JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) resmi menerbitkan peraturan dirjen pajak (perdirjen) yang memerinci format dan pengisian SPT, bukti potong, hingga faktur pajak pada era coretax administration system. Perdirjen dimaksud adalah PER-11/PJ/2025. Penerbitan PER-11/PJ/2025 merupakan tindak lanjut dari Pasal 465 huruf o, huruf p, huruf q, huruf r, huruf s, huruf t, dan huruf x PMK 81/2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan Pasal 25 ayat (6) UU PPh. “Perlu menetapkan perdirjen pajak tentang ketentuan pelaporan PPh, PPN, PPnBM, dan bea meterai dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan,” bunyi bagian pertimbangan PER-11/PJ/2025, dikutip pada Senin (26/5/2025). Secara terperinci, PER-11/PJ/2025 memuat bentuk, isi, dan tata cara pengisian dan format dari beragam SPT seperti SPT Masa PPh, SPT Masa PPN, SPT Masa Bea Meterai, dan SPT Tahunan PPh. Tak hanya itu, PER-11/PJ/2025 juga memuat tata cara pengisian bukti potong PPh Pasal 21, bukti potong unifikasi, hingga faktur pajak. Selanjutnya, PER-11/PJ/2025 juga memerinci mekanisme penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi bank, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, dan wajib pajak wajib pajak lainnya. PER-11/PJ/2025 juga memerinci keterangan dan dokumen apa saja yang harus dilampirkan dalam SPT serta format dan sarana penyampaiannya. Tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan SPT serta mekanisme pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan juga diatur dalam PER-11/PJ/2025. Kemudian, PER-11/PJ/2025 juga memuat kriteria wajib pajak PPh tertentu yang dikecualikan dari kewajiban melaporkan SPT. Wajib pajak dimaksud antara lain wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib pajak yang penghasilannya di bawah PTKP dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25. Terakhir, PER-11/PJ/2025 juga memerinci ketentuan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu sesuai dengan Pasal 25 ayat (6) UU PPh. Hal-hal tertentu yang membuat dirjen pajak berwenang menghitung kembali PPh Pasal 25 antara lain: 1. Wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian; 2. Wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; 3. SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; 4. Wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh; 5. Wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan 6. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak. Untuk diperhatikan, PER-11/PJ/2025 ditetapkan pada 22 Mei 2025. PER-11/PJ/2025 dinyatakan langsung berlaku sejak tanggal ditetapkan. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811018/peraturan-baru-djp-tetapkan-format-spt-bupot-dan-faktur-era-coretax
PPN Digital Dipungut Platform Asing, Begini Skema dan Syaratnya
PERKEMBANGAN teknologi turut membawa tantangan pemajakan atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Salah satu tantangannya ketika BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar wilayah Indonesia digunakan di Indonesia melalui platform digital. Dalam situasi tersebut, penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi kebijakan strategis yang ditempuh pemerintah. Tujuannya untuk memperluas basis pemajakan dan meningkatkan efektivitas pemungutan pajak. Berdasarkan pada ketentuan dalam UU PPN dan peraturan pelaksananya, pemerintah dapat menunjuk entitas selain pengusaha kena pajak (PKP) sebagai pemungut PPN. Dalam konteks transaksi digital lintas negara, salah satu kategori yang ditunjuk adalah pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Sesuai dengan Pasal 332 PMK 81/2024, dirjen pajak dapat menunjuk pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, dan penyelenggara PMSE dalam negeri sebagai pemungut PPN atas konsumsi BKP tidak berwujud dan/atau JKP oleh konsumen Indonesia. Melalui skema tersebut, PPN dipungut langsung oleh pelaku usaha PMSE saat transaksi berlangsung. Dengan demikian, otoritas tidak perlu lagi menunggu konsumen melaporkan sendiri pemanfaatan jasa atau barang digital dari luar negeri. Adapun pelaku usaha PMSE dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN apabila memenuhi kriteria berikut: Nilai transaksi dengan konsumen Indonesia melebihi Rp600 juta dalam 12 bulan atau Rp50 juta dalam 1 bulan; dan/atau Jumlah traffic atau pengakses melebihi 12.000 dalam 12 bulan atau 1.000 dalam 1 bulan. Penunjukan berlaku mulai awal bulan berikutnya setelah diterbitkannya keputusan resmi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bagi pelaku PMSE yang belum ditunjuk tetapi bersedia menjadi pemungut PPN, tersedia opsi pengajuan secara sukarela melalui pemberitahuan kepada DJP. Secara umum, pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas konsumsi digital oleh konsumen di Indonesia. Mereka juga harus menerbitkan bukti pungut dan menyampaikan SPT Masa PPN sesuai ketentuan yang berlaku. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811010/ppn-digital-dipungut-platform-asing-begini-skema-dan-syaratnya
Sederet Kriteria Pemungut PPh Pasal 22 dalam PMK 81/2024
PMK 81/2024 menyesuaikan pihak-pihak yang ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UU PPh, menteri keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah, badan-badan tertentu, dan wajib pajak badan tertentu untuk memungut pajak atas penyerahan atau transaksi tertentu. “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,” bunyi Pasal 22 ayat (2) UU PPh, dikutip pada Minggu (25/5/2025). Sebelumnya, ketentuan pihak yang ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 diatur dalam PMK 34/2017. Namun, beleid tersebut telah dicabut dan digantikan dengan PMK 81/2024 per 1 Januari 2025. Kini, ketentuan pihak yang ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 diatur dalam Pasal 217 PMK 81/2024. Berdasarkan pasal tersebut, ada 8 golongan pihak yang ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22. Pertama, bank devisa dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Bank devisa dan DJBC menjadi pemungut PPh Pasal 22 atas impor barang dan ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir. Namun, bank devisa dan DJBC tidak memungut PPh Pasal 22 atas impor dan ekspor barang komoditas tambang, mineral logam, dan mineral bukan logam, oleh wajib pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya. Kedua, instansi pemerintah. Instansi pemerintah menjadi pemungut PPh Pasal 22 terkait dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan atau mekanisme pembayaran langsung. Ketiga, badan usaha tertentu. Badan usaha tertentu menjadi pemungut PPh Pasal 22 berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya. Adapun badan usaha tertentu tersebut meliputi: Badan Usaha Milik Negara (BUMN); badan usaha dan BUMN yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada BUMN lainnya; dan badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Keempat, badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi. Badan-badan usaha tersebut menjadi pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri. Kelima, agen tunggal pemegang merek (ATPM), agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor. Pihak-pihak ini menjadi pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri. Keenam, produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas. Pihak-pihak ini menjadi pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas. Ketujuh, badan usaha industri atau eksportir. Pihak-pihak ini menjadi […]
Ketentuan Masa Manfaat Harta Berwujud yang Tak Termuat di PMK 72/2023
JAKARTA, DDTCNews – Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengelompokkan masa manfaat harta berwujud bukan bangunan menjadi 4 kelompok untuk keperluan penyusutan, yaitu kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3, dan kelompok 4. Perincian jenis harta berwujud bukan bangunan pada setiap kelompok tersebut pun telah dijabarkan dalam lampiran PMK 72/2023. Namun, apabila suatu jenis harta berwujud bukan bangunan tidak tercantum dalam Lampiran PMK 72/2023 maka masa manfaat harta tersebut mengacu pada kelompok 3. “Jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam lampiran…, untuk keperluan penyusutan wajib pajak menggunakan masa manfaat dalam kelompok 3,” bunyi Pasal 4 ayat (1) PMK 72/2023, dikutip pada Kamis (22/5/2025). Hal ini berarti masa manfaat penyusutan harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran PMK 72/2023 adalah 16 tahun. Kendati demikian, PMK 72/2023 memberikan alternatif apabila wajib pajak mempertimbangkan untuk tidak menggunakan masa manfaat dalam kelompok 3. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) PMK 72/2023, apabila wajib pajak tidak menggunakan masa manfaat dalam kelompok 3 maka harus mengajukan permohonan kepada direktur jenderal pajak. Permohonan itu diajukan untuk memperoleh penetapan masa manfaat dalam kelompok 1, kelompok 2, atau kelompok 4. Berdasarkan permohonan tersebut, dirjen pajak akan menetapkan masa manfaat yang telah diajukan wajib pajak. Penetapan itu dilakukan dengan mempertimbangkan kelompok masa manfaat yang terdekat dari masa manfaat yang sebenarnya atas harta berwujud bukan bangunan. Permohonan penetapan kelompok masa manfaat penyusutan tersebut bisa diajukan oleh wajib pajak berstatus pusat. Mengacu Pasal 19 ayat (2) PMK 72/2023, wajib pajak berstatus pusat dapat mengajukan permohonan tersebut secara langsung, melalui pos/ekspedisi, atau secara elektronik. Berdasarkan Pasal 19 ayat (3) PMK 72/2023, pengajuan permohonan secara elektronik bisa dilakukan sepanjang sistem tersedia. Apabila ditelusuri, coretax system telah mengakomodasi pengajuan permohonan penetapan kelompok masa manfaat atas harta berwujud bukan berwujud. Adapun permohonan itu bisa diajukan melalui modul Layanan Wajib pajak, menu Layanan Administrasi, dan submenu Buat Permohonan Layanan Administrasi, dengan kategori sublayanan AS.11-01 LA.11-01 Penetapan Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan. Perlu diingat, Pasal 20 ayat (1) PMK 72/2023 telah mengatur 3 ketentuan yang perlu dipenuhi oleh wajib pajak yang ingin mengajukan permohonan tersebut. Pertama, telah menyampaikan SPT Tahunan PPh badan untuk 2 tahun pajak terakhir dan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir. Kedua, tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak tetapi atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Ketiga, tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya tindak pidana di bidang perpajakan, yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) PMK 72/2023, wajib pajak harus mengajukan permohonan penetapan masa manfaat harta berwujud bukan bangunan tersebut maksimal 1 bulan setelah akhir tahun pajak diperolehnya harta berwujud. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1810919/ketentuan-masa-manfaat-harta-berwujud-yang-tak-termuat-di-pmk-722023
Bisakah Pajak Masukan Dikreditkan Sebelum WP Dikukuhkan sebagai PKP?
Contact center Ditjen Pajak (DJP), Kring Pajak menjelaskan bahwa pajak masukan sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam PMK 81/2024. Sesuai dengan Pasal 378 ayat (1) PMK 81/2024, pajak masukan sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan oleh PKP. Ketentuan ini berlaku untuk masa pajak sebelum tanggal pengukuhan pengusaha sebagai PKP sebagaimana tercantum dalam surat pengukuhan PKP. “Pajak masukan tersebut diihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan sebesar 80% dari pajak keluaran yang seharusnya dipungut,” kata Kring Pajak di media sosial, Jumat (23/5/2025). Merujuk pada pasal 378 ayat (3), pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran yang seharusnya dipungut PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP terhitung sejak pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan perpajakan hingga sebelum dikukuhkan sebagai PKP. Pedoman pengkreditan pajak masukan diberlakukan untuk masa pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang dilakukan melalui: (a) penyampaian SPT Masa PPN; dan/atau (b) penetapan kewajiban PPN melalui pemeriksaan. SPT Masa PPN yang dimaksud yaitu SPT Masa PPN bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan. SPT Masa PPN tersebut disampaikan oleh PKP sejak pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP pada: 1. Masa pajak terakhir dalam tahun buku sebelum tahun buku saat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang meliputi pajak keluaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP untuk periode tahun buku yang bersangkutan; dan/atau 2. Masa pajak terakhir sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP dalam tahun buku saat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang meliputi pajak keluaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP untuk periode tahun buku yang bersangkutan. Tambahan informasi, dalam menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan tersebut, PKP tidak dapat menggunakan: 1. nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 8A UU PPN; dan 2. besaran tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9A ayat (1) UU PPN, untuk menghitung pajak keluaran yang seharusnya dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebagaimana dimaksud pasal 378 ayat (3).
Apakah Rugi Selisih Kurs Boleh Dibiayakan dalam SPT Tahunan PPh Badan?
Dengan meningkatnya transaksi lintas batas, perusahaan kini tidak hanya bertransaksi dalam mata uang rupiah. Banyak perusahaan bertransaksi dalam mata uang asing, seperti dolar Amerika, Euro, Poundsterling, dan lain-lain. Dengan bertransaksi dengan mata uang asing, tentunya dapat memperluas jangkauan pasar suatu perusahaan. Namun, di sisi lain, nilai tukar mata uang yang selalu berubah juga berdampak bagi perusahaan. Salah satu dampak yang mungkin terjadi adalah perusahaan mengalami rugi akibat selisih nilai kurs. Selisih kurs menurut akuntansi adalah selisih yang dihasilkan dari penjabaran sejumlah tertentu satu mata uang ke dalam mata uang lain pada kurs yang berbeda. Pada dasarnya, rugi akibat selisih nilai kurs dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf e UU Pajak Penghasilan (UU PPh). “Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: e. kerugian selisih kurs mata uang asing.” Dalam memori penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh dijelaskan bahwa: “Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.” Sesuai ketentuan di atas, Wajib Pajak perlu merujuk pada ketentuan akuntansi. Saat ini, pengaruh perubahan kurs valuta asing diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 221. Paragraf 29 PSAK 221 berbunyi: “Jika pos moneter timbul dari transaksi valuta asing dan terdapat perubahan dalam kurs antara tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian, maka mengakibatkan timbulnya selisih kurs. Jika transaksi diselesaikan dalam periode akuntansi yang sama dengan terjadinya transaksi, maka seluruh selisih kurs diakui dalam periode tersebut. Akan tetapi, ketika transaksi diselesaikan pada periode akuntansi berikutnya, maka selisih kurs yang diakui dalam setiap periode sampai pad tanggal penyelesaian ditentukan dengan perubahan kurs selama masing-masing periode.” Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa kerugian akibat selisih kurs yang telah diselesaikan dalam periode yang sama dengan transaksi (terealisasi) dapat diakui sebagai biaya. Ketika belum diselesaikan dalam periode yang sama (belum terealisasi), kerugian selisih kurs tetap dapat diakui di setiap periode sampai dengan tanggal penyelesaian. Dengan demikian, kerugian selisih kurs dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto, baik yang telah terealisasi maupun belum terealisasi, dan dilakukan secara konsisten. Meskipun begitu, terdapat perlakuan yang berbeda atas rugi selisih kurs dalam kondisi tertentu. Pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 disebutkan bahwa: “Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang: a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau b. tidak termasuk objek pajak; tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.” Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa apabila kerugian selisih kurs berkaitan dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final, atau bukan merupakan objek pajak, maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sumber: https://ortax.org/apakah-rugi-selisih-kurs-boleh-dibiayakan-dalam-spt-tahunan-pph-badan
Mau Hapus NPWP? WP Badan Tak Boleh Tersangkut 13 Kegiatan Ini
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak badan yang hendak melakukan penghapusan nomor pokok wajib pajak (NPWP) harus memenuhi sejumlah ketentuan yang berlaku. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024 mengatur perusahaan tidak boleh sedang dalam proses melaksanakan 13 jenis kegiatan yang melibatkan penyelesaian upaya administrasi dan hukum, ketika mengajukan penghapusan NPWP badan. “Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif…penghapusan NPWP dilakukan sepanjang wajib pajak memenuhi ketentuan…tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum,” bunyi Pasal 49 huruf e PMK 81/2024. Terdapat 13 kegiatan proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum yang dimaksud dalam PMK 81/2024. Pertama, pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdd UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kedua, penghapusan NPWP dilakukan asalkan wajib pajak tidak dalam proses pengajuan keberatan. Ketiga, pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB). Keempat, pengurangan atau penghapusan sanksi administratif. Kelima, pengurangan denda administratif PBB. Keenam, pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. Ketujuh, pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan PBB yang tidak benar. Kedelapan, pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar. Kesembilan, pembatalan Surat Tagihan PBB yang tidak benar. Kesepuluh, pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan. Kesebelas, wajib pajak harus memenuhi syarat tidak sedang melakukan upaya gugatan. Keduabelas, melakukan banding. Ketigabelas, melakukan peninjauan kembali. Sebagai informasi, penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari administrasi DJP. “Permohonan penghapusan NPWP … dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan …, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan,” bunyi Pasal 47 ayat (1) PMK 81/2024. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1810934/mau-hapus-npwp-wp-badan-tak-boleh-tersangkut-13-kegiatan-ini
Ketentuan Masa Manfaat Harta Berwujud yang Tak Termuat di PMK 72/2023
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengelompokkan masa manfaat harta berwujud bukan bangunan menjadi 4 kelompok untuk keperluan penyusutan, yaitu kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3, dan kelompok 4. Perincian jenis harta berwujud bukan bangunan pada setiap kelompok tersebut pun telah dijabarkan dalam lampiran PMK 72/2023. Namun, apabila suatu jenis harta berwujud bukan bangunan tidak tercantum dalam Lampiran PMK 72/2023 maka masa manfaat harta tersebut mengacu pada kelompok 3. “Jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam lampiran…, untuk keperluan penyusutan wajib pajak menggunakan masa manfaat dalam kelompok 3,” bunyi Pasal 4 ayat (1) PMK 72/2023, dikutip pada Kamis (22/5/2025). Kendati demikian, PMK 72/2023 memberikan alternatif apabila wajib pajak mempertimbangkan untuk tidak menggunakan masa manfaat dalam kelompok 3. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) PMK 72/2023, apabila wajib pajak tidak menggunakan masa manfaat dalam kelompok 3 maka harus mengajukan permohonan kepada direktur jenderal pajak. Permohonan itu diajukan untuk memperoleh penetapan masa manfaat dalam kelompok 1, kelompok 2, atau kelompok 4. Berdasarkan permohonan tersebut, dirjen pajak akan menetapkan masa manfaat yang telah diajukan wajib pajak. Penetapan itu dilakukan dengan mempertimbangkan kelompok masa manfaat yang terdekat dari masa manfaat yang sebenarnya atas harta berwujud bukan bangunan. Permohonan penetapan kelompok masa manfaat penyusutan tersebut bisa diajukan oleh wajib pajak berstatus pusat. Mengacu Pasal 19 ayat (2) PMK 72/2023, wajib pajak berstatus pusat dapat mengajukan permohonan tersebut secara langsung, melalui pos/ekspedisi, atau secara elektronik. Berdasarkan Pasal 19 ayat (3) PMK 72/2023, pengajuan permohonan secara elektronik bisa dilakukan sepanjang sistem tersedia. Apabila ditelusuri, coretax system telah mengakomodasi pengajuan permohonan penetapan kelompok masa manfaat atas harta berwujud bukan berwujud. Adapun permohonan itu bisa diajukan melalui modul Layanan Wajib pajak, menu Layanan Administrasi, dan submenu Buat Permohonan Layanan Administrasi, dengan kategori sublayanan AS.11-01 LA.11-01 Penetapan Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan. Perlu diingat, Pasal 20 ayat (1) PMK 72/2023 telah mengatur 3 ketentuan yang perlu dipenuhi oleh wajib pajak yang ingin mengajukan permohonan tersebut. Pertama, telah menyampaikan SPT Tahunan PPh badan untuk 2 tahun pajak terakhir dan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir. Kedua, tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak tetapi atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Ketiga, tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau tindak= pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya tindak pidana di bidang perpajakan, yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) PMK 72/2023, wajib pajak harus mengajukan permohonan penetapan masa manfaat harta berwujud bukan bangunan tersebut maksimal 1 bulan setelah akhir tahun pajak diperolehnya harta berwujud.
Pasang Iklan di Reklame Kena Pajak, Simak Ketentuannya!
Dalam konteks pemerintahan daerah, reklame tidak hanya memiliki fungsi komersial, tetapi juga menjadi sumber potensi pendapatan daerah melalui mekanisme perpajakan. Secara spesifik, penyelenggaraan reklame di ruang publik tidak hanya berdampak terhadap tata ruang kota tetapi juga estetika lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola keberadaan reklame sebagai objek penerimaan daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), pemerintah telah mengatur dan menyesuaikan ketentuan pajak atas reklame. Pajak Reklame menjadi salah satu jenis pajak daerah yang pemungutannya diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Objek Pajak Reklame Merujuk pada Pasal 1 angka 50 UU HKPD, Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu (Pasal 1 angka 51 UU HKPD). Terdapat 9 jenis reklame yang dikenakan pajak, yakni reklame kain, reklame melekat/stiker, reklame papan/billboard/ videotron/megatron, reklame selebaran, reklame berjalan yang termasuk pada kendaraan, reklame udara, reklame apung, reklame film/slide, dan reklame peragaan. Adapun dalam aturan sebelumnya terdapat 10 jenis reklame yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Namun, sejak diberlakukannya UU HKPD, jenis reklame suara tidak lagi termasuk dalam objek Pajak Reklame. Namun demikian, tidak semua penyelenggaraan reklame dikenakan pajak. Merujuk pada Pasal 60 ayat (3) UU HKPD , terdapat beberapa jenis reklame yang dikecualikan dari objek pajak, yakni: penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya; label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya; nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan reklame diatur dalam peraturan kepala daerah dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut; reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah; reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan reklame lainnya yang diatur dengan peraturan daerah. Sebagai informasi, pengecualian objek Pajak Reklame khususnya untuk kegiatan politik, sosial, dan keagamaan merupakan penambahan substansi objek dari ketentuan UU PDRD. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Reklame Tarif Pajak Reklame ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota dengan tarif maksimal 25%. Lebih lanjut, besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Reklame dengan dasar pengenaan Pajak Reklame. Merujuk pada Pasal 62 ayat (1) UU HKPD, dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa reklame. Jika diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame ditetapkan berdasarkan nilai kontrak. Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame harus dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame. Contoh Perhitungan Pajak Reklame PT A sedang melakukan promosi untuk usahanya di kota Jakarta menggunakan billboard. Billboard terletak di Jalan Protokol A dengan nilai sewa reklame Rp80.000/m2/hari. Ukuran billboard yang digunakan yaitu 8 m2. Lama penyelenggaraan reklame yakni 200 hari. Tarif Pajak Reklame […]
Apa Yang Harus Dilakukan Ketika WP Sudah Meninggal Tetap Dapat Imbauan Lapor SPT ?
Secara administratif, pelaksanaan kewajiban perpajakan seseorang mengacu kepada aktif tidaknya NPWP yang dimiliki. Sepanjang NPWP masih aktif maka kewajiban perpajakan tetap perlu dijalankan, termasuk pelaporan SPT Tahunan. Status NPWP aktif itu pulalah yang kemudian digunakan oleh kantor pajak dalam melakukan pengawasan, termasuk mengirimkan surat imbauan bagi wajib pajak. Dalam beberapa kejadian, bahkan kantor pajak masih mengirimkan surat imbauan pelaporan SPT Tahunan kepada wajib pajak yang ternyata sudah meninggal dunia. Alasannya, status NPWP wajib pajak yang bersangkutan masih aktif. Lantas apa yang harus dilakukan? Contact center Ditjen Pajak (DJP) mengklarifikasi bahwa memang sepanjang NPWP yang bersangkutan masih aktif maka bisa saja memperoleh surat imbauan untuk melaporkan SPT Tahunan. Dalam kondisi tersebut, kewajiban perpajakan yang meninggal dunia tetap dilaksanakan selama warisan belum terbagi, dengan diwakilkan oleh ahli waris. Nah, setelah kewajiban perpajakan dipenuhi, bagi wajib pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan dapat diajukan penghapusan NPWP. “Jika memang tidak ada warisan yang belum terbagi, silakan mengajukan permohonan penghapusan NPWP,” tulis Kring Pajak. Penghapusan NPWP ini bisa diajukan dengan mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak PER04/PJ/2020. Pada prinsipnya, NPWP milik wajib pajak orang pribadi (WPOP) dapat dihapus apabila wajib pajak sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat berbagai alasan yang dapat menyebabkan WPOP tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif. Salah satu alasannya ialah WPOP diketahui telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan. Namun, ahli waris bisa sedikit bernapas lega. Wajib pajak meninggal dunia yang terlambat lapor SPT Tahunan tidak akan dikenakan sanksi denda administrasi. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda tidak dilakukan terhadap … wajib pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia.
