Penghapusan pembebasan PPh Pasal 22 untuk emas batangan impor yang akan diolah menjadi perhiasan emas untuk ekspor bertujuan untuk menciptakan perlakuan yang setara. Jika fasilitas di atas tidak dihapuskan, produsen perhiasan emas yang membeli emas batangan di dalam negeri akan dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,25%, sementara produsen yang mengimpor emas batangan dari luar negeri akan dibebaskan dari PPh Pasal 22 selama memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB). Pembebasan PPh Pasal 22 atas impor ini akan menciptakan perlakuan yang tidak setara. Impor tidak akan dikenakan PPh Pasal 22, tetapi impor di dalam negeri akan dikenakan PPh sebesar 0,25%. Penerbitan SKB juga menghadapi tantangan administratif, mengingat otoritas pajak kesulitan memverifikasi apakah emas batangan yang diimpor oleh pemegang SKB benar-benar akan diolah menjadi perhiasan emas untuk diekspor. Mencerminkan situasi ini, pemerintah, melalui Peraturan Menteri Keuangan 51/2025, menghapus pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk impor emas batangan berdasarkan SKB dan menurunkan tarif bea masuk impor emas batangan dari 10% menjadi 0,25%. Tarif bea masuk dalam lampiran adalah 10%, tetapi sekarang deskripsi barang hanya perak, dengan emas dicoret. Tarif 0,25% untuk emas batangan dicoret. Peraturan Menteri Keuangan 51/2025 diundangkan pada tanggal 28 Juli 2025 dan dinyatakan berlaku efektif pada tanggal 1 Agustus 2025. Apabila produsen perhiasan emas masih memiliki Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB) Pasal 22 untuk emas batangan impor, SKB tersebut tetap berlaku hingga masa berlaku SKB berakhir. Sebaliknya, apabila produsen emas telah menyampaikan SKB PPh Pasal 22 tetapi SKB tersebut belum diterbitkan pada saat PMK 51/2025 mulai berlaku, SKB tersebut tetap akan diterbitkan sesuai dengan PMK 81/2024. Surat Keputusan Bersama tentang impor emas batangan yang masih dalam proses akan tetap berlaku hingga berakhirnya masa berlakunya.
Kriteria Marketplace Yang Menjadi Pemungut PPh Pasal 22
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) PER 15/2025, kriteria PPMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 yakni PPMSE yang menggunakan rekening eskro (escrow account) yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar dan/atau dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan ketentuan: nilai transaksi dengan pemanfaat jasa di Indonesia melebihi Rp600.000.000 dalam 12 bulan atau Rp50.000.000 dalam 1 bulan; dan/atau jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam 12 bulan atau 1.000 dalam 1 bulan. Permohonan Penunjukan dan Pencabutan PPMSE Sebagai Pemungut PPh Pasal 22 Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PER 15/2025, PPMSE yang belum ditunjuk tetapi memilih untuk ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, dapat menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak secara langsung ke KPP atau melalui Portal Wajib Pajak (Coretax) atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP (PJAP). Adapun pemberitahuan dibuat menggunakan contoh format lampiran huruf B PER 15/2025. Sementara itu, dalam hal PPMSE tidak memenuhi batasan kriteria atau atas pertimbangan Dirjen Pajak tidak lagi memenuhi batasan kriteria, Dirjen Pajak dapat melakukan pencabutan penunjukan PPMSE secara jabatan atau berdasarkan pemberitahuan dengan menerbitkan keputusan Dirjen Pajak setelah melakukan penelitian. Keputusan Dirjen Pajak dibuat menggunakan contoh format lampiran huruf C dan pemberitahuan dibuat dengan format lampiran huruf D PER 15/2025. Sebagai informasi, PER 15/2025 mulai ditetapkan dan berlaku sejak 5 Agustus 2025. Perlu dicatat, atas pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 oleh penyelenggara marketplace tahun pajak 2025 mulai dilaksanakan paling lama satu bulan sejak penunjukan sebagai pemungut pajak. Pajak dipungut sebesar 0,5% dari penghasilan bruto yang diterima oleh pedagang yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk PPN dan PPnBM serta berlaku untuk seluruh pedagang dalam negeri yang memperoleh penghasilan melalui penjualan lewat PMSE.
Data PEB Tidak Ditemukan Saat Input e-Faktur, Ini Solusinya
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjelaskan beberapa kondisi yang menyebabkan data pemberitahuan ekspor (PEB) hilang saat input dokumen ke aplikasi e-faktur. Menurut DJBC, PEB yang terlapor dalam e-faktur harus direkonsiliasi terlebih dahulu dengan manifes keluar sebagai bentuk realisasi impor. “PEB akan otomatis direkonsiliasi dengan manifes jika kecocokan data terpenuhi,” demikian bunyi unggahan Instagram DJBC, dikutip Sabtu (8/8/2025). DJBC kemudian menyarankan pengguna untuk memastikan tiga kecocokan data. Pertama, pastikan nama eksportir dan pengirim sama. Kedua, pastikan berat kotor sama. Ketiga, pastikan data wadah/kemasan PEB sama. “Sebelum transaksi, periksa terlebih dahulu untuk menghindari kerumitan di kemudian hari,” tulis DJBC. PEB perlu dicantumkan dalam aplikasi e-faktur untuk keperluan administrasi SPT Masa PPN. Melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-11/PJ/2025, terdapat 27 dokumen khusus yang telah diatur untuk disamakan dengan faktur pajak, termasuk PEB. Agar dianggap setara dengan faktur pajak, PEB harus memuat elemen data seperti data eksportir dan/atau data identifikasi pemilik barang, termasuk nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk ekspor Barang Kena Pajak (BKP), PEB harus disertai dengan nota dinas ekspor dan dokumen pendukung kepabeanan, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemberitahuan pabean ekspor.
Dirjen Pajak dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Sepakat Integrasi Data Bersama
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, dan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), Pramudya Iriawan Buntoro, menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas dan Fungsi di Bidang Perpajakan dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta (13 Agustus 2025). Melalui PKS ini, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan integrasi data. DJP menyatakan bahwa PKS ini dilaksanakan sebagai implementasi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-228/PMK.03/2017 (PMK 228/2017). Usulan pembentukan ketentuan teknis PKS digagas BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2019. Komitmen kedua lembaga tersebut semakin diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 yang mengamanatkan integrasi data perpajakan dengan data peserta BPJS Ketenagakerjaan mulai tahun 2022. Kami mengucapkan terima kasih kepada BPJS Ketenagakerjaan atas tindak lanjut instruksi presiden melalui pertukaran data yang sudah berjalan sejak 2022. Data yang kami terima telah melalui proses identifikasi dan sebagian telah diuji,” jelas Bimo dalam keterangan tertulis yang diterima. Sebagai sinergi lebih lanjut, kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan BPJS Ketenagakerjaan dituangkan dalam Perjanjian Nomor PRJ-140/PJ/2025 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER/311/082025. Kolaborasi ini mencakup koordinasi pertukaran data, pelaksanaan kegiatan bersama, edukasi dan sosialisasi, serta langkah-langkah peningkatan kepatuhan di bidang perpajakan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. Bimo berharap kolaborasi ini akan semakin memperkuat perlindungan tenaga kerja di seluruh Indonesia sekaligus mendorong optimalisasi penerimaan negara. “Momentum ini menjadi awal sinergi yang semakin kuat, tidak hanya bagi DJP dan BPJS Ketenagakerjaan, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara,” ujarnya. Harapan seirama turut disampaikan oleh Pramudya. Ia optimitis bahwa PKS ini membuka peluang besar untuk meningkatkan kepatuhan di masing-masing sektor. “Dari sisi perpajakan, kami berharap kerja sama ini dapat membantu meningkatkan tax ratio. Dari sisi ketenagakerjaan, kolaborasi ini akan memperkuat kepatuhan pemberi kerja demi perlindungan jaminan sosial bagi pekerja. Pada akhirnya, sinergi ini akan berkontribusi signifikan pada pembangunan nasional,” ujar Pramudya. Dengan demikian, PKS antara DJP dan BPJS Ketenagakerjaan menegaskan komitmen bersama untuk membangun tata kelola yang transparan, meningkatkan kepatuhan perpajakan, serta memperkuat perlindungan dan kesejahteraan pekerja di Indonesia.
Penambang Kripto Wajib Memungut PPN dan Menerbitkan Faktur
Penambang aset kripto yang menyediakan jasa verifikasi transaksi aset kripto wajib memungut dan menyetorkan PPN dengan tarif tertentu. Melalui PMK 50/2025, pemerintah mengatur tarif PPN baru untuk penyediaan jasa verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang kripto. Peraturan tersebut menyatakan bahwa tarif PPN ditetapkan sebesar 2,2% atau 20% dikalikan 11/12. “Atas penyediaan: jasa kena pajak berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang aset kripto,… dikenakan pajak pertambahan nilai,” bunyi Pasal 2 ayat (2) huruf b PMK 50/2025, dikutip pada Kamis (14 Agustus 2025). Dengan kata lain, objek PPN adalah penyediaan Jasa Kena Pajak (JKP) berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang aset kripto. Sebagai informasi, penambang aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan verifikasi transaksi aset kripto untuk mendapatkan imbalan berupa aset kripto, baik secara individu maupun sebagai bagian dari mining pool. Permenkeu 50/2025 mengatur bahwa penambang aset kripto yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki tiga kewajiban. Pertama, wajib menerbitkan faktur pajak atas pemberian JKP atas jasa verifikasi transaksi aset kripto. Kedua, penambang aset kripto wajib menyetorkan PPN yang telah dipungut menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana lain yang setara dengan SSP. Ketiga, penambang aset kripto wajib melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran PPN dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN sesuai dengan peraturan perpajakan. Apabila penambang aset kripto tidak memenuhi ketiga kewajiban tersebut, akan dikenakan sanksi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Ditjen Pajak Beri Warning Terkait Email Palsu DJP
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah memperingatkan akan maraknya peredaran surat palsu yang meminta verifikasi data. Surat palsu ini seringkali mengaku dari DJP untuk mengelabui wajib pajak agar menyerahkan data pribadi. Tujuannya seringkali untuk membobol rekening dan merugikan wajib pajak. “Baru-baru ini beredar surat palsu mengatasnamakan DJP yang berpotensi mencuri data pribadi dan merugikan keuangan Anda,” dikutip dari postingan akun instagram @ditjenpajakri, Kamis (14/8/2025). Untuk mengantisipasi maraknya peredaran email penipu yang mengatasnamakan DJP, otoritas pajak meminta para wajib pajak untuk cermat melihat domain email yang digunakan. Jika email terkait pajak yang masuk itu berdomain tidak resmi, yaitu tidak bertuliskan @pajak.go.id, maka para wajib pajak harus segera waspada dan mengabaikan email tersebut. “Abaikan email mencurigakan, jangan klik tautan atau unduh lampiran, dan ingat email resmi DJP hanya dari @pajak.go.id,” kata Ditjen Pajak dalam postingannya.
Cara Menambahkan Anggota Keluarga ke Data Unit Keluarga di Coretax DJP
Cara menambahkan anggota keluarga ke dalam DUK di coretax: Pertama, buka coretax di https://coretaxdjp.pajak.go.id/ dan masuk ke akun Coretax DGT Anda. Di halaman utama Coretax, pilih menu Portal Saya dan klik submenu Profil Saya. Selanjutnya, pilih submenu Informasi Umum, lalu tekan tombol Edit. Gulir ke bawah hingga Anda menemukan baris Unit Pajak Keluarga. Selanjutnya, sistem akan menampilkan daftar anggota keluarga yang sudah terdaftar untuk keperluan pajak. Untuk menambahkan anggota baru, tekan tombol Tambah. Sebuah jendela pop-up akan muncul berisi informasi detail anggota keluarga. Di halaman ini, masukkan informasi berikut: 1. Pada kolom NIK, masukkan NIK anggota keluarga terdaftar; 2. Pada kolom Jenis Kelamin, pilih jenis kelamin anggota keluarga terdaftar; 3. Pada kolom Tempat Lahir, masukkan tempat lahir anggota keluarga terdaftar; 4. Pada kolom Nomor Kartu Keluarga, masukkan Nomor Kartu Keluarga anggota keluarga terdaftar; 5. Pada kolom Nama Anggota Keluarga, masukkan nama anggota keluarga terdaftar; 6. Pada kolom Tanggal Lahir, masukkan tanggal lahir anggota keluarga terdaftar; 7. Pada kolom Status Anggota Keluarga, pilih status hubungan keluarga anggota keluarga terdaftar. Terdapat berbagai pilihan, seperti istri, anak, cucu, menantu, pembantu, anggota keluarga lain, dan orang tua; 8. Pada kolom Uraian Pekerjaan, jelaskan pekerjaan anggota keluarga terdaftar; 9. Pada kolom Status Satuan Pajak, pilih status satuan pajak anggota keluarga terdaftar. Misalnya, tanggungan atau bukan tanggungan; 10. Pada kolom Status PTKP, masukkan status PTKP anggota keluarga yang terdaftar. Pastikan Anda telah mengisi kolom bertanda bintang. Setelah semua kolom terisi, klik Simpan. Untuk memastikan anggota keluarga telah berhasil ditambahkan, pilih menu Portal Saya, submenu Profil Saya, dan pilih opsi Data Unit Keluarga. Jika berhasil, informasi tentang anggota keluarga akan muncul di daftar unit keluarga. Harap diperhatikan bahwa data keluarga yang wajib diisi dalam DUK bergantung pada status wajib pajak. Silakan merujuk pada Ketentuan Data Unit Keluarga untuk Keperluan Perpajakan. Sebagai contoh, wajib pajak laki-laki dan perempuan belum menikah yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) wajib memiliki DUK yang mencakup: (i) data wajib pajak sendiri; dan (ii) data anggota keluarga sedarah atau ipar dalam garis keturunan langsung yang menjadi tanggungan penuh, baik pada satu kartu keluarga maupun pada kartu keluarga lainnya. Sementara itu, bagi perempuan yang telah menikah dan memiliki: (i) perjanjian tertulis tentang pemisahan penghasilan dan harta (PH); atau (ii) memilih menjalankan kewajibannya secara terpisah dari suami (MT), DUK-nya mencantumkan data wajib pajaknya sendiri.
Ketiga Pihak Ini Mungkin Tidak Melakukan Pembukuan, tetapi Pencatatan Diperlukan
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, serta Wajib Pajak Badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Umum Perpajakan (UU KUP). Namun, ada pihak-pihak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pembukuan. Sesuai amanat Pasal 28 ayat (12) UU KUP, bentuk dan tata cara pembukuan tersebut diatur dalam Pasal 448–454 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Bentuk dan tata cara pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan Pasal 28 ayat (12) UU KUP,. Berdasarkan Pasal 448 ayat (2) PMK 81/2024, terdapat tiga pihak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan: Pertama, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPPN). Wajib Pajak tersebut adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang: 1. Menjalankan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas; 2. Peredaran bruto dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak; dan 3. Wajib memberitahukan penggunaan NPPN kepada Direktur Jenderal Pajak dalam waktu tiga bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 453 ayat (1) huruf a PMK 81/2024, pencatatan yang diwajibkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan NPPN meliputi tiga hal: Peredaran bruto dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) tidak final; Penghasilan bruto dari bukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenakan PPh tidak final, serta biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto yang tidak dikenakan pajak dan/atau dikenakan PPh final, baik yang diperoleh dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun yang diperoleh dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Jika Wajib Pajak memiliki lebih dari satu jenis usaha, lokasi usaha, dan/atau pekerjaan bebas, pencatatan harus secara jelas mencerminkan peredaran bruto untuk masing-masing: (i) jenis dan/atau lokasi usaha; dan/atau (ii) pekerjaan bebas yang terkait. Kedua, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Merujuk pada Pasal 453 ayat (1) huruf b PMK 81/2024, pencatatan yang wajib dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas meliputi: penghasilan bruto yang dikenakan PPh tidak final dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau penghasilan bruto yang tidak dikenakan pajak dan/atau dikenakan PPh final; Ketiga, Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang: 1. menjalankan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas; dan 2. peredaran bruto dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a secara keseluruhan: (i) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan merupakan Objek Pajak; dan (ii) tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Mengacu pada Pasal 453 ayat (1) huruf c PMK 81/2024, pencatatan yang wajib diselenggarakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu meliputi: penghasilan bruto yang diperoleh dari bukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara […]
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyamakan kewajiban membayar pajak dengan kewajiban umat Islam untuk membayar zakat dan wakaf bagi mereka yang mampu. Menurutnya, keduanya memiliki tujuan yang sama: mengembalikan kekayaan kepada mereka yang membutuhkan. Sri Mulyani menekankan bahwa setiap nikmat dan kekayaan yang diterima mengandung hak bagi orang lain, yang dapat disalurkan melalui zakat, wakaf, dan pajak. “Dalam setiap rezeki Anda ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, ada yang melalui wakaf, ada yang melalui pajak, dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,” ujar Sri Mulyani dalam Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, yang diselenggarakan pada Rabu (13/8/25). Dalam kesempatan itu, ia memaparkan bahwa uang pajak yang disetor masyarakat disalurkan pemerintah kepada berbagai program sosial. Misalnya, Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar 10 juta keluarga tidak mampu, tambahan bantuan sembako untuk 18 juta keluarga, hingga subsidi biaya dana bagi UMKM yang memiliki keterbatasan akses permodalan. Menurutnya, pajak juga dimanfaatkan untuk membiayai pelayanan dan pemeriksaan kesehatan gratis, serta membangun fasilitas kesehatan seperti puskesmas, BKKBN, posyandu, dan rumah sakit di berbagai daerah. Sri Mulyani menekankan pentingnya akses kesehatan merata. “Jangan orang yang terkena serangan jantung tapi di daerah terpencil harus dibawa ke Jakarta baru jalan 10 kilo sudah dijemput malaikat maut. Takdir mengenai kematian kita nggak pernah tahu. Tapi ikhtiar untuk kita memperbaiki masyarakat untuk mendapatkan hak kesehatan itu adalah ikhtiar kita,” paparnya. Di bidang pendidikan, pemerintah membangun Sekolah Rakyat untuk memberikan akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat tidak mampu. Bendahara negara itu mencontohkan anak-anak dari keluarga pemulung atau pekerja harian yang berpenghasilan rendah kini bisa tinggal di asrama, mendapatkan pendidikan bermutu, dan bimbingan keagamaan. “Itu adalah semuanya tadi hak dari rezeki yang kamu miliki untuk orang lain,” ungkapnya. Sementara itu, di sektor pertanian dan energi, pajak digunakan untuk memberikan subsidi pupuk kepada petani yang membutuhkan, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), bibit, hingga perluasan lahan. Pemerintah juga memastikan ketahanan energi dan pangan sebagai pilar penting kedaulatan negara. “Di bidang pertanian dan energi, Presiden [Prabowo Subianto] juga menyampaikan mengenai ketahanan energi dan pertanian, pangan. Tidak ada negara yang mampu menjaga kedaulatannya dan memakmurkan rakyatnya apabila tidak mampu memenuhi energi dan pangan,” tandas Sri Mulyani.
Ingat! Kode Tagihan yang Dibuat di Coretax Tidak Dapat Dibatalkan
Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, menyatakan bahwa wajib pajak tidak dapat membatalkan SPT dengan status pembayaran tertunda. Kring Pajak menyampaikan pernyataan ini menanggapi cuitan seorang netizen di media sosial yang mengaku ingin membatalkan kode tagihan PPh terpadu yang belum dibayar karena adanya revisi pada bukti potong. “Kode tagihan yang sudah dibuat tidak dapat dibatalkan dan akan kedaluwarsa dalam 7 hari sejak pembuatan. Jika ingin membuat kode tagihan baru, harap lakukan setelah tanggal kedaluwarsa,” demikian pernyataan Kring Pajak di media sosial pada Rabu (13 Agustus 2025). Kring Pajak menjelaskan bahwa SPT dengan status pembayaran tertunda akan kembali ke status draft jika tagihan SPT belum dibayar dan telah lewat. Wajib pajak kemudian dapat mengirimkan kembali SPT dan membuat kode tagihan baru. Seperti diketahui, pembuatan kode tagihan kini dilakukan melalui Coretax DJP. Coretax adalah sistem administrasi layanan DJP yang memberikan kemudahan bagi pengguna. Pengembangan Coretax merupakan bagian dari Proyek Pemutakhiran Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang tertuang dalam Peraturan Presiden 40/2018. PSIAP juga mendesain ulang proses administrasi perpajakan bisnis melalui pengembangan sistem informasi berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS), disertai dengan penyempurnaan basis data perpajakan. Tujuan utama Coretax adalah memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada. Coretax mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak dan pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak.
