Pengaturan Ulang Ketentuan Nomor Identitas Pemungut PPN PMSE Luar Negeri

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mereorganisasi ketentuan mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi pelaku usaha perdagangan elektronik (PMSE) yang ditunjuk sebagai pihak ketiga. Reorganisasi ini diimplementasikan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024 dan diperjelas lebih lanjut melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ/2025. Berdasarkan peraturan ini, DJP akan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak ketiga. “Pihak ketiga…diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak berupa NPWP sebagai alat administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal pribadi atau tanda pengenal bagi pihak lain…” bunyi Pasal 334 ayat (6) PMK 81/2024. Mengacu pada PER-12/PJ/2025, DJP membedakan ketentuan NPWP bagi pelaku usaha PMSE dalam negeri dan luar negeri. Pelaku usaha PMSE dalam negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang terdaftar dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sementara itu, pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui penerbitan surat tanda registrasi dan kartu nomor pokok wajib pajak. Surat tanda registrasi disusun menggunakan contoh format dalam Lampiran E PER-12/PJ/2025. Sementara itu, kartu nomor pokok wajib pajak disusun menggunakan contoh format dalam Lampiran E PER-12/PJ/2025. Penggunaan NPWP bagi pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain sesuai dengan ketentuan PER-7/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 9 PER-7/PJ/2025, NPWP diterbitkan antara lain kepada Wajib Pajak Luar Negeri (SPLN) yang ditunjuk sebagai pihak lain. Pihak lain dalam konteks ini adalah pihak yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Wanita Menikah Menjadi Kepala Rumah Tangga: Bagaimana dengan NPWP dan Data Unit Keluarga (DUK)?

Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-7/PJ/2025 memuat ketentuan khusus mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Data Unit Keluarga (DUK) bagi perempuan menikah yang berstatus kepala keluarga berdasarkan peraturan kependudukan. Apabila perempuan menikah berstatus kepala keluarga berdasarkan peraturan kependudukan, ia wajib mendaftar untuk memperoleh NPWP. Kewajiban ini berlaku apabila perempuan menikah tersebut, sebagai kepala keluarga, memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. “Ketentuan berikut berlaku bagi perempuan menikah berstatus kepala keluarga, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kependudukan: wajib mendaftar untuk memperoleh NPWP apabila memenuhi persyaratan subjektif dan objektif,” bunyi Pasal 4 ayat (4) huruf a PER-7/PJ/2025, dikutip Minggu (13 Juli 2025). Tidak hanya itu, penghasilan perempuan kepala keluarga yang telah menikah juga dilarang digabungkan dengan penghasilan suaminya. Bagi perempuan kepala keluarga yang telah menikah, data satuan keluarganya meliputi wajib pajak yang bersangkutan dan anak di bawah umur, termasuk anak tiri/angkat yang tercantum dalam Kartu Keluarga (KK) Wajib Pajak atau KK lainnya. Data satuan keluarga bagi perempuan kepala keluarga yang telah menikah juga dapat meliputi anggota keluarga saudara kandung/pasangan dalam garis keturunan langsung yang menjadi tanggungan penuh yang tercantum dalam KK Wajib Pajak atau KK lainnya. Lalu, apa yang menjadikan perempuan yang sudah menikah sebagai kepala keluarga, berdasarkan peraturan kependudukan? Perempuan yang sudah menikah dapat menjadi kepala keluarga jika ia merupakan istri kedua, sementara suaminya sudah menjadi kepala keluarga melalui istri pertamanya. Perempuan yang sudah menikah juga dapat menjadi kepala keluarga jika suaminya tidak ada dan tidak dapat ditemukan, sehingga menghalanginya untuk menandatangani kartu keluarga. Dalam hal ini, perempuan yang sudah menikah dapat menandatangani kartu keluarga dan menjadi kepala keluarga. Sebagai informasi, secara umum, perempuan yang sudah menikah tidak dikenakan pajak terpisah dari suaminya. Hak dan kewajiban perpajakan perempuan yang sudah menikah digabungkan dengan hak dan kewajiban perpajakan suaminya sebagai kepala keluarga.

Berikut Daftar Olahraga yang Kena Pajak di Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), telah resmi menetapkan jenis-jenis olahraga yang dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas Jasa kesenian dan Hiburan. Kebijakan ini mencakup berbagai fasilitas olahraga komersial, termasuk yang sedang tren saat ini seperti padel, yoga, dan sepak mini soccer. Penetapan ini bukanlah hal baru. Pajak hiburan, termasuk kompetisi olahraga, telah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, klasifikasi tersebut diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam peraturan baru tersebut, objek pajak disesuaikan dengan asas kewajaran dan diperjelas dalam kategori PBJT. Melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 dan dirinci dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, DKI Jakarta resmi menetapkan kegiatan olahraga kena pajak, termasuk penyewaan tempat dan peralatan olahraga yang digunakan oleh masyarakat dengan membayar, seperti pusat kebugaran, lapangan futsal, dan jetski. PBJT untuk jasa hiburan olahraga dikenakan tarif 10 persen, lebih rendah dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) saat ini sebesar 11 persen. Tarif ini tidak termasuk hiburan mewah, yang dapat dikenakan pajak hingga 75 persen. Salah satu hal yang menarik perhatian publik adalah dimasukkannya olahraga padel sebagai olahraga kena pajak. Olahraga ini sedang naik daun, dan tempat penyewaannya seringkali penuh meskipun tarifnya relatif tinggi. Pemerintah menegaskan bahwa pengenaan pajak padel adalah demi keadilan, mengingat berbagai olahraga lain telah dikenakan pajak serupa. Berdasarkan data Bapenda DKI Jakarta per Juli 2025, terdapat tujuh lokasi lapangan padel yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan sejak 2024. Berikut adalah daftar fasilitas olahraga yang termasuk objek PBJT di Jakarta: Tempat kebugaran (fitness center, yoga, pilates, zumba) Lapangan futsal Lapangan sepak bola Lapangan mini soccer Lapangan tenis Lapangan basket Lapangan bulutangkis Lapangan voli Lapangan tenis meja Lapangan squash Lapangan panahan Lapangan bisbol Lapangan softbol Lapangan tembak Tempat biliar Tempat panjat tebing Sasana tinju Lapangan atletik Arena jetski Lapangan padel. Pengenaan pajak atas jenis-jenis olahraga permainan ini bertujuan memastikan kontribusi adil dari pelaku usaha dan konsumen hiburan olahraga terhadap pembangunan daerah. Pajak ini dipungut hanya dari layanan yang bersifat komersial, bukan aktivitas komunitas atau sosial yang tidak mengenakan biaya.

Akses Pembuatan Faktur Pajak Dinonaktifkan, Klarifikasi Tidak Dapat Diotorisasi

Wajib Pajak yang akses pembuatan faktur pajaknya dinonaktifkan wajib menyampaikan klarifikasi secara mandiri. Klarifikasi wajib disampaikan langsung oleh Wajib Pajak atau pengurus/penanggung jawab Wajib Pajak tanpa kuasa kepada pihak lain. “Klarifikasi… dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: disampaikan langsung oleh Wajib Pajak atau pengurus/penanggung jawab Wajib Pajak dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak kepada Kantor Wilayah Pelayanan Pajak dan tidak dapat diotorisasi kepada pihak lain,” bunyi Pasal 4 ayat (2) huruf a PER-9/PJ/2025. Wajib Pajak juga wajib menyampaikan klarifikasi tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam lampiran PER-9/PJ/2025. Klarifikasi tertulis tersebut wajib memuat penjelasan mengenai klarifikasi yang dibuat dan dokumen pendukungnya. Klarifikasi tertulis disampaikan kepada Kantor Wilayah Pelayanan Pajak dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dokumen pendukung klarifikasi paling kurang: 1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) bagi WNI, atau paspor bagi WNA; 2. surat keterangan tempat usaha atau pekerjaan mandiri dari lurah atau kepala desa; 3. pas foto berwarna yang menunjukkan lokasi dan kegiatan usaha Wajib Pajak; 4. daftar pemasok tahun terakhir; 5. asli rekening koran dan bukti penerimaan/pencairan pembayaran tahun terakhir; dan 6. dokumen transaksi seperti surat perintah pembelian, surat perintah penyerahan, berita acara serah terima, atau berita acara penyelesaian pekerjaan tahun terakhir. Bagi Wajib Pajak Badan, dokumen pendukung klarifikasi paling kurang: fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) pengurus/penanggung jawab WNI, dan paspor pengurus/penanggung jawab WNA, dengan menunjukkan dokumen aslinya; fotokopi akta pendirian bagi wajib pajak badan dalam negeri atau surat pengangkatan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap (BUT); surat keterangan tempat usaha atau pekerjaan bebas dari lurah atau kepala desa; pas foto berwarna yang menunjukkan lokasi dan kegiatan usaha wajib pajak; daftar pemasok barang tahun terakhir; asli rekening koran dan bukti penerimaan/pencairan pembayaran tahun terakhir; dan dokumen transaksi seperti surat perintah pembelian, surat perintah pengiriman, berita acara serah terima, atau berita acara penyelesaian pekerjaan tahun terakhir. Selama proses klarifikasi, Kantor Wilayah Pajak (Kanwda) dapat meminta informasi dari wajib pajak atau pengurus/penanggung jawab wajib pajak dan melakukan pemeriksaan di tempat usaha wajib pajak. Pemeriksaan di tempat usaha wajib pajak dilakukan untuk memverifikasi keberadaan dan kewajaran tempat usaha wajib pajak serta kesesuaian kegiatan usaha wajib pajak. Kantor Wilayah Pajak (Kanwil) wajib menyetujui atau menolak klarifikasi wajib pajak dalam waktu paling lama 30 hari kalender sejak tanggal diterimanya dokumen klarifikasi. Klarifikasi wajib pajak akan disetujui apabila hasil pemeriksaan menunjukkan wajib pajak tidak memenuhi persyaratan penonaktifan akses faktur pajak. Klarifikasi juga akan disetujui apabila wajib pajak diduga menerbitkan faktur pajak yang tidak sah, yang mengakibatkan penghentian penyidikan sesuai dengan Pasal 44B UU KUP, atau dinyatakan tidak terbukti sebagai wajib pajak yang menerbitkan faktur pajak yang tidak sah berdasarkan hasil pemeriksaan, pemeriksaan buku Surat Pemberitahuan (Bukper), penyidikan, atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terakhir, klarifikasi akan diberikan apabila wajib pajak yang diduga menggunakan faktur pajak yang tidak sah telah: menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) terkait dasar penonaktifan akses pembuatan faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU KUP; mengungkapkan ketidakakuratan […]

Untuk menjadi lokasi yang disetujui PKP, kantor virtual juga harus disetujui PKP

Kantor virtual baru dapat digunakan sebagai tempat pendirian Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika penyedia kantor virtual memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 51 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 7/PJ/2025. Kantor virtual dapat menjadi tempat pendirian PKP jika penyedia jasa kantor virtual tersebut juga telah dikukuhkan sebagai PKP, menyediakan ruangan fisik yang dapat digunakan untuk kegiatan usaha, dan benar-benar menyediakan jasa penunjang kantor yang digunakan sebagai tempat tinggal, lokasi usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh dua pengusaha atau lebih, yang untuk penggunaan kantor tersebut dilakukan pembayaran dalam bentuk apa pun, tidak termasuk sewa gedung dan jasa kantor servis, sesuai Pasal 1 angka 48 PER-7/PJ/2025. Selain persyaratan di atas, penyedia layanan kantor virtual juga harus menyediakan dokumen yang membuktikan adanya kontrak antara penyedia kantor virtual dan pengusaha, serta dokumen perizinan berupa Surat Izin Berusaha (NIB) atau yang setara. Apabila persyaratan di atas terpenuhi, kantor virtual dapat digunakan sebagai tempat pengukuhan PKP oleh: 1. pengusaha badan usaha yang berdomisili di kantor virtual dan hanya memiliki satu tempat usaha di kantor virtual tersebut; atau 2. pengusaha badan usaha yang berdomisili di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB). Apabila pengusaha badan usaha tersebut berdomisili di kantor virtual dan hanya memiliki satu tempat usaha di kantor virtual tersebut, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, pengusaha badan usaha tersebut harus memiliki klasifikasi usaha utama di bidang jasa, yang kegiatan usahanya dapat dilakukan di kantor virtual. Kedua, pengusaha badan wajib memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen antara pengusaha dengan penyedia jasa kantor virtual dengan jangka waktu kontrak paling singkat satu tahun, terhitung sejak tanggal permohonan SPT PPN. Ketiga, pengusaha badan tidak boleh menggunakan kantor virtual semata-mata sebagai tempat korespondensi. Apabila pengusaha badan berdomisili di KPPB, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan kantor virtual sebagai tempat penyampaian SPT PPN. Pertama, pengusaha badan tidak boleh memiliki tempat usaha lain di luar KPBPB selain kantor virtual. Kedua, pengusaha badan wajib memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen antara pengusaha dengan penyedia jasa kantor virtual dengan jangka waktu kontrak paling singkat satu tahun, terhitung sejak tanggal permohonan SPT PPN. Ketiga, pengusaha badan harus terbukti secara nyata berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di KPBPB. PER-7/PJ/2025 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 21 Mei 2025, dan dinyatakan berlaku efektif pada tanggal yang ditentukan.

Prosedur WP Beromzet di Bawah Rp4,8 Miliar Yang Ingin Memilih PPh Umum

Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dikenakan Pajak Penghasilan Final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 (PMK 164/2023). Namun, wajib pajak dapat memilih untuk dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketentuannya adalah sebagai berikut. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PMK 164/2023, wajib pajak yang memilih dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum Pajak Penghasilan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada DJP melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak yang bersangkutan terdaftar sebagai wajib pajak pusat. Dalam Pasal 5 ayat (2) PMK 164/2023, pemberitahuan tersebut dapat disampaikan melalui beberapa metode, antara lain: secara langsung; melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau secara elektronik. Sebagai informasi, pemberitahuan atas wajib pajak yang memilih dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum dapat dibuat berdasarkan format sesuai dalam lampiran huruf A PMK 164/2023. Penting untuk dipahami bahwa pemberitahuan harus disampaikan paling lambat akhir tahun pajak yang bersangkutan. Jika pemberitahuan disampaikan tepat waktu, wajib pajak akan dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum mulai tahun pajak berikutnya. Namun demikian, terdapat ketentuan khusus bagi wajib pajak yang baru terdaftar, yaitu pemberitahuan dapat disampaikan pada saat pendaftaran. Dengan demikian wajib pajak dapat langsung dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum sejak tahun pajak terdaftar.

Batas Waktu Pembayaran Pajak Kini Distandarisasi

Wajib pajak kini tak perlu lagi bingung soal batas waktu pembayaran pajak karena pemerintah telah melakukan standarisasi. Standarisasi batas waktu pembayaran pajak ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan kepada wajib pajak batas waktu pembayaran pajak, yang ditetapkan pada tanggal 15 setiap bulan berikutnya. “Masih bingung kapan bayar pajak? Sekarang tidak lagi! Dengan PMK 81/2024, semua batas waktu pembayaran pajak distandarisasi, yaitu tanggal 15 bulan berikutnya,” tulis DJP di media sosial. DJP menjelaskan bahwa mulai 1 Januari 2025, pemerintah menyederhanakan batas waktu pembayaran pajak melalui PMK 81/2024. DJP meyakini standarisasi batas waktu akan membuat kewajiban perpajakan lebih sederhana, seragam, dan mudah diingat. Sebelum PMK 81/2024, batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak diatur secara berbeda untuk setiap jenis pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga mencatat bahwa perbedaan batas waktu pembayaran ini sering kali menyebabkan wajib pajak bingung atau lupa. Peraturan yang berlaku saat ini telah mempermudah wajib pajak. Misalnya, wajib pajak yang memotong PPh Pasal 21 pada bulan Januari dapat menyetorkan PPh-nya paling lambat tanggal 15 Februari. Misalnya, PPN untuk kegiatan membangun sendiri (KMS) pada bulan Februari wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 Maret. “Sekarang, ingat satu hal: bayar pajak masa paling lambat tanggal 15,” tulis DJP. Berdasarkan Pasal 94 ayat (2) PMK 81/2024, sebagian besar jenis pajak wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pajak Penghasilan yang wajib dibayar dan disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak meliputi Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), Pajak Penghasilan Pasal 15, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23, Pajak Penghasilan Pasal 25, Pajak Penghasilan Pasal 26, dan Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi, yang wajib dibayar setiap masa pajak. Selanjutnya, PPN atas pemanfaatan barang dan jasa tidak berwujud (BKP) dan jasa (JKP) dari luar daerah pabean, PPN atas kegiatan membangun sendiri, bea meterai yang dipungut oleh pemungut bea meterai, pajak penjualan, dan pajak karbon (belum berlaku) juga wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Cara Membuat Pencatatan Sederhana melalui Coretax untuk UMKM

Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, maupun Wajib Pajak Badan di Indonesia, diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, kewajiban pembukuan ini dikecualikan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPPN). Wajib pajak ini termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan penghasilan bruto tahunan kurang dari Rp4,8 miliar. Dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh), wajib pajak ini sering disebut sebagai Wajib Pajak UMKM. Sebaliknya, wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetap diwajibkan untuk melakukan pencatatan. Kewajiban pencatatan ini juga berlaku bagi wajib pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan lepas. Pencatatan ini krusial dan menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Menyusul penerapan Coretax DJP, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyediakan fitur yang dapat digunakan wajib pajak untuk melakukan pencatatan. Dalam artikel ini, DDTCNews akan membahas cara membuat pencatatan sederhana melalui Coretax DJP. Pertama, akses https://coretaxdjp.pajak.go.id/ dan masuk ke akun Coretax DJP Anda. Pencatatan dapat dilakukan melalui menu Surat Pemberitahuan (SPT) dan submenu Pencatatan. Kemudian, untuk menambahkan data transaksi ke dalam catatan, klik tombol Tambah Data. Sistem akan menampilkan halaman “Buat Buku Catatan Sederhana”. Di halaman ini, masukkan nomor transaksi, tanggal transaksi, nama pelanggan (opsional), dan Nomor Induk Berusaha (NITKU) tempat transaksi terjadi.

Jenis SPT Masa PPN Berubah

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengubah jenis Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyusul penerapan Sistem Administrasi Coretax. Perubahan jenis SPT Masa PPN ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan 81/2024 dan diperjelas lebih lanjut melalui Peraturan Direktur Jenderal No. PER-11/PJ/2025 dan Peraturan Direktur Jenderal No. PER-12/PJ/2025. SPT Masa PPN kini terdiri dari empat jenis yaitu SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP); SPT Masa PPN bagi PKP dengan menggunakan pedoman penghitungan kredit pajak masukan; SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN dan pihak lain yang bukan PKP; SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN PMSE. Jenis-jenis SPT Masa PPN ini berbeda dengan peraturan sebelumnya. Sebelumnya, terdapat empat jenis SPT Masa PPN: SPT Masa 1111, SPT Masa 1111 DM, SPT Masa 1107 PUT, dan SPT Masa Unifikasi Instansi Pemerintah (Divisi PPN). Perubahan jenis SPT Masa PPN ini berlaku efektif dengan diberlakukannya Coretax. Artinya, jenis-jenis SPT Masa PPN yang baru akan berlaku efektif mulai masa pajak Januari 2025. PER-11/P/2025 dan PER-12/PJ/2025 juga merinci persyaratan penggunaan dan contoh format untuk setiap jenis SPT Masa PPN Pertama, SPT Masa PPN untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP). SPT Masa PKP digunakan oleh PKP untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan: 1. mengkreditkan pajak masukan dengan pajak keluaran; dan 2. pembayaran atau pelunasan pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak. SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang juga merupakan: (i) pemungut PPN; dan/atau (ii) pihak lain yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam daerah pabean (pihak lain yang ditunjuk sebagai pemungut). PKP yang merupakan pemungut PPN dan/atau pihak lain dapat menggunakan SPT Masa PPN bagi PKP untuk melaporkan pemungutan PPN, PPN, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A Undang-Undang PPN (pemungut PPN) dan/atau Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Perpajakan (pihak lain). Pemungut PPN adalah bendahara pemerintah, badan, atau lembaga pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada bendahara pemerintah, badan, atau lembaga pemerintah. Sementara itu, pihak lain adalah pihak yang terlibat langsung dalam atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memotong, memungut, menyetor, dan/atau melaporkan pajak. Mengacu pada Pasal 72 ayat (1) PER-11/PJ/2025, SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdiri atas: (i) SPT Masa PPN utama; dan (ii) lampiran SPT Masa PPN. Terdapat enam jenis lampiran dalam SPT Masa PKP, yaitu: 1. Formulir A1 – Daftar Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak; 2. Formulir A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak; 3. Formulir B1 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor Barang Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean; 4. Formulir B2 – Daftar Pajak Masukan yang […]

Ketentuan Pelaporan SPT Bagi Wajib Pajak UMKM

Setelah membayar pajak, wajib pajak wajib melaporkan pajaknya melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Umumnya, SPT dibagi menjadi dua jenis berdasarkan periode pelaporan: SPT Masa, yang disampaikan setiap masa pajak, dan SPT Tahunan, yang disampaikan pada akhir tahun pajak. Pajak yang dikenakan bagi pelaku UMKM merupakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan bersifat final. Pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 (PMK 164/2023) turut dijelaskan bahwa PPh Final dapat dilunasi melalui dua mekanisme yakni disetor sendiri oleh wajib pajak dan/atau melalui pemotong PPh. Penyetoran sendiri wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pasal 7 ayat (5) PMK 164/2023 juga menjelaskan bahwa wajib pajak yang melakukan penyetoran dengan mekanisme penyetoran sendiri dianggap telah menyampaikan SPT Masa sesuai dengan tanggal validasi nomor transaksi penerimaan negara (NTPN) yang tercantum pada Surat Setoran Pajak (SSP). Dengan demikian, untuk PPh UMKM yang disetor sendiri, wajib pajak tidak perlu menyampaikan SPT Masa seperti jenis pajak lainnya dan hanya perlu melakukan pembayaran sesuai batas waktu yang ditentukan, yaitu paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sementara itu, wajib pajak dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa apabila dalam bulan tidak terdapat kewajiban penyetoran PPh yang bersifat final, yang dapat disebabkan karena: wajib pajak tidak memiliki penghasilan dari usaha; wajib pajak hanya melakukan transaksi yang dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh; atau peredaran bruto atas penghasilan dari usaha wajib pajak orang pribadi secara kumulatif sejak masa pajak pertama tahun pajak yang bersangkutan belum melebihi Rp500.000.000. Pada akhir tahun, wajib pajak UMKM memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan. SPT Tahunan yang digunakan sama dengan SPT Tahunan sesuai dengan subjek pajak, yakni wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Dalam hal pelaporan SPT Tahunan dilakukan oleh wajib pajak badan, maka pelaporannya menggunakan SPT Form 1771, sedangkan bagi wajib pajak orang pribadi menggunakan SPT Form 1770. Pelaporan SPT Tahunan PPh bagi UMKM wajib dilakukan paling lambat 31 Maret untuk wajib pajak orang pribadi dan 30 April untuk wajib pajak badan.