Dalam PER 18/2025 Insentif Fiskal Dapat Memicu Pemeriksaan

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret (PER 18/2025) menegaskan bahwa penggunaan insentif fiskal yang tidak sesuai ketentuan merupakan data konkret yang dapat menjadi dasar pengawasan dan pemeriksaan oleh otoritas pajak. Ketentuan ini juga menjadi peringatan bagi wajib pajak badan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan guna memastikan kepatuhan pajak. Dalam wawancara dengan Pajak.com, Penasihat TaxPrime Muhamad Noprianto mengungkapkan dua kesalahan umum yang dilakukan perusahaan dalam memanfaatkan fasilitas fiskal.

Sebagai konsultan pajak yang telah mendampingi berbagai perusahaan penerima insentif fiskal, Noprianto berpendapat bahwa penerbitan PER 18/2025 merupakan bagian dari upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak. Ketentuan ini, ujarnya, sangat relevan bagi wajib pajak penerima berbagai insentif, karena perusahaan seharusnya memanfaatkan fasilitas tersebut sesuai peruntukannya.

Dua Kesalahan Umum yang Dilakukan Perusahaan Penerima Insentif Fiskal
Untuk memastikan perusahaan penerima insentif fiskal telah memenuhi kewajiban perpajakannya, Noprianto menjelaskan bahwa TaxPrime secara konsisten mengidentifikasi dan memitigasi kesalahan umum. Pertama, TaxPrime memastikan insentif fiskal yang diberikan pemerintah kepada perusahaan dimanfaatkan sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) bagi penerima fasilitas.

KBLI sendiri merupakan sistem pengkodean standar yang digunakan untuk mengelompokkan kegiatan ekonomi di Indonesia, sehingga menjamin keseragaman konsep, definisi, dan klasifikasi kegiatan usaha. Sejak diterbitkannya PER-12/PJ/2022, KBLI yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini resmi digunakan sebagai dasar penetapan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) bagi Wajib Pajak.

“Wajib Pajak wajib memastikan bahwa insentif pajak dimanfaatkan sesuai dengan KBLI bagi perusahaan penerima insentif pajak tersebut. Misalnya, ketika suatu perusahaan memiliki dua lini usaha—Lini Produk A dan Lini Produk B—tetapi insentif hanya diberikan untuk Lini B, kesalahan yang umum terjadi adalah perusahaan memanfaatkan insentif tersebut untuk kedua lini usaha tersebut,” jelas Noprianto.

Kedua, TaxPrime memastikan bahwa perusahaan telah menyusun laporan keuangan yang tersegmentasi dengan memisahkan pembukuan untuk lini usaha penerima fasilitas fiskal. Pemisahan ini krusial karena laporan yang tersegmentasi dapat berfungsi sebagai dokumen pendukung dalam proses pemantauan dan pemeriksaan pajak.

“Perusahaan penerima insentif diwajibkan menyusun laporan keuangan tersegmentasi yang memisahkan secara jelas lini usaha penerima fasilitas fiskal,” tegasnya.

Menurut Noprianto, jika kedua langkah mitigasi ini diterapkan secara konsisten, perusahaan pada dasarnya tidak perlu khawatir akan risiko pengawasan atau audit. Lebih lanjut, perusahaan harus terus meningkatkan kepatuhan terhadap akuntabilitas dan pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama sejalan dengan modernisasi sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak melalui Coretax.

“Melalui sistem Coretax, Direktorat Jenderal Pajak mampu mengintegrasikan dan mengolah data, termasuk data yang diperoleh dari berbagai sumber pihak ketiga,” ujar Noprianto.

Lebih lanjut, Noprianto menekankan bahwa pengembangan Coretax, khususnya dalam hal data perpajakan yang semakin terintegrasi, seharusnya mendorong wajib pajak untuk menyadari bahwa semakin kecil kemungkinan untuk tidak melaporkan transaksi atau tidak memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan demikian, diharapkan wajib pajak akan semakin meningkatkan akuntabilitas perusahaan dan mematuhi seluruh peraturan perpajakan yang berlaku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *