Terbitnya PMK Baru Mengenai Pemeriksaan Pajak

Ketentuan pemeriksaan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025 dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan pemeriksaan pajak pasca berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan untuk menyederhanakan regulasi mengenai pemeriksaan pajak. Sebelumnya, ketentuan perihal pemeriksaan pajak tersebar pada 3 PMK. Pertama, PMK 17/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Kedua, PMK 256/2014 tentang tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga, Pasal 105 PMK 18/2021 tentang tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kini, ketentuan dalam ketiga beleid tersebut diatur kembali dan dilebur menjadi 1 dalam PMK 15/2025. Untuk itu, berlakunya PMK 15/2025 mulai 14 Februari 2025 akan sekaligus mencabut ketiga PMK tersebut. Apabila disandingkan, perubahan yang paling mencolok di antaranya terkait dengan ruang lingkup, tipe pemeriksaan, dan kriteria pemeriksaan. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan kini dilakukan dengan 3 tipe pemeriksaan, yaitu: lengkap, terfokus, dan spesifik. Ketiga tipe pemeriksaan tersebut belum diatur dalam beleid terdahulu. Selain itu, kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain juga mengalami perubahan. Sebelumnya, hanya ada 11 kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain. Kini, PMK 15/2025 memperluas kriteria tindakan yang dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain menjadi 25 jenis. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya dilakukan untuk pengujian fasilitas perpajakan yang telah diberikan.

PMK 11 Tahun 2025 Berlaku, Pajak Bangun Rumah Sendiri Tetap 2,2 Persen

KOMPAS.com – Besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kegiatan membangun sendiri, baik itu rumah maupun bangunan lain, tidak mengalami perubahan. Hal itu lantaran berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 Tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai, yang ditetapkan pada 4 Februari 2025. Sebab sebelumnya, terdapat wacana bahwa kegiatan membangun sendiri terkena pajak 2,4 persen seiring dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Kendati begitu, salah satu isi PMK 11 Tahun 2025 mengubah besaran tertentu yang menjadi formula perhitungan pungutan PPN kegiatan membangun sendiri. Sebagaimana tertulis di dalam Pasal 20 bahwa ketentuan ayat (2) Pasal 324 PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan diubah. Sehingga kini Pasal 324 PMK 81 Tahun 2024 berbunyi sebagai berikut: (1) PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (1) dihitung, dipungut, dan disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dengan besaran tertentu. (2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dikali 11/12 dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. (3) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah. Sebelumnya di dalam ayat (2) Pasal 324 PMK 81 Tahun 2024 tertulis bahwa besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dengan tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Sehingga, dengan perubahan formula besaran tertentu sebagaimana tertulis di dalam Pasal 20 PMK 11 Tahun 2025, maka besaran PPN untuk kegiatan membangun sendiri tetap 2,2 persen. Sumber: https://www.kompas.com/properti/read/2025/02/10/193000721/pmk-11-tahun-2025-berlaku-pajak-bangun-rumah-sendiri-tetap-2-2-persen

DJP Kumpulkan Pajak Fintech P2P Lending & Kripto Rp 4,36 Triliun Hingga Januari 2025

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berhasil mengumpulkan pajak dari bisnis fintech peer-to-peer (P2P) lending dan aset kripto sebesar Rp 4,36 triliun hingga Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, melaporkan bahwa total penerimaan pajak dari fintech P2P lending hingga Januari 2025 mencapai Rp 3,17 triliun. Rincian Penerimaan Pajak Fintech P2P Lending: Tahun 2022: Rp 446,39 miliar Tahun 2023: Rp 1,1 triliun Tahun 2024: Rp 1,48 triliun Tahun 2025 (hingga Januari): Rp 140 miliar Pajak fintech tersebut terdiri atas: Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WP DN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar. PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WP LN) sebesar Rp 720,74 miliar. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun. Sebagai informasi, pajak fintech berbasis P2P lending merupakan jenis pajak baru yang mulai berlaku sejak 1 Mei 2022. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyelenggara Teknologi Finansial (fintech). Sama seperti jasa lainnya, transaksi fintech termasuk dalam objek jasa kena pajak yang dikenakan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atas bunga yang diperoleh pemberi pinjaman atau lender. PPh Pasal 23 dikenakan pada wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dengan tarif 15% dari jumlah bruto atas bunga. PPh Pasal 26 dikenakan pada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dengan tarif 20% dari jumlah bruto atas bunga.   Penerimaan Pajak Kripto Sementara itu, pemerintah juga berhasil mengumpulkan pajak dari transaksi aset kripto sebesar Rp 1,19 triliun hingga akhir Januari 2025. Rincian Penerimaan Pajak Kripto: Tahun 2022: Rp 246,45 miliar Tahun 2023: Rp 220,83 miliar Tahun 2024: Rp 620,4 miliar Tahun 2025 (hingga Januari): Rp 107,11 miliar Penerimaan pajak kripto terdiri atas: Rp 560,55 miliar dari PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan aset kripto di exchanger. Rp 634,24 miliar dari PPN Dalam Negeri atas transaksi pembelian aset kripto di exchanger. Sama halnya dengan pajak fintech, pajak kripto mulai berlaku sejak 1 Mei 2022 dan mulai dibayarkan serta dilaporkan pada Juni 2022. Aturan mengenai pajak ini tertuang dalam PMK No. 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. “Pemerintah akan terus menggali potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital lainnya, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto serta pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman,” ujar Dwi dalam keterangan resminya, dikutip Senin (17/2).   Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/djp-kumpulkan-pajak-fintech-p2p-lending-kripto-rp-436-triliun-hingga-januari-2025