Beri Sinyal Pajak Minimum Global Dibatalkan, Airlangga: Kita Lihat Situasi Global

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan sinyal bahwa pemerintah batal menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Airlangga mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang mempertimbangkan penerapan tersebut, sejalan dengan melihat kondisi atau situasi global. “(Pajak minimum global batal?) nanti sedang kita bahas mekanisme dan kita liat situasi global,” tutur Airlangga kepada awak media, Rabu (19/2). Sebelumnya, Airlangga mengabarkan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mundur dari kesepakatan pajak minimum global. Trump memutuskan ini ketika menandatangani sejumlah perintah eksekutif di hari pertama kepresidenannya pada 20 Januari 2025 lalu. Ia memberikan sinyal bahwa, mungkin pemerintah Indonesia juga akan mengikuti keputusan Trump tersebut. “Kami juga belajar bagaimana cara untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15%. Dan kami cukup positif karena Trump 2.0 tidak ingin hal ini diterapkan. Jadi saya rasa kami akan mengikuti Trump 2.0,” ujarnya saat acara Indonesia Economic Fest di Jakarta, Selasa (18/2). Saat ini memang aturan teknis atau mekanisme terkait penerapan pajak minimum global belum juga diselesaikan pemerintah. Adapun saat ini pemerintah memang sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang mengatur kebijakan tersebut. Hanya saja, aspek teknis lainnya mengenai pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), tata cara pelaporan dan pembayaran pajak akan diatur dalam ketentuan lanjutan. Seperti yang diketahui, lewat PMK 136/2023,  pemerintah Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 pada 31 Desember 2024 lalu. Kebijakan ini merupakan wujud upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang telah diusahakan bersama setidaknya dalam lima tahun terakhir. Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal € 750 juta membayar pajak minimum.   Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/beri-sinyal-pajak-minimum-global-dibatalkan-airlangga-kita-lihat-situasi-global

Dividen Diinvestasikan Kembali, Apakah Bebas Pajak?

Dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak (WP) badan dalam negeri, dikecualikan dari objek PPh. Namun demikian, dividen tersebut tidak serta merta dikecualikan dari objek PPh, melainkan harus diinvestasikan kembali di Indonesia. Pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 UU PPh s.t.d.d UU HPP menyatakan sebagai berikut. “(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: … f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut: … 2. dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut:….” Ketentuan mengenai pengecualian objek PPh atas dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan No. 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024). Sama halnya dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 UU PPh s.t.d.d UU HPP, Pasal 17 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 pun mengatur bahwa dividen yang berasal dari luar negeri dapat dikecualikan dari objek PPh selama diinvestasikan kembali ke Indonesia. Adapun penjelasan lebih detail mengenai dividen yang berasal dari luar negeri dapat dilihat pada Pasal 17 ayat (3) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 yang berbunyi: “(3) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; atau b. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.” Kemudian, persyaratan dividen yang berasal dari badan usaha luar negeri yang tidak terdaftar dalam bursa efek untuk dapat dikecualikan dari objek PPh dijelaskan lebih rinci dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 yang berbunyi sebagai berikut: “(1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf b, harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak. (2) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 di atas, dividen yang diperoleh dari luar negeri yang berasal dari badan […]

Bagaimana Cara Instansi Pemerintah Setor Pajak di Core Tax?

Sebagai pihak yang sudah ditunjuk Kementerian Keuangan untuk memotong dan memungut pajak di setiap belanja pemerintah yang dilakukan, instansi pemerintah menduduki posisi vital sebagai mitra Direktorat Jenderal Pajak sekaligus garda terdepan dalam mengamankan penerimaan negara lewat pemanfaatan belanja APBN, APBD, dan APBDesa. Lewat ketentuan di Peraturan Menteri Keuangan(PMK) nomor PMK-231/PMK.03/2019 yang diubah terakhir di PMK-59/PMK.03/2022, Kementerian Keuangan mengatur mengenai kewajiban perpajakan yang harus dilakukan wajib pajak instansi pemerintah, termasuk kewajiban memotong dan memungut pajak atas transaksi sehubungan dengan belanja pemerintah. Selama ini instansi pemerintah melakukan kewajiban perpajakannya melalui aplikasi DJP Online. Kewajiban yang dilakukan itu mencakup tiga kegiatan utama, yaitu membuat bukti potong dan/atau bukti pungut pajak atas belanja instansi, lalu membuat billing pajak atas bukti potong/pungut yang sudah dibuat tersebut, serta membuat laporan surat pemberitahuan masa setiap bulan. Seiring dengan implementasi sistem Core Tax sejak 1 Januari 2025 serta terbitnya PMK-81/2024 yang mengatur ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem Core Tax, semua kewajiban instansi pemerintah tersebut untuk masa pajak Januari 2025 sampai seterusnya pindah ke Core Tax. Ada beberapa perbedaan penting terkait cara menunaikan kewajiban instansi pemerintah di sistem Core Tax yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Cara log masuk(login) ke sistem Core Tax dengan konsep impersonating Sebelumnya di DJP Online, wajib pajak instansi pemerintah log masuk dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) instansi pemerintah 15 digit dan kata sandi yang sudah dibuat. Di sistem Core Tax, instansi pemerintah tetap masuk menggunakan NPWP 16 digit dengan tambahan digit ‘0’ di depan NPWP 15 digitnya berikut kata sandinya. Namun sehubungan dengan penerapan konsep impersonating di Core Tax, yaitu penggunaan akun wajib pajak orang pribadi penanggung jawab yang bertindak sebagai wajib pajak instansi pemerintah untuk melakukan kewajiban perpajakan seperti membuat bukti potong, buat billing pajak, dan lapor SPT Masa, maka penanggung jawab orang pribadi instansi pemerintah tersebut contohnya Kuasa Pengguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran, dan lainnya harus membuat akun terlebih dahulu di Core Tax. Instansi Pemerintah selanjutnya melakukan kewajiban perpajakannya menggunakan akun Core Tax orang pribadi penanggung jawab yang sudah didaftarkan. 2. Cara membuat bukti potong/bukti pungut Di DJP Online, instansi pemerintah membuat bukti potong dengan cara menginput NPWP lawan transaksi 15 digit. Sementara di sistem Core Tax instansi pemerintah sudah wajib menginput NPWP 16 digit lawan transaksi sesuai dengan ketentuan di PER-6/2024, dengan rincian jika rekanan wajib pajak orang pribadi menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK), sementara untuk rekanan badan atau instansi pemerintah lainnya menambahkan ‘0’ di depan NPWP 15 digit lawan transaksi. Selain itu di DJP Online menyediakan dua cara memasukkan bukti potong, bisa lewat perekaman manual satu per satu atau bisa lewat skema impor melalui format Excel. Sementara di Coretax skema impor melalui format excel diubah menjadi format XML, yang formatnya dan cara menggunakannya bisa diunduh melalui tautan ini. 3. Cara membuat kode billing pajak Di DJP Online, cara membuat kode billing pajak bisa melalui menu bayar dan dibuat secara mandiri sesuai dengan jenis pajak yang perlu disetor. Selain itu pembuatan billing pajak bisa juga melalui menu bukti potong yang sudah dibuat di ikon ‘bayar’, dan akan di-generate secara otomatis kode […]