Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan perkembangan terkini terkait kelanjutan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) final bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada 2025. Bimo memastikan meski masa pemanfaatan tarif PPh final 0,5 persen bagi Wajib Pajak Orang Pribadi telah berakhir pada 2024, namun UMKM tetap dapat memanfaatkan tarif tersebut pada 2025. Dalam kesempatan itu, Bimo menyampaikan bahwa saat ini pemerintah tengah memproses perubahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang menjadi dasar pengaturan PPh final UMKM. “Perubahan PP 55 tahun 2022 untuk mengatur jangka waktu PPh final UMKM sedang dalam proses penyusunan,” ujarnya dalam konferensi pers pada Kamis (19/6/25). Kebijakan PPh final dengan tarif 0,5 persen merupakan insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada UMKM untuk mendorong kepatuhan dan memudahkan administrasi perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Masa berlaku insentif ini sebelumnya dibatasi selama tujuh tahun sejak diberlakukan. “UMKM Orang Pribadi memang sudah habis 7 tahun untuk memanfaatkan PPh final yang 0,5 persen tahun 2024. Tetapi masih tetap dapat membayar PPh final 0,5 persen tersebut di tahun 2025,” jelas Bimo. Lebih lanjut, Bimo menambahkan bahwa status terkini dari perubahan PP tersebut masih berada dalam antrean jadwal pembahasan antarkementerian. “Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sesneg,” kata dia. Sebelumnya, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) juga mendorong pemerintah segera menerbitkan aturan terkait perpanjangan fasilitas PPh final 0,5 persen. Ketiadaan aturan hingga saat ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya bagi wajib pajak orang pribadi. Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld mengatakan, situasi ini menimbulkan dilema bagi wajib pajak orang pribadi yang ingin memenuhi kewajiban pembayaran PPh untuk bulan Januari dan Februari 2025. Tanpa adanya kejelasan hukum, keterlambatan pembayaran dapat menimbulkan berbagai risiko perpajakan, termasuk potensi penurunan penerimaan negara. “Kami mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah untuk menerbitkan ketentuan terkait perpanjangan PPh final 0,5 persen. Jika aturan tersebut diterbitkan sejak awal tahun, maka Wajib Pajak bisa langsung memanfaatkannya mulai Januari 2025,” jelas Vaudy dalam keterangan tertulis pada (17/3/25). Ia mengingatkan, rencana perpanjangan fasilitas PPh final hingga akhir 2025 sudah diumumkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pada 16 Desember 2025. Rencana ini merupakan bagian dari Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan. Vaudy menegaskan, perpanjangan tersebut harus mencakup perubahan PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu. Pasal 5 beleid tersebut menyebutkan, fasilitas PPh final sebesar 0,5 persen hanya berlaku selama tujuh tahun. Dalam kesempatan tersebut, Vaudy menekankan bahwa ketiadaan aturan perpanjangan hingga Maret 2025 ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Wajib Pajak. “Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta, yang sebelumnya dibebaskan dari kewajiban PPh berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan PP Nomor 55 Tahun 2022, akan menghadapi kebingungan dalam melaksanakan kewajibannya,” ujarnya. Selain itu, Wajib Pajak juga dihadapkan dengan ketidakjelasan mengenai kewajiban penyampaian penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang harus disampaikan paling lama akhir Maret 2025. “Kebingungan bagi Wajib Pajak orang pribadi dengan jumlah peredaran bruto tertentu itu, apakah di 2025 masih tetap menggunakan fasilitas […]
Insentif Pajak DTP Diharapkan Dapat Mendukung Daya Beli Pekerja Padat Karya
Pemerintah berharap pemberian berbagai insentif pajak dapat mendukung daya beli masyarakat. Insentif yang diberikan tahun ini antara lain Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja di sektor padat karya. Pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 DTP bagi pekerja di sektor padat karya berdasarkan PMK 10/2025. Melalui kebijakan ini, pemerintah mengatur pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember 2025. Pemberi kerja harus memenuhi persyaratan agar pekerjanya diberikan PPh Pasal 21 DTP, yakni melakukan kegiatan usaha di bidang industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit, dan barang dari kulit. Pemberi kerja juga harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang tercantum dalam PMK 10/2025. Sementara itu, pegawai yang diberikan PPh Pasal 21 DTP adalah pegawai tetap dan/atau pegawai tidak tetap, yang memperoleh penghasilan dari pemberi kerja di sektor padat karya. Bagi pegawai tetap, akan diberikan PPh Pasal DTP sepanjang memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: Memiliki NPWP dan/atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dikelola oleh Ditjen Dukcapil, serta telah terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menerima atau memperoleh penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur paling banyak Rp10.000.000.000 pada masa pajak Januari 2025, bagi pegawai tertentu yang mulai bekerja sebelum Januari 2025 atau bulan pertama masa pajak bekerja, bagi pegawai tertentu yang baru mulai bekerja pada tahun 2025. Tidak menerima insentif PPh Pasal 21 DTP berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang diterima oleh pegawai ini berupa gaji dan tunjangan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan; dan/atau imbalan sejenis yang bersifat tetap dan teratur yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja. Selanjutnya, pegawai tidak tetap akan diberikan insentif PPh Pasal 21 DTP sepanjang memenuhi beberapa kriteria: Memiliki NPWP dan/atau NIK yang dikelola oleh Ditjen Dukcapil dan telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP. Menerima upah dengan jumlah rata-rata 1 hari paling banyak Rp500.000,00 dalam hal upah yang diterima atau diperoleh secara harian, mingguan, satuan, atau sekaligus; atau paling banyak Rp10.000.000,00 dalam hal upah yang diterima atau diperoleh secara bulanan. Tidak menerima insentif PPh Pasal 21 DTP lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Peran OSS dalam Pengajuan Insentif Pajak Pada PP 28/2025
Peraturan Pemerintah (PP) 28/2025, Pemerintah menegaskan peran online single submission (OSS) sebagai kanal bagi pelaku usaha untuk mengajukan permohonan insentif pajak. Dalam Pasal 188 ayat (3) PP 28/2025 telah diatur bahwa subsistem fasilitas penanaman modal merupakan salah satu dari 7 subsistem dalam sistem OSS. Subsistem fasilitas penanaman modal tersebut dapat diakses dengan menggunakan hak akses. “Subsistem fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf d dapat diakses dengan menggunakan hak akses,” demikian bunyi Pasal 235 ayat (1) PP 28/2025. Sebagai informasi, ketentuan pengajuan permohonan insentif pajak melalui OSS sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi landasan hukum pemberian masing-masing jenis insentif. Misalnya, ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan tax holiday melalui OSS telah dimuat dalam PMK 130/2020 s.t.d.d PMK 69/2024 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. OSS merupakan sistem elektronik terpadu yang dikelola dan diselenggarakan untuk penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. OSS juga memiliki subsistem layanan informasi, persyaratan dasar, perizinan berusaha, kemitraan, dan pengawasan. OSS wajib digunakan oleh seluruh instansi dan entitas, mulai dari kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, penyelenggara kawasan ekonomi khusus, Badan Pengusahaan Batam, hingga pelaku usaha.
Ajukan Konfirmasi PKP lewat Coretax, Masih Ada Survei Lokasi?
Penelusuran alamat wajib pajak tetap akan dilakukan meski pengajuan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) kini dapat dilakukan melalui Coretax DJP. Sesuai PER-7/PJ/2025 Pasal 56, pengusaha yang baru memulai kewajibannya sebagai PKP akan diuji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektifnya dengan penelitian lapangan di alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha PKP. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi pengukuhan PKP melalui Coretax yang telah disetujui. Berdasarkan PER-7/PJ/2025, PKP merupakan pelaku usaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. Pelaku usaha yang melakukan penyerahan dan/atau ekspor yang dikenai PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Kewajiban ini tidak berlaku bagi pelaku usaha kecil, yakni pelaku usaha dengan omzet tahunan sampai dengan Rp4,8 miliar. Namun, pelaku usaha kecil dapat memilih untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali yang wajib dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengusaha yang semula bermaksud melakukan penyerahan dan/atau ekspor sebagaimana diatur dalam UU PPN dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Selanjutnya, kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK mengenai kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penyempurnaan basis data PKP dengan melakukan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP. Pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan pada alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha PKP.
Penyesuaian Ketentuan Penelitian Validasi SSP PPh PHTB
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyesuaikan ketentuan penelitian bukti pemberian kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) dan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah dan/atau bangunan. Topik ini menjadi salah satu pembahasan media nasional hari ini, Senin (9/6/2025). Penyesuaian ketentuan tersebut dilakukan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 116 ayat (1) PER-08/PJ/2022, penelitian pembuktian bukti kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB termasuk penelitian formil. “Penelitian formal…dilaksanakan oleh kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan,” demikian bunyi Pasal 116 ayat (2) PER-8/PJ/2025. Wajib pajak perlu menyampaikan permohonan penelitian formal untuk setiap PHTB atau PPJB. Permohonan penelitian formal sebagai bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB ini biasa disebut juga dengan pengesahan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh PHTB atau PPJB. Seiring dengan penerapan sistem administrasi coretax, pengajuan pengesahan SSP PPh PHTB atau PPJB dilakukan secara elektronik melalui coretax. Wajib pajak dapat memilih 2 cara pengajuan permohonan penelitian formal SSP PPh PHTB atau PPJB melalui coretax. Pertama, wajib pajak menyampaikannya secara mandiri. Kedua, wajib pajak menyampaikan permohonan penelitian formal melalui notaris dan/atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Perlu diketahui, notaris atau PPAT yang dapat mengajukan permohonan adalah notaris atau PPAT yang terdaftar dalam sistem Kementerian Hukum dan HAM dan/atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Jika wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan penelitian formal secara elektronik, wajib pajak dapat mengajukannya secara offline. Pengajuan permohonan penelitian formal secara offline dapat dilakukan secara langsung ke KPP atau KP2KP atau melalui pos/ekspedisi/kurir. Dalam hal permohonan penelitian formal diajukan secara elektronik melalui notaris/PPAT, wajib pajak harus membuat surat kuasa. Begitu pula permohonan penelitian formal yang diajukan secara langsung melalui surat kuasa harus disertai surat kuasa khusus. Atas permohonan tersebut, Kepala KPP akan menerbitkan surat keterangan penelitian formal sebagai bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB paling lama 3 hari kerja sejak tanggal permohonan penelitian diterima secara lengkap. Surat keterangan penelitian formal diterbitkan sepanjang permohonan wajib pajak sinkron dengan 3 data. Pertama, identitas orang pribadi atau badan dalam bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh dengan data dari sistem administrasi DJP. Kedua, jumlah PPh yang telah dibayarkan orang pribadi atau badan beserta PPh terutang yang disebutkan orang pribadi atau badan. Ketiga, kode rekening pajak, kode jenis penyetoran, dan jumlah PPh yang dibayarkan orang pribadi atau badan, beserta data penerimaan pajak pada modul penerimaan negara. Sebagai informasi, ketentuan penelitian formil bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB sebelumnya telah diatur dalam PER-8/PJ/2022. Namun, dengan berlakunya PER-8/PJ/2025 per 21 Mei 2025, sekaligus mencabut dan menggantikan PER-8/PJ/2022.
Kriteria Pengusaha PPN Risiko Rendah yang Dapat Mengajukan Permohonan Percepatan Restitusi Pajak
Pemerintah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/Pj/2025 tentang Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif Sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah (PER-6/2025). Peraturan yang mulai berlaku pada 21 Mei 2025 ini menambahkan kriteria Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah yang dapat mengajukan pengembalian pendahuluan atau restitusi pajak dipercepat. PER-6/2025 menegaskan bahwa peraturan tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum dalam penetapan PKP berisiko rendah dan kemudahan dalam pelaksanaan restitusi pajak dipercepat. “Bahwa PER-04/PJ/2021 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif Sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah belum menampung kebutuhan penyesuaian….sehingga perlu diganti,” demikian tertulis pada bagian Pertimbangan PER-6/2025. Pasal 3 PER-6/2025 menetapkan kriteria PKP berisiko rendah sebagai berikut: 1. PKP yang perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 2. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMN dan BUMD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. PKP yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama (MITA) Kepabeanan; 4. PKP yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat atau Authorized Economic Operator (AEO); 5. Pabrikan atau produsen selain PKP yang dimaksud pada poin 1 – 4: Dalam kegiatan usahanya menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP); dan Memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi; 6. PKP yang memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) huruf f Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2018. Adapun Wajib Pajak persyaratan tertentu itu adalah: Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) lebih bayar restitusi; Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100 juta; Wajib Pajak badan yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1 miliar; atau PKP menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1 miliar. 7. Pedagang besar farmasi yang memiliki: Sertifikat distribusi farmasi atau izin pedagang besar farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang besar farmasi; dan Sertifikat cara distribusi obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi obat yang baik; 8. Distributor alat kesehatan yang memiliki: Sertifikat distribusi alat kesehatan atau izin penyalur alat kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyalur alat kesehatan; dan Sertifikat cara distribusi alat kesehatan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi alat kesehatan yang baik; atau 9. Perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham lebih dari 50 persen yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan BUMN induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Adapun lepemilikan saham lebih dari 50 persen itu merupakan persentase kepemilikan saham yang tercantum pada […]
Terkait Perpanjangan PPh Final Bagi UMKM, Revisi PP 55/2022 Masih Disusun
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan pemerintah tetap memberikan perpanjangan masa PPh final dengan tarif 0,5% bagi UMKM orang pribadi meski PP 55/2022 belum direvisi. Pemerintah masih menyiapkan revisi PP 55/2022. Kementerian Keuangan juga masih menunggu pembahasan revisi PP tersebut di Kementerian Sekretariat Negara. Status PP saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antar kementerian dari Kementerian Sekretariat Negara. PP 55/2022 pasal 59 mengatur masa pajak penghasilan final bagi UMKM paling lama 7 tahun pajak bagi orang pribadi; 4 tahun pajak bagi koperasi, persekutuan komanditer, firma, BUMDes/BUMDesma, atau perusahaan orang pribadi yang didirikan oleh 1 orang; dan 3 tahun pajak bagi perseroan terbatas. Khusus masa pengenaan pajak penghasilan final tersebut melanjutkan masa berdasarkan PP 23/2018 atau tidak diulang dari awal. Apabila orang pribadi terdaftar setelah PP 23/2018 mulai berlaku pada tahun 2018, berarti pemanfaatan pajak penghasilan final tersebut paling lama sampai dengan tahun pajak 2024. Namun, pada Desember 2024, pemerintah menyatakan akan memperpanjang masa pemanfaatan rezim pajak penghasilan final sebesar 0,5% bagi UMKM orang pribadi melalui revisi PP tersebut. Meski PP 55/2022 belum direvisi, UMKM perorangan tetap bisa memanfaatkan skema PPh final. UMKM perorangan memang sudah kehabisan waktu 7 tahun untuk memanfaatkan PPh final 0,5% pada 2024, tetapi mereka tetap bisa membayar PPh final 0,5% pada 2025. Sebagai informasi, pemerintah telah menyampaikan rencana revisi PP 55/2022 untuk memperpanjang jangka waktu pemanfaatan PPh final 0,5% bagi UMKM perorangan sejak Desember 2024.
Berdasarkan PER-11/2025, PKP Pedagang Eceran Tidak Berdasarkan KLU
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025) menegaskan bahwa PKP pedagang eceran tidak ditetapkan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha (KLU). Pasal 51 ayat (4) PER-11/2025 menyatakan bahwa: “Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ditentukan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, tetapi berdasarkan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2).” Dengan demikian, meskipun wajib pajak memiliki KLU selain pengecer, sepanjang terjadi pengalihan BKP dan/atau JKP kepada pembeli atau penerima yang merupakan konsumen akhir, wajib pajak dapat membuat faktur pajak pedagang eceran. Perlu diketahui, ketentuan ini sebelumnya telah diatur dalam Pasal 25 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 (PER-03/2022). Ciri konsumen akhir menurut Pasal 52 ayat (2) PER-11/2025 adalah pembeli barang dan/atau penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima, dan pembeli barang dan/atau penerima jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha. Pedagang eceran PKP dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli BKP dan/atau penerima JKP, serta nama dan tanda tangan yang berwenang menandatangani faktur pajak. Namun, faktur pajak harus dibuat dengan memuat paling sedikit informasi sebagai berikut: nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP; jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut; dan kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak.
Akankah Pemerintah Memberikan “Pengampunan Pajak” Lagi? IKPI Mengusulkan 6 Rekomendasi Strategis Ini
Wacana penerapan tax amnesty kembali mencuat seiring dengan masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld berharap program tax amnesty bukan sekadar alat untuk mengejar penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi harus menjadi landasan bagi reformasi sistem perpajakan Indonesia yang menyeluruh dan berkelanjutan. Untuk itu, IKPI mengusulkan enam rekomendasi strategis. Hal tersebut disampaikan Vaudy dalam Diskusi Panel IKPI bertajuk Tax Amnesty: Efektifkah dalam Mempercepat dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?, di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, (13/6/25). Dengan demikian, ia berpandangan Indonesia tidak bisa terus menerus menjadikan tax amnesty sebagai solusi tambal sulam. 6 Rekomendasi Strategis IKPI Ia menyebutkan enam rekomendasi utama IKPI agar tax amnesty tidak hanya menjadi obral amnesty, tetapi menjadi alat reformasi sistemik. Pertama, dorong kepatuhan sukarela melalui pemeriksaan yang jelas. Kedua, pembenahan kelembagaan, termasuk mendorong pembentukan Badan Pendapatan Negara (BPN). Ketiga, perkuat infrastruktur kepatuhan dan sistem pelaporan aset. Keempat, jangan sampai tax amnesty terulang dalam waktu dekat untuk menjaga kredibilitas sistem. Kelima, jadikan tax amnesty sebagai fondasi reformasi perpajakan. Keenam, perkuat sanksi dan pemeriksaan pascaprogram. Menurut Vaudy, program amnesti pajak berpotensi menggeser ekonomi bawah tanah ke sektor formal. Hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan rasio pajak dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. “Jika rasio pajak sudah tinggi dan kepatuhan sudah terbangun dengan baik, tentu kita tidak lagi membutuhkan amnesti pajak di masa mendatang. Namun kini, ini bisa menjadi alat transisi menuju sistem perpajakan yang lebih sehat dan strategis,” kata Vaudy. Dengan semangat perbaikan struktural dan integritas sistem, IKPI berharap pemerintah tidak melihat amnesti pajak hanya sebagai solusi jangka pendek, tetapi sebagai momentum untuk membangun arsitektur kepatuhan jangka panjang. Hal senada juga diutarakan oleh Sekretaris Jenderal IKPI Lektor Kepala Edy Gunawan. Ia mengatakan, amnesti pajak yang pernah dilaksanakan di era Presiden Soekarno (1964), Presiden Soeharto (1984), hingga Presiden Joko Widodo (2016), sejatinya memiliki tujuan jangka panjang yang lebih penting dari sekadar angka penerimaan. “Pengampunan pajak bukan sekadar menambah penerimaan. Itu efek jangka pendek. Yang terpenting adalah perbaikan tata kelola data perpajakan,” jelas Edy. Ia juga menyoroti keberhasilan pengampunan pajak 2016 yang mampu mengungkap aset senilai Rp4.884 triliun. Karena itu, program pengampunan pajak membantu negara menyaring dan mendeteksi potensi pajak yang selama ini tersembunyi. “Ada tiga penyebab aset baru terungkap, yakni karena belum dilaporkan, karena pelaporan sebelumnya tidak lengkap, atau karena faktor lainnya. Nah, dengan data yang terkelola, sistem perpajakan menjadi lebih akurat dan adil,” imbuh Edy. Oleh karena itu, ia mengingatkan perlunya momentum yang tepat untuk pelaksanaan pengampunan pajak. Menurut Edy, jika program ini terlalu sering digelar dalam waktu yang singkat, efektivitasnya akan menurun. “Literatur dan pengalaman menunjukkan bahwa jika terlalu dekat dengan program sebelumnya, hasilnya akan minimal. Namun jika diberi jeda 10 hingga 15 tahun, dampaknya akan lebih kuat – baik terhadap pendapatan maupun kepatuhan wajib pajak,” katanya.
Faktur Pajak Gabungan Memberikan Kemudahan Dan Efisiensi Bagi PKP
Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Penerapan Sistem Administrasi Inti. Salah satu aspek penting yang diatur dalam peraturan ini adalah mengenai Faktur Pajak Gabungan. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan efisiensi administratif bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), khususnya dalam transaksi yang berulang dengan pembeli atau penerima jasa yang sama. Apa Itu Faktur Pajak Gabungan? Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PER-11/PJ/2025, Faktur Pajak Gabungan adalah satu Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. Syarat dan Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Gabungan: Dibuat Paling Lambat pada Akhir Bulan Penyerahan: Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Dalam hal terjadi pembayaran sebagian atau seluruhnya sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP diterima pada bulan penyerahan, Faktur Pajak Gabungan tetap harus dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Faktur Pajak dengan Kode Transaksi yang Berbeda: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang harus dilakukan dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) kode transaksi, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Gabungan untuk penyerahan kode transaksi yang sama untuk setiap kode transaksi yang dimaksud. Tidak Berlaku untuk Fasilitas PPN dan/atau PPnBM Tidak Dipungut: Faktur Pajak Gabungan tidak dapat dibuat atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN dan/atau PPnBM tidak dipungut sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan BKP dan/atau JKP ke dan/atau dari daerah atau tempat tertentu. Manfaat Pengaturan Faktur Pajak Gabungan: Dengan adanya Pengaturan Faktur Pajak Gabungan ini diharapkan dapat menyederhanakan administrasi Wajib Pajak, yaitu dengan mengurangi jumlah Faktur Pajak yang harus dibuat oleh PKP, terutama bagi PKP yang memiliki banyak transaksi berulang dengan satu pelanggan. Dengan peraturan ini, pemerintah berupaya menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih bersahabat dan efisien, yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mendorong pertumbuhan ekonomi.