, organisasi nirlaba, korporasi dana pensiun, korporasi dana investasi induk utama, dan korporasi dana investasi real estat induk utama. Sementara itu, Pasal 4 ayat (2) menetapkan pajak minimum global dikenakan berdasarkan income inclusion rules (IIR), undertaxed payment rules (UTPR), dan/atau domestic minimum top-up tax (DMTT). IRR sendiri merupakan ketentuan yang mengharuskan korporasi induk membayar pajak atas pendapatan yang diperoleh anak korporasinya di negara/yurisdiksi lain. Pasal 14 ayat (2) menjelaskan pajak tambahan berdasarkan IRR dikenakan ke korporasi induk utama, korporasi induk antara, dan/atau korporasi induk yang dimiliki sebagian. Hanya saja, pajak tambahan berdasarkan IRR itu dikecualikan untuk korporasi induk/induk antara yang menerapkan qualified IRR atau sudah seusai ketentuan GloBE. Sementara itu, UTPR merupakan ketentuan pembayaran lintas batas yang tidak dikenai pajak secara memadai. Pasal 17 ayat (1) menetapkan pajak tambahan berdasarkan UTPR dikenai kepada korporasi konstituen di Indonesia yang merupakan bagian grup perusahaan multinasional. Sedangkan DMTT adalah ketentuan pengenaan pajak tambahan terhadap pendapatan korporasi dari grup perusahaan multinasional karena tidak mencapai pajak minimum global 15%. Pasal 6 ayat (6) dijelaskan pajak tambahan berdasarkan DMTT dihitung dengan cara mengalikan persentase pajak tambahan dengan laba ekses (excess profit) dan ditambahkan dengan pajak tambahan adisional kini (additional current top-up tax). Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan penerapan pajak minimum global menegaskan komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif. Melalui kebijakan ini, pajak tidak lagi menjadi faktor utama dalam menentukan negara tujuan investasi. “Dengan adanya ketentuan ini, praktik penghindaran pajak seperti melalui tax haven dapat dicegah. Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (16/1/2025). Adapun penerapan ketentuan pajak minimum global merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung oleh lebih dari 140 negara.   Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250116/259/1832328/aturan-pajak-minimum-global-terbit-ini-syarat-korporasi-yang-bakal-kena

Ditjen Pajak Umumkan Perbaikan Terbaru Sistem Coretax, Berikut Rinciannya!

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus melakukan perbaikan terhadap sistem inti perpajakan atau coretax sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025. Salah satunya berkaitan dengan faktur pajak. Berdasarkan siaran pers DJP, Kamis (23/1/2025) sampai dengan tanggal 21 Januari 2025 pukul 09.00 WIB, wajib pajak yang sudah berhasil mendapatkan sertifikat digital/sertifikat elektronik untuk menandatangani faktur pajak berjumlah 336.528. Sementara itu, wajib pajak yang sudah berhasil membuat faktur pajak yaitu sebanyak 118.749 dengan jumlah faktur pajak yang telah dibuat sebanyak 8.419.899 (6.802.519 faktur melalui Coretax DJP dan 1.617.380 faktur melalui e-Faktur desktop) dan total faktur pajak yang telah divalidasi atau disetujui sebesar 5.630.494. Adapun perbaikan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Perbaikan modul registrasi untuk impersonate dan passphrase. Penambahan server database untuk meningkatkan kapasitas lalu lintas data. Perbaikan validasi data skema impor faktur pajak dengan format *.xml. Penambahan kanal e-Faktur melalui desktop untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu yaitu PKP yang menerbitkan faktur pajak di atas 10.000 dokumen per bulan. Perbaikan skema penandatanganan digital dalam proses penerbitan dokumen faktur. Hasil yang dapat diterima oleh wajib pajak adalah: Penambahan kanal desktop membuat jumlah faktur pajak yang ditandatangani bertambah cukup signifikan (dalam lima hari terakhir sejumlah 980.088 atau 24% dari total faktur pajak yang dibuat telah berstatus “approved”). Kapasitas unggah faktur pajak melalui skema impor format *.xml menjadi lebih besar (dari 100 per unggahan menjadi 15.000 per unggahan). Kapasitas unggah faktur pajak melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) menjadi lebih besar (dari 21 faktur pajak per menit menjadi 50 faktur pajak per menit). Peningkatan jumlah faktur pajak yang berhasil ditandatangani dalam skema impor format *.xml. Semula, dalam satu menit Coretax DJP bisa memproses penandatanganan 270 faktur pajak. Saat ini Coretax DJP telah dapat memproses penandatanganan hingga 1.000 faktur pajak per menit. Data dan informasi yang tercantum pada faktur pajak menjadi lengkap. Sebelumnya didapati kendala pada beberapa PKP, di mana data faktur pajaknya tidak lengkap.   Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250123071949-4-605319/ditjen-pajak-umumkan-perbaikan-terbaru-sistem-coretax-ini-rinciannya

Coretax Sinkron dengan Data Perbankan

Sistem Coretax DJP dirancang untuk terhubung dengan seluruh sistem milik kementerian/lembaga dan perbankan. Hanya saja, belum semua K/L dan perbankan yang datanya sudah terkoneksi dengan coretax. DJP memerinci, dari total 190 kementerian/lembaga (K/L) tingkat pusat, coretax baru terkoneksi dengan sistem milik 13 K/L. Sementara itu, dari total 106 perbankan, 46 perbankan di antaranya sudah terkoneksi dengan coretax. Koneksi dengan sistem milik K/L diperlukan untuk penerbitan beberapa dokumen, seperti surat keterangan fiskal (SKF), surat keterangan bebas (SKB), dan beragam dokumen lainnya yang terkait dengan insentif pajak. Koneksi coretax dan sistem K/L juga menghapuskan kewajiban bagi wajib pajak untuk datang ke kantor pelayanan pajak (KPP) dalam hal mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

Cara Mengajukan Wajib Pajak Non-efektif, Tidak Perlu lapor

KOMPAS.com – Wajib pajak yang telah berhenti menjalankan usaha atau pekerjaan bisa mengubah status Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi non-efektif. Dengan begitu, wajib pajak tidak perlu lagi memikirkan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Wajib pajak yang statusnya non-efektif juga tidak dikenakan denda apabila terlambat atau tidak melapor SPT. Wajib pajak bisa mengubah statusnya menjadi non-efektif dengan mengajukan permohonan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Terkait hal itu, bagaimana cara mengubah status wajib pajak menjadi non-efektif? Syarat mengubah wajib pajak menjadi non-efektif Sebelum mengetahui caranya, wajib pajak perlu memahami syarat-syarat objektif dan/atau subjektif untuk mengajukan status non-efektif kepada DJP. Dilansir dari laman DJP, berikut syarat agar wajib pajak bisa mengajukan status non-efektif: Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas tetapi secara nyata tidak lagi menjalankan kegiatan usaha atau tidak lagi melakukan pekerjaan bebas Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan tidak bermaksud meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penghapusan dan belum diterbitkan keputusan Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak. Cara mengubah wajib pajak menjadi non-efektif Wajib pajak yang sudah memenuhi lima syarat objektif dan/atau subjektif bisa mengubah status NPWP menjadi non-efektif dengan menghubungi telepon Kring Pajak di nomor 1500200. Cara mengajukan status non-efektif juga bisa dilakukan secara online melalui laman https://www.pajak.go.id/, Dilansir dari Kompas.com, Kamis (15/8/2024), simak cara mengubah statusnya menjadi non-efektif berikut ini: Klik atau kunjungi laman https://www.pajak.go.id/ Klik menu live chat Pilih “NPWP” Klik “Pengaktifan Kembali NPWP/Penonaktifan NPWP” Baca syarat dan ketentuan Wajib pajak bisa mengisi permohonan NPWP non-efektif. Link permohonan dapat diakses melalui https://www.pajak.go.id/id/formulir-pajak/formulir-permohonan-penetapan-wajib-pajak-non-efektif-dan-pengaktifan-kembali/ Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2025/01/24/140000765/cara-mengajukan-wajib-pajak-non-efektif-tidak-perlu-lapor-spt

Coretax Kerap Bermasalah, Sri Mulyani: Kepada Seluruh Wajib Pajak, Saya Mengucapkan Maaf

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta maaf kepada masyarakat atas kendala-kendala yang terjadi pada sistem Coretax sejak dioperasikan pada 1 Januari 2025. Sistem Coretax merupakan sistem baru di Indonesia yang bertugas melayani seluruh administrasi perpajakan. Oleh karena itu, sebut dia, wajar jika ada beberapa kendala yang terjadi saat awal pengoperasian. Ini menjadi bagian dari perjalanan membangun sistem perpajakan yang lebih terintegrasi, efisien, dan akuntabel. Kendati demikian, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan terus berupaya melakukan perbaikan dengan prinsip praktis dan pragmatis sehingga kendala yang dihadapi dapat segera teratasi. Berdasarkan keterangan tertulis, DJP telah melakukan langkah-langkah perbaikan sistem Coretax, yaitu meliputi perbaikan modul registrasi untuk impersonate dan passphrase, serta penambahan server database. Kemudian juga telah dilakukan perbaikan validasi data skema impor faktur pajak dengan format *.xml, penambahan kanal e-faktur melalui desktop untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan faktur pajak di atas 10.000 dokumen per bulan, serta perbaikan skema penandatanganan digital dalam penerbitan dokumen faktur. Sumber: https://money.kompas.com/read/2025/01/24/113901526/coretax-kerap-bermasalah-sri-mulyani-kepada-seluruh-wajib-pajak-saya

Cara Cek NPWP dengan NIK Online Lewat HP

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan fitur untuk mengecek Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengecekkan dapat dilakukan secara online melalui handphone (HP) di laman https://ereg.pajak.go.id/ceknpwp. Layanan cek NPWP dengan NIK membantu wajib pajak yang hendak mengurus pekerjaan atau mengajukan kredit di bank. Berikut persyarat cek NPWP : HP Jaringan internet yang memadai NIK Nomor Kartu Keluarga (KK). Jika syarat-syarat yang diperlukan sudah terpenuhi, silakan lanjutkan cara cek NPWP dengan NIK dengan cara sebagai berikut: 1. Kunjungi laman DJP Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengunjungi situs resmi https://ereg.pajak.go.id/ceknpwp. Terkadang laman tersebut error atau tidak bisa diakses. Tunggu beberapa saat atau keesokan harinya untuk melanjutkan proses cek NPWP dengan NIK. Baca juga: Cara Cek NIK Aktif atau Tidak secara Online, Bisa lewat Ponsel 2. Masukkan data wajib pajak Jika laman sudah bisa dikunjungi, pilih kategori “Orang Pribadi”. Yang dimaksud dengan orang pribadi adalah wajib pajak sebagai penduduk yang menggunakan NIK sebagai NPWP. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. 3. Masukkan NIK dan nomor KK Setelah data wajib pajak dimasukkan, langkah berikutnya adalah memasukkan 16 digit NIK dan dan nomor KK. Pastikan tidak ada kesalahan memasukkan nomor karena hal ini akan memengaruhi proses pencarian atau data wajib pajak tidak ditemukan. Jangan lupa untuk memasukkan kode captcha sebagai bentuk verifikasi keamanan.   Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2025/01/22/071500065/cara-cek-npwp-dengan-nik-online-lewat-hp-berikut-link-dan-syaratnya

Kabar Terbaru! Lapor SPT Pakai Coretax Tak Perlu EFIN Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia – Setiap wajib pajak RI akan melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2025 melalui Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax. Pelaporan SPT 2025 melalui Coretax yang akan dimulai pada 2026 ini tidak akan lagi menggunakan Elektronik Filing Identifikasi Nomor (EFIN). Berdasarkan pengumuman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, disampaikan bahwa pelaporan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2025 di tahun depan sudah tidak melalui djponline.pajak.go.id. Namun, sudah melalui coretaxdjp.pajak.go.id. Dengan demikian EFIN tidak lagi digunakan dalam pengaturan ulang kata sandi (password). “Tahun depan sudah pakai Coretax, EFIN sudah tidak dipakai,” tulis unggahan di Instagram resmi @ditjenpajakri, dikutip Selasa (21/1/2025). Adapun, untuk SPT tahun pajak 2024, wajib pajak harus melapor di DJP Online. Jika wajib pajak lupa EFIN, DJP meminta wajib pajak melakukan hal ini. 1. Wajib pajak masuk ke laman resmi DJP Online, www.pajak.go.id melalui handphone ataupun laptop. 2. Login dengan memasukkan nomor NIK/NPWP dan password serta kode keamanan. 3. Jika sudah login, maka klik lapor dan pilih e-filing serta buat SPT. 4. Setelah itu akan ada opsi pengisian formulir SPT yang diberikan kepada anda baik 1770 dan 1770 S. Pilih yang sesuai dengan penghasilan anda per tahun. 5. Isi formulir berdasarkan tahun pajak dan status SPT dan klik langkah selanjutnya. 6. Di sini anda akan diarahkan untuk mengisi data langkah demi langkah yang terdiri dari 18 tahap. Mulai isi data terkait penghasilan final, harta yang dimiliki hingga akhir tahun pajak, hingga daftar utang yang dimiliki pada tahun pajak tersebut. 7. Jika Anda tidak memiliki utang pajak dan lainnya maka akan muncul status SPT anda, yakni nihil, kurang bayar, atau lebih bayar. Kemudian, lakukan isi SPT sesuai dengan status. 8. Jika telah selesai maka klik tombol setuju dan kode verifikasi akan dikirimkan ke alamat email atau nomor telepon terdaftar. 9. Masukkan kode verifikasi yang dikirimkan dan klik tombol kirim SPT. 10. Lalu, wajib pajak akan mendapatkan tanda terima elektronik SPT Tahunan yang dikirimkan ke email.   Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250121100754-4-604759/kabar-terbaru-lapor-spt-pakai-coretax-tak-perlu-efin-lagi

Sistem Coretax Belum Bisa Menghitung DPP Nilai Lain secara Otomatis

Sistem Coretax belum mampu memfasilitasi penghitungan PPN menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual secara otomatis karena skema penggunaan DPP nilai lain tersebut baru diputuskan pada penghujung 2024. Maka, PKP perlu melakukan penghitungan secara manual di luar coretax, lalu meng-input hasil hitungan ke dalam coretax saat pembuatan faktur pajak. Mengingat formula penghitungan PPN menggunakan DPP nilai lain sangat bervariasi, sehingga DJP tidak bisa langsung mengotomatiskan penghitungan PPN menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.

Pemerintah Godok Aturan Baru Terkait PPN Besaran Tertentu di Era Tarif 12%

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) untuk mengatur penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) besaran tertentu dalam era kebijakan tarif 12%. Penyuluh Pajak Ahli Madya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yudha Wijaya mengatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan berbagai aspek agar kebijakan ini tetap selaras dengan aturan sebelumnya dan arahan Presiden Prabowo Subianto. Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) untuk mengatur penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) besaran tertentu dalam era kebijakan tarif 12%. Penyuluh Pajak Ahli Madya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yudha Wijaya mengatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan berbagai aspek agar kebijakan ini tetap selaras dengan aturan sebelumnya dan arahan Presiden Prabowo Subianto. Ia mencontohkan, seperti pengenaan PPN Kegiatan Membangun Sendiri (KMS), di mana berlaku sebesar 20% dari tarif PPN yang berlaku umum. Dengan pemberlakuan tarif menjadi 12%, pemerintah mempertimbangkan apakah aturan ini akan disesuaikan atau tetap berlaku. “Itu nanti apakah 12%? Atau nanti akan ada katalis lain, karena ketika dia menggunakan tarif 12% di sini ada gesekan dengan kebijakan bapak Presiden bahwa tarif 12% hanya berlaku untuk penyerahan barang kena pajak yang berkategori mewah,” ujar Yudha dalam Webinar Bijak yang digelar MUC Consulting, Senin (20/1). Saat dikonfirmasi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti menambahkan bahwa pembahasan mengenai RPMK tersebut sedang dilakukan pembahasan. “Dapat kami sampaikan bahwa pembahasan mengenai RPMK atas peraturan perpajakan berkaitan dengan barang dan jasa tertentu sedang dilakukan,” kata Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (21/1). Sementara itu, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai bahwa pemerintah memang perlu segera menerbitkan regulasi baru yang mengatur PPN besaran tertentu dan nilai lain, yang sejauh ini belum tercakup dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Wahyu menjelaskan, transaksi terkait PPN besaran tertentu dan nilai lain memang sudah memiliki peraturan khusus yang terpisah. “Jadi, tidak masuk ke pengaturan PMK 131/2024. Artinya, tidak menggunakan DPP 11/12. Sehingga, secara general memang tarif efektifnya naik, mengikuti kenaikan tarif umumnya, sebesar 12%,” kata Wahyu. Ia berharap agar aturan teknis dalam bentuk PMK ini bisa segera terbit sehingga memberikan kepastian hukum yang jelas. “Semoga PMK-nya segera terbit, untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya,” imbuhnya. Sebagai informasi, Pasal 2 PMK 131/2024 menyatakan tarif PPN sebesar 12% langsung dihitung dari harga jual atau nilai impor untuk barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah. Kemudian, Pasal 3 PMK 131 Tahun 2024, PPN untuk BKP non-mewah dan jasa kena pajak (JKP) dihitung dengan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian, sehingga menghasilkan tarif efektif PPN sebesar 11%. Hanya saja, pada Pasal 4 beleid yang sama, ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tidak berlaku untuk PPN yang terutang atas BKP/dan atau JKP dengan DPP berupa nilai lain dan besaran tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan terpisah. Dengan begitu, tarif pengalinya meningkat dari 11% menjadi 12, sehingga menyebabkan kenaikan pada objek PPN besaran tertentu, salah satunya adalah Kegiatan Membangun Sendiri (KMS).   Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-godok-aturan-baru-terkait-ppn-besaran-tertentu-di-era-tarif-12

DJP Rilis Pengumuman Soal Lapor SPT PPh Tahun 2024, Ini Penjelasannya!

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara resmi mengumumkan panduan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2024. Pengumuman tersebut disampaikan melalui Pengumuman Nomor PENG-9/PJ.09/2025 yang ditandatangani oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, di Jakarta pada 21 Januari 2025. Dalam pengumuman tersebut, DJP mengingatkan bahwa pelaporan SPT tahunan PPh tahun pajak 2024 dapat dilakukan melalui kanal resmi yang telah disediakan. Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan dapat melapor menggunakan aplikasi DJP online di https://djponline.pajak.go.id. Selain itu, pelaporan juga dapat dilakukan melalui aplikasi Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Daftar lengkap PJAP yang telah ditunjuk DJP dapat diakses melalui situs https://pajak.go.id/index-pjap, yang memuat informasi terkini mengenai penyedia layanan tersebut. Mulai tahun pajak 2025, DJP akan menggunakan sistem baru bernama aplikasi core tax DJP. Sistem ini dirancang untuk mempermudah pelaporan pajak dan dapat diakses melalui laman https://coretax.pajak.go.id, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelaporan pajak. DJP menegaskan pentingnya pelaporan SPT sesuai batas waktu yang telah ditentukan dalam ketentuan perpajakan. Wajib Pajak orang pribadi diwajibkan melaporkan SPT paling lambat tiga bulan setelah akhir tahun pajak. Sementara itu, Wajib Pajak badan diberikan batas waktu hingga empat bulan setelah akhir tahun pajak. Apabila Wajib Pajak membutuhkan bantuan atau informasi lebih lanjut, DJP menyediakan sejumlah saluran komunikasi resmi. Bantuan dapat diperoleh melalui kantor pajak terdekat, Kring Pajak 1500200, akun X resmi DJP @kring_pajak, fitur live chat di https://pajak.go.id, atau dengan menghubungi Relawan Pajak. Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo melaporkan bahwa DJP telah menerima 45.554 Wajib Pajak yang sudah lapor SPT tahunan hingga minggu pertama Januari tahun 2025. “Yang menarik, teman-teman wartawan, dalam durasi 6 hari ini, SPT tahunan (masa pajak) tahun 2024 yang dimasukkan di tahun 2025, itu sudah terkumpul sebanyak 45.554 SPT. Jumlah ini terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi sebanyak 43.126 SPT dan Wajib Pajak badan atau perusahaan ada 2.428 SPT,” ungkap Suryo dalam Konferensi Pers APBN 2024. Sementara itu, realisasi penyampaian SPT tahunan masa pajak 2023 hingga 31 Desember 2024 mencapai 16.529.427. Realisasi tersebut mencapai 103,05 persen dari target sebanyak 16.040.339 SPT tahunan.

Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu? :)