Konsultan Desak Pemerintah Terbitkan Peraturan Pengawasan Pajak Karena SP2DK Jadi Tagihan
Pemerintah terus menyelesaikan penyusunan peraturan baru terkait pemantauan kepatuhan wajib pajak. Saat ini, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) sedang dalam proses harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pemantauan Kepatuhan Wajib Pajak.
Ringkasan
- Pemerintah tengah mematangkan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak untuk menyeragamkan tata kerja Account Representative (AR) DJP dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
- Konsultan Pajak Raden Agus Suparman mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan pengawasan kepatuhan karena ketiadaan PMK telah menyebabkan ketidakseragaman interpretasi SP2DK dan praktik AR yang tidak standar, seringkali merugikan wajib pajak.
- Pengamat pajak Fajry Akbar menyoroti pentingnya aturan main yang jelas dalam pengawasan kepatuhan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan menghindari wajib pajak merasa diperiksa terus-menerus meskipun sudah patuh, serta menghentikan praktik ‘berburu di kebun binatang’.
Menanggapi hal ini, Raden Agus Suparman, konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan tersebut. Menurut Raden, minimnya regulasi yang mengikat mengakibatkan prosedur kerja Account Representative (AR) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak konsisten, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak.
Raden, yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi DJP selama delapan tahun, menyatakan bahwa belum pernah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) khusus yang mengatur pemantauan kepatuhan. Hal ini berbeda dengan pemeriksaan pajak, yang regulasi formalnya sudah lama ada, mulai dari Keputusan Menteri Keuangan hingga PMK tentang Pemeriksaan Pajak yang terbit pada tahun 2007.
Ketiadaan peraturan tentang pengawasan kepatuhan yang mengikat wajib pajak dan petugas pajak, menurut Raden, menjadi alasan mengapa cara kerja AR seringkali berbeda-beda.
“Tidak ada standar profesional pengawasan yang dilakukan oleh AR. Ada AR yang suka meminjam dokumen kepada Wajib Pajak, tetapi banyak AR yang tidak pernah meminjam dokumen kepada Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena tidak ada peraturan yang mengatur tata cara AR bekerja dengan Wajib Pajak,” papar Raden kepada Kontan.co.id, Jumat (5/12).
Ketidakseragaman itu, kata Raden, diperparah dengan praktik interpretasi Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang kian bergeser dari fungsi utamanya. Tahun ini, setiap SP2DK bahkan diberi target rupiah. Padahal, secara konsep, SP2DK bukan merupakan pemeriksaan dan tidak menghasilkan produk hukum. Oleh karena itu, SP2DK sudah dimaknai seolah surat tagihan pajak.
“Kebiasaan seperti itu seharusnya dihentikan. Lebih baik, jika memang DJP melihat adanya potensi perpajakan, langsung saja menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan menerbitkan surat ketetapan pajak,” saran Raden.
Menurutnya, langkah itu jauh lebih memberikan kepastian hukum. Dengan adanya surat ketetapan pajak, wajib pajak bisa menggunakan hak formalnya untuk mengajukan keberatan maupun banding, sebagaimana diatur dalam UU KUP. Raden menilai, ketidakpastian paling banyak dirasakan wajib pajak ketika bersengketa dengan AR. Banyak kasus ditutup tanpa ada kejelasan, atau wajib pajak diminta membetulkan SPT tanpa dasar hukum yang kuat.
Namun, di kemudian hari, setelah pergantian AR, persoalan yang sama dapat muncul kembali.
“Banyak kasus, AR sudah menutup permasalahan SP2DK, tapi tiba-tiba terbit instruksi pemeriksaan. Secara ketentuan sampai dengan sekarang, hal seperti ini diperbolehkan,” terangnya.
Akibatnya, wajib pajak merasa telah menyelesaikan masalah, tetapi masih menerima Surat Pemberitahuan Tahunan (SP2) dan akhirnya mendapatkan kekurangan pembayaran tambahan dari tim pemeriksa. Raden berharap PMK tentang Pengawasan Kepatuhan akan memperjelas batasan antara pengawasan formal dan pemeriksaan material.
Pengawasan formal oleh Pemeriksa Pajak (PPh), menurutnya, cukup mencakup kepatuhan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, pelaporan SPT masa dan tahunan, serta penerbitan Surat Tanda Terima Pajak (STP) terkait faktur pajak, bukti pemotongan, dan keterlambatan pembayaran.
Sebaliknya, Pemeriksa Pajak tidak diperbolehkan meminjam dokumen wajib pajak untuk menghitung pajak terutang. Jika analisis data diperlukan, proses ini harus dilakukan melalui mekanisme pemeriksaan yang mematuhi standar profesional yang jelas dan dilindungi undang-undang.
Ia menambahkan bahwa seorang AR dapat ditugaskan sebagai pemeriksa, tetapi Surat Perintah Pemeriksaan harus diterbitkan sebagai dasar pemanggilan dan pemeriksaan. “Dengan demikian, wajib pajak memiliki kepastian hukum setelah pemeriksaan pajak selesai,” pungkasnya.
Sementara itu, Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menambahkan bahwa dengan terbatasnya pilihan kebijakan, optimalisasi penerimaan dari pemantauan kepatuhan menjadi kunci pencapaian target penerimaan tahun depan.
Lebih lanjut, Fajry mengatakan, beberapa lembaga, seperti Bank Dunia, mengamati bahwa kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah. Rendahnya tingkat ketidakpatuhan ini menyebabkan Indonesia kehilangan penerimaan yang signifikan.
“Di luar isi RPMK tersebut, menurut saya memang diperlukan sebuah aturan main terkait pengawasan karena banyak wajib pajak merasa diperiksa terus, mendapatkan surat cinta terus meski dirinya sudah patuh,” kata Fajry.
“Makanya banyak pihak yang mengkritik jika DJP masih berburu di kebun binatang. Perlu aturan main agar hal itu tidak terjadi lagi,” tandasnya.
